Antara Kajian Ilmu Alquran Klasik dan Hermeneutika

kajian ilmu Alquran klasik dan hermeneutika Alquran
kajian ilmu Alquran klasik dan hermeneutika Alquran

Mendesaknya kebutuhan akan penggunaan alat baru dalam menafsirkan Alquran di era ini bukanlah sebuah omong kosong belaka. Oleh beberapa tokoh seperti Hasan Hanafi, Arkoun, dan Nashr Hamid Abu Zaid, hermeneutika Alquran dianggap dapat memenuhi kebutuhan mendesak tersebut -setidaknya untuk sementara waktu sampai ditemukan instrumen penafsiran lain yang dianggap lebih baik.

Keunggulan hermeneutika bukan terletak pada komponen di dalamnya. Sebagaimana disebutkan oleh Fahruddin Faiz, komponen teks, konteks, dan kontekstual yang terdapat dalam hermeneutika pada dasarnya sudah dipraktikkan sejak lama oleh mufasir dan pemikir muslim dalam kajian ulûm al-Qur’ân klasik maupun tafsir, hanya keberadaannya tidak ditemukan dalam bentuk definisi yang baku, melainkan dalam bentuk kesadaran. Kesadaran akan pentingnya konteks dapat dirasakan dari kajian yang berkaitan dengan asbâb al-nuzûl, makki madani, dan nâsikh-mansûkh.

Begitu pun dengan kesadaran kontekstualisasi juga ditemukan dalam karya-karya mufasir modern, seperti Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar yang bercorak sastra dan sosial kemasyarakatan, dan Thanthawi Jawhari dengan Tafsîr al-Jawâhir-nya yang sarat akan muatan-muatan ilmiah.

Baca Juga: Hermeneutika dan Kontribusinya dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Mengapa perlu hermeneutika?

Jika demikian, mengapa urgensi penggunaan hermeneutika tetap diperlukan meski substansinya juga terdapat dalam ulûm al-Qur’ân dan tafsir? Hal ini dikarenakan selama ini komponen teks, konteks, dan kontekstual diterapkan secara terpisah. Kesadaran akan konteks ayat hanya akan membawa seseorang ke ‘masa lalu’, ke masa di mana sebuah teks dilahirkan, apa tujuan ‘pengarang’-nya dan seperti apa pemaknaan para pembaca teks yang menjadi audiens pertama teks.

Pemaknaan yang berhenti di tahap ini akan membawa pembaca kepada masa lalu dan terjebak dalam keterasingan dari aspek ruang dan waktu di mana dia hidup saat ini. Dalam tahap ini, tidak ada pemaknaan baru yang diperoleh dan diterapkan. Pemaknaan yang dihasilkan merupakan reproduksi pemaknaan lama yang dibawa ke masa sekarang. (Hermeneutika Alquran: Tema-tema Kontroversial, 20-21). Oleh Andrew Rippin, pemaknaan seperti ini tidak lebih dari satu mata rantai dalam rantaian historis respon pembaca Alquran. (dalam catatan @studitafsir)

Begitu pun halnya dengan kesadaran kontekstualisasi yang mengabaikan konteks ayat akan menghasilkan pemahaman Alquran yang tercabut dari akar konteks di masa lalu dan berpotensi keluar dari maksud dan spirit teks yang sebenarnya.

Sebagai penjelas, Fahruddin Faiz menyebutkan penafsiran Muhammad Abduh memang kental akan nuansa kontekstualisasinya, namun dalam beberapa hal malah mengabaikan konteks ayat (Hermeneutika Alquran: Tema-tema Kontroversial, 22).

Hal yang serupa dapat dijumpai dari penafsiran Thanthawi Jawhari mengenai rahasia kimia yang tersembunyi di dalam huruf-huruf muqatha’âh. Al-Dzahabi menilai penafsiran ilmiah seperti yang dilakukan oleh Thantawi sangat berlebihan dan cenderung memaksakan keterkaitan antara ayat dengan ilmu kimia (Al-Dakhil dalam Tafsir Ilmi (Kajian Kritik Husein Al-Dzahabi atas Kitab Al-Jawahir Fi Tafsir Alquran, Tajdid (21), 2, 2022, 239).

Pada celah ketimpangan penggunaan ketiga komponen itulah hermeneutika mengambil perannya. Oleh karena itu, harus ada hubungan dialektis antara teks, konteks, dan kontekstual agar pemaknaan Alquran yang dihasilkan benar-benar dapat direalisasikan di masa sekarang dengan tetap memperhatikan konteks masa lalu  ketika Alquran diturunkan.

Komponen konteks diperlukan agar pemaknaan yang dihasilkan tetap berada pada jalur ajaran keimanan yang sama sejak era Alquran diturunkan hingga saat ini. Dalam rangka membuktikan kebenaran adagium Alquran Shalih Li Kulli Zaman wa Makan, komponen kontekstualusasi dalam hermeneutika kiranya dapat menjawab kegelisahan Kuntowijoyo terhadap keraguan sebagian umat Islam tentang kesanggupan teks Alquran yang berasal dari abad ke-7 menjadi ilmu modern (Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, 27).

Baca Juga: Perbandingan Hermeneutika dan Ilmu Tafsir menurut Nashruddin Baidan

Meski demikian, perlu digarisbawahi bahwa ada beberapa hal yang masih relevan hingga sekarang walau tidak melewati upaya kontekstualisasi, seperti salat, zakat, dan beberapa hal lainnya yang penerapannya bersifat vertikal-ritual dalam bentuk peribadatan formal. (Hermeneutika Alquran: Tema-tema Kontroversial, 21).

Penafsiran Alquran merupakan aktivitas dinamis yang banyak melahirkan produk pemahaman yang dikemas dalam karya-karya tafsir. Idealnya, produk tafsir yang dihasilkan tidak hanya terjebak dan berhenti pada bunyi teks ataupun konteks masa lalunya, namun juga berimplikasi pada kehidupan saat ini. Untuk mewujudkan harapan tersebut, maka hermeneutika dapat dijadikan sebagai solusi alternatif. Wallâhu A’lam.