BerandaTafsir TematikPrinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 2): Metode Penyampaian

Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 2): Metode Penyampaian

Dalam tulisan sebelumnya, telah dibahas mengenai apa saja yang seharusnya menjadi isi pembicaraan dalam setiap komunikasi yang dilakukan dengan orang lain. Pada intinya, Alquran mengajarkan agar perkataan dan ucapan harus sesuai kenyataan; dan yang terpenting dari kegiatan komunikasi adalah memberikan kemanfaatan, atau minimal tidak merugikan pihak lain.

Selain konten pembicaraan harus baik, Alquran juga mengajarkan agar metode penyampaian informasi juga harus tepat. Berikut penjelasannya.

Metode Penyampaian

Selain konten yang disampaiakan mengandung kebenaran, hal yang menunjang keberhasilan dalam komunikasi adalah metode penyampaian yang tepat. Hal ini penting mengingat lawan bicara akan acuh terhadap apa yang ingin disampaikan-bagaimanapun pentingnya-manakala disampaikan dengan cara yang tidak tepat. Oleh karenanya, dalam berkomunikasi dengan orang lain, perlu dipahami situasi dan kondisi lawan bicara. Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata:

أمرت أن أخاطب الناس على قدرعقولهم

Aku diperintah untuk berbicara dengan manusia sesua kadar pengetahuan mereka (H.R. Al-Dailamiy).

Baca juga: Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 1)

Salah satu tujuan komunikasi adalah untuk mengubah sikap, pendapat, dan tindakan orang lain. Dalam hal ini, Alquran mengajarkan bagaimana seharusnya menyampaikan gagasan dan pandangan agar orang lain bisa menerima apa yang disampaikan untuk selanjutnya dapat mengubah sikap dan pola pikir audiens. Salah satu ayat Alquran yang memberikan petunjuk tentang hal tersebut dalah Q.S. An-Nisa [4]: 63:

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا

Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka, berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya. (Q.S. An-Nisa [4]: 63.

Ayat di atas menjelaskan bagaimana seharusnya sikap dan metode yang harus dilakukan Nabi dalam mendakwahkan ajaran Islam kepada orang-orang munafik. Setidaknya ada tiga cara yang disebutkan dalam ayat tersebut, yaitu berpaling dari mereka, memberi nasihat, dan menyampaikan hal-hal yang dapat menghujam hati mereka supaya mereka dapat kembali ke dalam ketaatan [Tafsir al-Wasith, juz 3, hlm. 199].

Penyampaian gagasan dalam berkomunikasi harus dilakukan dengan bahasa yang baik dan benar. Tujuannya agar apa yang ingin disampaikan dapat ditangkap secara sempurna oleh si pendengar tanpa ada distorsi makna. Selain itu, diperlukan keahlian untuk menyusun diksi kata sedemikian rupa disertai dengan mimik dan ekspresi pendukung agar apa yang disampaikan “ngena” ke hati pendengar. Inilah yang disebut dengan qawlan baligha.

Baca juga: Ajaran Alquran tentang Etika Komunikasi

Dalam kajian ilmu-ilmu keislaman, ilmu balaghah dikenal sebagai alat yang serumpun dengan nahu, saraf, manthiq (logika), dan lain-lain. Ilmu balaghah diartikan sebagai suatu disiplin ilmu yang membahas mengenai tata cara menyampaikan gagaan dengan bahasan yang jelas nan indah sehingga punya pengaruh kuat dalam lubuk hati pendengar [Jawahir al-Balaghah, hlm. 40].

Istilah qawlan baligha dalam Q.S. Al-Nisa’ di atas mengisyaratkan pentingnya memilih dan mengolah diksi kata ketika berkomunikasi dengan orang lain. Lebih-lebih bagi seorang pendakwah, orator, atau pembicara di atas podium lainnya, keterampilan seperti ini harus dimiliki agar gagasan yang ingin disampaikan tersalurkan sepenuhnya kepada pendengar. Sehingga pada akhirnya, lawan bicara akan terpengaruh dan pada tahap selanjutnya mampu mengubah sikap tindakan dan pola pikir mereka sesuai dengan yang diharapkan [Tafsir al-Washit, juz 3, hlm. 199].

Terkait hal ini, dalam ayat lain dianjurkan agar bagaimana seharusnya sebuah gagasan tersebut disampaikan, terutama kepada lawan bicara yang kurang menerima ide atau gagasan pembicara. dalam Q.S. Taha ayat 44, Allah Swt. berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan dia sadar atau takut (Q.S. Taha [20]: 44).

Baca juga: Meniru Cara Dakwah Santun Nabi Ibrahim

Dengan ayat di atas Allah swt mengajarkan Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. (secara umum mencakup juga kepada seluruh umat muslim) agar menggunakan bahasa dan tata cara yang santun dalam menyampaikan gagasan.

Metode seperti ini penting diterapkan terutama ketika lawan bicara adalah orang-orang “keras kepala”. Sebab, jika berkomunikasi dengan mereka dengan cara kasar, memaksa, dan otoriter, maka mereka tentu akan menolak apa yang disampaikan. Dengan metode penyampaian yang lemah lembut, komunikatif, tetapi tegas, diharapkan mereka akan luluh dan menerima gagasan yang disampaikan [Tafsir al-Munir, juz 16, hlm. 215].

Kesimpulan

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Alquran mengandung banyak pelajaran terkait prinsip dan metode komunikasi yang baik dan benar. Sebenarnya, ada banyak ayat-ayat Alquran-baik secara implisit maupun eksplisit-yang mengajarkan tentang metode komunikasi yang baik dan benar. Namun, yang dapat penulis elaborasi hanya sebagian kecil saja.

Secara umum, prinsip yang dapat penulis rumuskan adalah terkait konten yang disampaikan baik dan sesuai dengan kebenaran. Kemudian metode penyampaian juga harus benar, tepat sasaran, dan diusahakan agar mempunyai pengaruh signifikan dalam diri lawan bicara.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...