Tafsir gender merupakan tafsir yang berupaya membaca ayat-ayat relasi laki-laki dan perempuan secara umum. Tafsir gender yang dimaksud adalah potret lebih luas dari produk tafsir oleh siapapun mufassirnya. Definisi ini tentu berbeda dengan tafsir feminis, suatu genre tafsir yang mengedepankan nalar keperempuanan. Berpijak dari definisi tersebut, artikel ini membahas dua tipologi nalar tafsir gender yang meliputi nalar normatif dan rasionalis.
Dua tipologi di atas adalah hasil penelitian Aksin Wijaya, Guru Besar Tafsir IAIN Ponorogo sebelum menerapkan nalar filosofis-dekonstruktif terhadap term Al-Qur’an, wahyu Tuhan, dan Mushaf Utsmani. Nalar filosofis-dekonstruktif tersebut, dia uraikan dalam Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender.
Baca Juga: Alasan Pentingnya Perspektif Kesetaraan Gender dalam Tafsir
Pembacaan Corak Normatif
Pembacaan normatif pada umumnya dipahami sebagai bentuk penalaran yang menjadikan Alquran sebagai sumber utama Islam. Alquran yang ada di tangan umat muslim saat ini dianggap sebuah kitab wahyu asli yang telah terwujud dalam bentuk resmi yang diputuskan berdasarkan kebijakan Utsman sebagai Khalifah dengan menggunakan bahasa Arab. Konsekuensinya, kalangan pembaca normatif cenderung berpandangan Alquran harus dipahami secara normatif pula.
Pandangan normatif ini berguna untuk menemukan makna yang dikehendaki oleh Tuhan yang wajib bagi manusia untuk menjadikannya sebagai pegangan utama dalam melihat setiap persoalan. Penafsiran normatif umumnya dikreasikan oleh mufasir klasik yang masih hidup di tengah horizon patriarki. Oleh karena itu, mereka menafsirkan ayat-ayat relasi laki-laki dan perempuan dipahami sebagai corak yang masih berpihak atau mendominasi laki-laki.
Contoh penafsiran kalangan normatif ini bisa dipahami, salah satunya ketika membaca Surah an-Nisa ayat 1, yaitu tentang hubungan laki-laki dan perempuan.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Aksin Wijaya dalam penelitiannya mengambil contoh dua mufasir yang bercorak normatif. Meskipun dua mufasir ini tidak mewakili kalangan normatif secara murni, tetapi menurutnya hampir mengalami kesamaan. Dua mufasir tersebut adalah Imam Baidhawi dan Muhammad Ali As-Sais.
Imam Baidhowi dalam Hasyiyah tafsirnya, berpendapat bahwa frasa “nafsun wahidah” pada surah An-Nisa ayat 1 membahas tentang penciptaan Adam sebagai manusia yang diciptakan dari tanah, sedangkan Siti Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam sebelah kiri yang bengkok dan dari keduanya lahirlah manusia.
Dua mufasir tersebut mengklaim bahwa pendapat mereka ini sudah disepakati oleh para ulama, baik kalangan fuqaha maupun muhaddits. Nafsun wahidah merujuk pada Adam dan Zaujaha merujuk pada Siti Hawa. Dengan pemahaman seperti ini, konsekuensi pemahaman yang muncul dari pemahaman keduanya adalah status dan posisi Adam dan Hawa. Adam disebut bapak manusia, sedangkan Siti Hawa disebut dengan ibu manusia.
Baca Juga: Argumen Kesetaraan Gender, Referensi Pengantar Tafsir Feminis
Pembacaan Corak Rasional
Para mufasir yang cenderung rasional masih menganggap bahwa yang ada di tangan kita saat ini adalah asli wahyu Tuhan, akan tetapi wahyu Tuhan terletak ada pada tujuannya “ maqashid syari’ah”. Oleh Imam Syatibi, maqashid syari’ah disebut dengan kemaslahatan manusia. Jika ditarik pada relasi laki-laki dan perempuan, maksud dari kemaslahatan manusia di sini adalah laki-laki dan perempuan harus diletakkan secara sama dalam berbagai bidang apapun.
Mufasir corak rasional ini dimotori oleh pemikir modern yang hidup dalam dunia modern. Kondisi realitas dan sosial budaya masyarakat muslim telah mengalami perubahan, hubungan laki-laki dan perempuan sudah mulai memberikan tanda harmonis dan emansipatoris.
Menurut kelompok yang cenderung rasional, antara lain seperti; Muhammad Abduh, Ali Syariati, Murthadho Muthahari, Zaituna Subhan, Fatima Mernissi, Riffat Hasan, Husein Muhammad, Masdar, Asghar Ali Engineer dan lainnya, menyebutkan bahwa pembacaan normatif terhadap surah an-Nisa ayat satu masih memosisikan perempuan sebagai setengah manusia atau makhluk nomor dua, karena diciptakan dari tulang rusuk bengkok Adam.
Sementara menurut mufasir kalangan rasional, pemahaman tersebut (corak normatif) merupakan bentuk pemahaman yang diskriminatif. Oleh karenanya, agar tidak melahirkan pemahaman yang diskriminatif, kalangan mufasir ini mengajukan perubahan pembacaan terhadap surah An-Nisa ayat 1.
Nafsun wahidah di kalangan rasionalis melahirkan penafsiran yang bermacam-macam, meskipun demikian pemahaman yang beragamn tersebut mengarah pada satu hal yang sama, yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan. Asghar Ali Engineer mengutip pendapat Maulana Asad yang memahami frasa nafsun wahidah dengan (satu makhluk hidup), bukan mengarah pada ayah atau laki-laki saja, akan tetapi satu makhluk hidup yakni manusia, baik berjenis laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan tidak ada yang lebih unggul, semua sama di hadapan Allah Swt.
Kemudian Husein Muhammad menafsiri nafsun wahidah bukan dengan laki-laki, dan menafsiri zauj (pasangan) bukan dengan perempuan. Dalam pandangannya, frasa tersebut memang sengaja tidak diperjelas maksudnya, agar tetap terjadi kebersamaan dan keberpasangan antarmereka.
Demikian dua tipologi nalar tafsir gender dalam lanskap intelektual Islam klasik dan modern menurut Aksin Wijaya. Pembacaan kalangan rasional terhadap ayat-ayat gender merupakan kritik terhadap kelompok mufassir yang bercorak normatif. Meski demikian, dia kemudian juga mengkritik kalangan rasional dengan nalar filosofis-dekonstruktif yang akan diulas dalam artikel lainnya. Wallahu a’lam.