Asketisme dalam khazanah intelektual Islam disamakan dengan istilah zuhud. Istilah ini berasal dari kata bahasa Arab, yakni zahada, yang bermakna raghiba ‘anhu wa taraka (benci dan meninggalkan sesuatu) (Ilmu Tasawuf, 2022, 172).
Adapun zuhud secara bahasa bermakna berpaling dari sesuatu yang membuat pelakunya terhina. Sedangkan menurut syariat zuhud adalah mengambil seperlunya dari yang jelas kehalalannya. Perbuatan ini lebih khusus (utama) dari war’a, karena (wara’) meninggalkan yang syubhat (meragukan) (Sirājut Thālibīn, vol. 1).
Berdasarkan hal tersebut, hakikat zuhud adalah mengalihkan kesenangan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik. Zuhud adalah posisi paling utama setelah takwa kepada Allah Swt. karena menjadi sebab seseorang mencintai Allah (Ilmu Tasawuf, 2022, 46).
Zuhud dalam pengertian lain adalah menahan diri dari kemewahan keduniawian dan memilih untuk hidup dalam kesederhanaan. Orang yang menanamkan sikap zuhud akan menjaga hatinya dari kemewahan dunia yang melenakan. Zuhud merupakan amalan hati yang kemudian diwujudkan menjadi tindakan nyata dalam kehidupan. Ia merupakan lawan dari cinta dan semangat terhadap dunia (Tarbiyatush Shahabah, 2020, 59).
Baca juga: Tafsir Surah Alhadid Ayat 23: Ciri-Ciri Zuhud
Zuhud erat kaitannya dengan wara’. Zuhud merupakan sikap yang menekankan untuk meninggalkan urusan dunia yang tidak dibutuhkan, sekalipun hal itu adalah halal, serta mencukupkan diri pada hal-hal yang perlu saja. Sedangkan wara’ adalah meninggalkan hal-hal yang syubhat (Syarah Hadits Arba’in, 2007, 340).
Imam Muḥammad bin Sa’id Al-Bushairī dalam Qasidah Burdah menggambarkan sikap zuhud yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Imam Al-Bushairī dalam syairnya menggambarkan betapa dirinya merasa malu dikarenakan telah zalim atau tidak mampu sepenuhnya mengikuti sunah-sunah yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Meskipun Rasulullah adalah manusia yang memiliki derajat paling mulia di sisi Allah. Namun, ia tetap menjalankan laku zuhud yang di antaranya adalah, senantiasa menjalankan salat malam, puasa, dan menolak segala bentuk kemewahan dunia meskipun gunung-gunung yang tinggi rela menjadi emas untuk dia miliki.
Baca juga: Zaman Kapitalisme, Banyak Tipuan Dunia! Tafsir Kiai Sahal Mahfudh [Bagian 3]
Al-Imām al-Ḥafidz al-Faqīh Abī Zakariyyā Muḥyi al-Dīn Yaḥya al-Nawawī (w. 686 H) dalam Riyadh al-Shaliḥīn menjelaskan bahwa sikap zuhud terinspirasi oleh beberapa ayat Alquran. Di antaranya ayat berikut yang artinya:
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah tanam-tanaman bumi dengan suburnya karena air itu. Di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berpikir.” (Q.S. Yunus [10]: 24).
Perilaku kontra asketis di media sosial
Perkembangan teknologi dan informasi saat ini menjadikan setiap orang dapat menunjukan eksistensi dirinya dengan cara memamerkan apa yang dimilikinya, baik kekayaan, jabatan, dan lain sebagainya ke media sosial secara instan. Fenomena pamer ini oleh generasi saat ini sebut sebagai flexing.
Bagi pelaku flexing, dengan melakukannya di media sosial dan dikomentari oleh netizen dianggap akan meningkatkan citra dirinya di hadapan semua orang. Ironisnya para pelaku flexing tidak selalu benar-benar memiliki apa yang dipamerkannya tersebut. Banyak di antara mereka yang memaksakan diri untuk memamerkan barang-barang yang sebenarnya di luar kemampuan mereka untuk membeli atau memilikinya.
Hal ironis lainnya, mereka menyebut diri mereka sebagai influencer, yakni orang yang memberikan motivasi dan pengaruh kepada pemirsanya di media sosial. Namun, pada faktanya bukanlah para influencer tersebut yang mempengaruhi pemirsanya (netizen), sebaliknya komentar-komentar para netizen-lah yang banyak mempengaruhi pola pikir para influencer untuk terus melakukan flexing dengan membeli barang-barang yang sebenarnya di luar kemampuannya.
Baca juga: Tahadduts bi al-Ni’mah sebagai Ekspresi Rasa Syukur
Fenomena kontra asketis lainnya di media sosial adalah fenomena mokbang. Mokbang adalah penyiaran audiovisual daring di mana seorang pemandu acara memakan sejumlah besar makanan sambil berinteraksi dengan audiens atau merekam aktivitas tersebut. Biasanya ini dilakukan melalui webmaster internet.
Pada awalnya kegiatan mokbang yang pertama kali populer di Korea Selatan pada tahun 2010-an dilakukan oleh anak muda yang tinggal sendirian di apartemen. Mereka merasa bosan ketika harus makan sendirian, sehingga mencari teman di internet untuk dapat berinteraksi dengannya.
Baca juga: Perbedaan antara Pamer dan Tahadduts bin Ni’mah
Dalam perkembangannya, mokbang tidak hanya bertujuan memberikan terapi healing bagi orang-orang yang tinggal sendirian. Namun, ia menjadi pemicu perilaku makan yang berlebihan dan tidak sehat hanya sekadar untuk meramaikan konten video yang diunggah dan komentar dari netizen.
Perubahan ekstrem para pelaku mokbang dapat dilihat pada Nikocado Avocado yang berat badannya meningkat pada level ekstrem demi memuaskan netizen yang ingin melihatnya memakan makanan dalam porsi yang besar.
Simpulan
Pemahaman terhadap pentingnya berperilaku asketis (zuhud) perlu ditanamkan kepada umat Islam di era media sosial saat ini. Hal ini agar umat Islam tidak terjerumus dalam perilaku yang dapat merusak diri dan lingkungannya. Dengan berperilaku zuhud akan membuat seseorang mendapatkan kedewasaan dan independensi dalam berperilaku dengan cara mempertimbangkan apakah apa yang diunggah di media sosial tersebut memiliki nilai positif atau negatif.