Abdullah bin Abu Quhafah atau yang lebih sering dipanggil dengan nama Abu Bakar ash-Shiddiq, salah seorang sahabat Nabi yang dikenal kedermawanannya. Ia begitu mencintai Islam, rela berjuang demi agamanya dengan jiwa dan raganya, serta gemar menyedekahkan harta bendanya untuk menjaga keluhuran kalimat Allah.
Adalah Misthah bin Atsatsah, salah satu orang yang selalu mendapatkan bantuan dari Abu Bakar ash-Shiddiq. Ia merupakan anak dari bibi Abu Bakar, sedarah dan senasab dengan beliau. Ia disebut sebagai orang miskin dan salah satu rombongan Muhajirin yang hijrah bersama Rasulullah ke Madinah. Namun karena suatu kejadian, Abu Bakar ash-Shiddiq bersumpah tidak lagi mau menyedekahkan hartanya kepada Mishthah. Karena hal itu Allah langsung menegurnya sebagaimana telah terekam dalam QS. an-Nur [24]: 22.
Asbabun Nuzul
Dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir, ayat di atas diturunkan karena sumpah yang diucapkan Abu Bakar ash-Shiddiq. Ketika itu, ia bersumpah untuk menghentikan bantuan nafkah kepada seorang kerabatnya karena terlibat menyebarkan haditsul ifki tentang puterinya ‘Aisyah. Abu Bakr dikenal sebagai orang mulia dan dermawan terhadap para kerabatnya dan orang lain yang bukan kerabatnya. Ketika ayat ini turun sampai kalimat “Allâ tuhibbûna an yaghfirallahu lakum” Apakah kalian tidak ingin bahwa Allah mengampuni kalian? (QS. An-Nur: 22).
Baca Juga: Abu Bakar RA dan Penafsiran Sufistik Terhadap Surah Ar-Rum Ayat 41
Seketika itu juga Abu Bakar ash-Shiddiq berkata: “Benar. Demi Allah, sungguh kami suka, wahai Tuhan kami, bila Engkau mengampuni kami.” Kemudian ia kembali memberi bantuan nafkah kapada Misthah (seperti dulu) sembari berujar: “Demi Allah, aku tidak akan mencabut (bantuanku lagi) selama-lamanya,” sebagai pengimbang perkataannya yang lalu, (yaitu ucapan): “Demi Allah, aku tidak akan memberinya bantuan lagi selama-lamanya.” Karena itulah Abu Bakr adalah ash-Shiddiq,yang artinya orang yang sangat terpercaya.
Penjelasan serupa dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib Fakhruddin ar-Razi juga menuturkan bahwa ketika Abu Bakr mendengar Rasulullah membaca penggalan ayat “Alâ tuhibbûna an yaghfirallahu lakum”, Abu Bakar pun mengakui kesalahannya. Seraya berkata, “Ya, wahai Tuhanku. Aku sangat senang bahwa Engkau mengampuniku, dan aku telah melewati batas yang Engkau tentukan.” Peristiwa di balik ayat tersebut menjadi titik berangkat untuk memahami tafsir surat An-Nur ayat 22.
Kemuliaan yang Dianugerahkan Allah Kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq
Allah berfirman dalam surat an-Nur ayat 22, bahwa Dia mengaruniakan berbagai kenikmatan kepada hamba terkasihnya, yang dalam konteks ayat ini Abu Bakr ash-Siddiq, ia adalah sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah. Jelas tidak diragukan lagi perihal agamanya, akhlaqnya, begitu pula dengan ketaqwaannya kepada Tuhannya, selain itu dalam hal urusan dunia Abu Bakr terkenal menjadi saudagar yang kaya raya. Sebagai halnya dalam ayat ini menjelaskan bahwa “ulul fadhli” dan “as-sa’ah” yang dimaksudkan adalah Abu Bakr ash-Siddiq. Karena ada orang yang mendapatkan hanya “ulul fadhli” namun tidak dalam “as-sa’ah”, seperti sahabat ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar al-Ghiffari, dan Abdurrahman bin ‘Auf, atau sebaliknya hanya mendapatkan “as-sa’ah” saja. Namun Abu Bakr-lah yang mendapatkan dua keutamaan tersebut.
Wahbah Zuhaili, dan ar-Razi menjelaskan bahwa makna “ulul fadhli” maksudnya adalah “ulul fadhli fii ad-din” atau keutamaan dalam hal agama, dan menurut Ibnu ‘Asyur maknanya keutamaan perihal akhlaqnya. Sementara “as-sa’ah” menurut mereka adalah “al-ghina” yaitu keluasan yang bersifat material.
Sebagaimana dimengerti juga bahwa Abu Bakr itu disebut sebagai orang yang paling utama setelah Rasulullah. Melalui turunya ayat ini Allah langsung menegur Abu Bakr, karena tidak mungkin Allah membiarkan orang-orang yang dekat kepadanya untuk bermaksiat. Sebab kepatuhannya itu juga Abu Bakr langsung tunduk akan perintahNya dengan kelapangan hatinya ia mencabut sumpahnya dan kembali memberi bantuan nafkah untuk kerabatnya. Padahal jelas kesalahan yang dilakukan Misthah itu bukan kesalahan biasa, ia ikut menyebarkan fitnah tentang ‘Aisyah puteri kesayangannya.
Ibrah Yang Dapat Diambil dari Kisah Abu Bakar
Pelajaran bahwa sebesar apa pun kesalahan seseorang, memaafkan jauh lebih baik daripada menjadi pendendam. Kekecewaan Abu Bakar ash-Shiddiq tentu dapat dipahami, karena orang yang selama ini dibantunya ikut terlibat dalam penyebaran fitnah keji atas puterinya, apalagi Misthah adalah kerabatnya sendiri. Meski demikian, karena ketaatan kepada Allah yang memerintahkannya untuk berlapang dada memaafkan kesalahan Misthah. Inilah yang kemudian ditampilkan Abu Bakr ash-Shiddiq hingga ia berjanji tidak akan menghentikan bantuannya lagi selama-lamanya.
Sebab Abu Bakr ash-Shiddiq yang memiliki kecerdasan hati, ia langsung paham maksud ayat tersebut turun untuk menegurnya. Setelah Allah dengan kasih sayangnya menurunkan hujan kenikmatan, seperti yang disebutkan diatas “ulul fadli” dan “as-sa’ah”, baru kemudian Allah meminta sesuatu yang sedikit yaitu “wal ya’fû wal yasfahû” hendaklah memaafkan dan berlapang dada. Kita seharusnya bisa menyadari bahwa Allah yang telah menganugerahkan berbagai karuniaNya, mengapa kita tidak mau mengikuti sarannya untuk berlapang dada dan memaafkan mereka yang berbuat salah kepada kita?
Melalui Abu Bakr as-Shiddiq kita diajarkan untuk menjadi pemaaf kepada orang yang berbuat salah kepada kita, sekalipun kesalahan itu sungguh berat. Sebab dalam ayat ini pula dinyatakan bahwa orang yang memaafkan, akan mendapatkan peluang dimaafkan lebih besar ketika ia berbuat salah. Lantaran itu Allah mengajukan pertanyaan (QS. an-Nur: 22): “Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?”
Kita bisa melihat kesinambungan pada ayat ini, dijelaskan secara berkait dalam Tafsir Ibnu Katsir, yaitu: “Kau mengampuni dosa orang yang bersalah kepadamu, maka Allah pun mengampuni dosa-dosamu; sebagaimana kau memaafkan (kesalahan orang lain), maka Allah pun memaafkan (kesalahan)mu juga.”
Baca Juga: Kisah Kesetiaan Abu Bakar As-Shiddiq dibalik Surah At-Taubah Ayat 40
Tentu, tidak ada seorang pun yang tidak menginginkan maghfirah dari Allah. Semua orang pasti mengharapkan ampunanNya. Telah jelas disebutkan dalam banyak ayat, bahwa bisa jadi batu ujian dalam kehidupan, penyakit, dan kesempitan hidup, atau mendapatkan perilaku dzalim dari orang lain namun dengan lapang hati kita memaafkannya, akan menjadi sebab turunnya ampunan dan rahmat Allah kepada kita.
Mari kita bersama-sama mengintropeksi diri, jika ada orang yang menyakiti hati kita meskipun sangat berat kesalahan yang mereka perbuat, kita bisa sungguh-sungguh memaafkan dan berlapang dada kalau motivasi kita hanya karena Allah dan ingin mendapatkan maghfirahNya. Sebagaimana Abu Bakr ash-Siddiq yang mau memberi maaf Misthah, bukan karena ia kerabatnya, bukan sebab Misthah adalah orang miskin dan muhajirin. Namun yang menjadi satu-satunya motivasi Abu Bakr mengampuni orang yang bersalah kepadanya, yaitu karena panggilan ayat al-Quran, “Alâ tuhibbûna an yaghfirallahu lakum.”
Dengan berkaca kepada figur Abu Bakr as-Shiddiq, semoga Allah menjadikan diri kita Abu Bakr-Abu Bakr lain, yang diberikan keutamaan dan keluasan, sehingga kita bisa berkontribusi dalam kehidupan sosial dan memiliki hati yang lembut karena mudah memaafkan orang lain.[]