Pada sela sela ayat tentang puasa, Q.S. Al-Baqarah 183-187, terdapat ayat tentang berdoa kepada Allah. Informasi ini berada di Q.S. Al-Baqarah 186. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah itu dekat dan akan menjawab permohonan hamba; “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S. Al-Baqarah: 186)
Ayat ini menginformasikan secara pasti bahwa Allah, selain dekat, Dia pasti akan mengabulkan permohonan hamba. Syaratnya adalah ia berdoa. Seandainya si hamba tidak meminta, Dia tidak akan mengabulkan. Seolah pengabulan itu akan terwujud apabila hamba berdoa atau meminta. Selain itu, ayat ini mengemukakan bahwa apabila doa ingin dikabulkan, maka hamba harus senantiasa memenuhi perintah-Nya dan tetap beriman.
Dari rangkaian ayat yang berkaitan dengan puasa, seolah tidak ada hubungan langsung antara puasa dengan doa. Namun, dalam kenyataannya, ayat ini terselip di antara ayat sebelum dan setelahnya yang berkaitan dengan puasa. Lalu, bagaimana hubungan antara keduanya?
Baca juga: Makna Doa dalam Kajian Semantik Alquran
Kiranya, implementasi teori munasabah ayat Alquran dapat dijadikan dasar. Munasabah menjadi salah satu disiplin ilmu Alquran yang membahas tentang hubungan ayat atau surah dalam Alquran. Al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum Alquran (1997) menyebutkan bahwa munasabah merupakan ‘keterkaitan ayat-ayat Alquran antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapi dan sistematis.
Munasabah menampilkan keserasian dan kerapian susunan ayat Alquran yang satu sama lain akan menggambarkan keterkaitannya. Para ulama ahli ilmu Alquran telah banyak membahas secara jelas tentang munasabah ini.
Sehubungan dengan puasa dan doa, boleh dikatakan keduanya berada dalam satu surah dengan jenis munasabah antarayat. Istilah yang dikenal adalah munasabah al-ayat fi surah wahidah, sebagaimana pernah diungkap oleh Rosihon Anwar dalam Samudera Alquran (2006). Hubungan ayat dan makna pada jenis ini terdapat pada rangkaian ayat dalam surah yang sama.
Baca juga: Mengenal Macam-Macam Pembagian Munasabah Alquran
Doa dan puasa berada pada satu keterkaitan makna. Hal ini dapat dikuatkan oleh beberapa argumentasi.
Pertama, doa dan puasa, mengutip pendapat al-Shabuni dalam Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam berada dalam rangkain ayat tentang syariat puasa. Secara lebih rinci, kewajiban puasa disebutkan pada Q.S. Al-Baqarah: 183. Lama berpuasa dan keringanan bagi orang yang tidak berpuasa tersebut pada Q.S. Al-Baqarah: 184.
Alquran diturunkan untuk petunjuk bagi manusia, keringanan bagi orang yang tidak sanggup berpuasa, permulaan puasa dengan menyaksikan datangnya bulan, Allah mempermudah urusan hambar, melakukan penggenapan hitungan puasa, serta mengagungkan Allah, termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah: 185. Sesuatu yang dibolehkan untuk dilaksanakan pada siang bulan Ramadan serta melakukan iktikaf sebagai kegiatan untuk mendekatkan diri pada Allah Swt., termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah: 187.
Di sela ayat 185 dan 187 itulah terdapat ayat tentang berdoa. Dari satu tema itu, dapat diasumsikan bahwa pada rangkaian ayat tersebut, doa dan puasa memiliki hubungan.
Baca juga: Doa Nabi Muhammad saw. dalam Alquran
Kedua, doa dan puasa sama sama bentuk ibadah. Puasa pada ayat 183 bertujuan meraih ketakwaan. Berdoa pada ayat 186 berujung pada harapan mendapatkan petunjuk. Ketakwaan dan meraih petunjuk, keduanya menampilkan tujuan kebaikan dalam meraih kedekatan kepada Allah.
Di sini, dapat dikatakan terdapat hubungan antara redaksi la’allakum tattaquna (agar kamu bertakwa) dengan la’allahum yarsyuduna (agar mereka mendapatkan petunjuk). Keduanya menggunakan kata la’alla yang bermakna pengharapan (li tarajji) dari hamba, dan sementara ulama memandang kata ini bermakna pasti bagi Allah.
Yang berbeda adalah pada ayat 183 berada pada subjek kedua (kamu) sementara pada ayat 186 berada pada subjek ketiga jamak (mereka). Dalam kata lain, untuk menjadi takwa, salah satunya adalah seseorang dapat meraihnya dengan mendapatkan petunjuk.
Ketiga, dalam berpuasa, seseorang meraih ketakwaan dengan cara menyadari bahwa puasa itu adalah kewajiban. Beban taklif puasa pada dirinya mendekatkan kesadaran pada ketundukan akan aturan yang diberikan oleh Allah. Redaksi diwajibkan atas kamu berpuasa menegaskan bahwa ketika ingin meraih ketakwaan, kewajiban harus dilaksanakan sesuai aturan.
Begitu pun dalam berdoa, seseorang meyakini bahwa Allah itu dekat. Ia pun meneguhkan sepenuh hati bahwa Dia akan mengabulkan segala permintaan hamba ketika hamba meminta. Dalam keterangan lain, berdoa adalah ibadah. Sebab, doa adalah inti ibadah.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Berdoa Meminta Kematian
Dalam berpuasa, seorang muslim dianjurkan untuk banyak memohon kepada Allah. Puasa pun adalah kewajiban dan ciri seseorang beriman. Ketika sedang berpuasa dan berdoa, seseorang sedang meneguhkan bahwa Allah itu dekat dan memantapkan hati bahwa puasa adalah bentuk pengabdian kepada Allah melalui pelaksanaan kewajiban dari-Nya.
Keempat, puasa tidak sekadar menahan lapar, haus, dan dorongan seksual di siang hari. Puasa mengarahkan diri untuk mengendalikan hawa nafsu. Puasa pun menjadi proses untuk menyucikan diri dengan menjalankan ketakwaan. Perlu diingat pula, dalam berdoa kepada Allah, seseorang harus menyucikan diri sehingga ia mampu untuk berdekatan dengan Yang Maha Suci.
Doa dan puasa, keduanya adalah proses untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendekatan diri seorang hamba dapat diupayakan dengan menjalankan kewajiban sebagai bentuk ketakwaan dan menyadari sepenuh hati bahwa Allah itu dekat. Pun demikian, ketika hamba meminta, Allah akan mengabulkannya. Wallahu a’lam.