Madrasah tafsir Ibn Abbas (Mekkah) menjadi salah satu dari tiga madrasah keilmuan yang populer di era Tabi’in. Dengan dipimpin langsung oleh Ibn Abbas sebagai pengajar utamanya, madrasah ini kemudian dikenal sebagai salah satu institusi keilmuan yang berhasil melahirkan generasi-generasi dengan level keilmuan yang tak kalah dengan para pendahulunya. Luar biasa bukan? Maka pada edisi tulisan kali ini kita akan memperkenalkan dan mengulas secara singkat tiga tabi’in utama jebolan madrasah tafsir Ibn Abbas.
Ketiga orang Tabi’in yang merupakan murid langsung dari Ibn Abbas dan akan diulas secara singkat dalam format edisional ialah Said ibn Jubair, Mujahid, dan Ikrimah. Secara umum—sebelum mengulas satu persatu—ketiga Tabi’in ini memiliki perbedaan dalam riwayat yang mereka sampaikan dari gurunya. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan ulama dalam menilai ke-tsiqah-an mereka. Maka menarik untuk mengenal dan mengulas masing-masing dari mereka satu persatu.
Baca Juga: Siapa Saja Mufasir EraSahabat? Edisi Ibn Abbas
Said dan Sepenggal Kisah Menarik
Nama lengkapnya ialah Muhammad Said ibn Jubair ibn Hisyam. Ia memiliki beberapa nama lain diantaranya Abu Abdillah dan Ibn Ummi al-Dahma’. Ia merupakan orang Habasyah asli. Ciri fisiknya digambarkan memiliki kulit yang gelap dan jambul rambut yang putih. Ia merupakan seorang Tabi’in yang gigih dalam menimba ilmu. Dikatakan bahwa ia mendengar seluruh petuah para pembesar Sahabat, menjadi murid sekaligus rawi dari gurunya Ibn Abbas, kemudian Ibn Mas’ud serta sahabat lainnya.
Said ibn Jubair merupakan salah satu Tabi’in utama yang menguasai berbagai keilmuan baik Tafsir, Hadis, maupun Fiqh. Ia juga meriwayatkan qira’at Ibn Abbas, tafsirnya serta menjadi periwayatnya (Ibn Abbas) dengan riwayat paling banyak. Said ibn Jubair juga meriwayatkan qira’at yang tsabit (terkualifikasi) dari Sahabat lainnya.
Dalam sebuah riwayat yang dibawa oleh Ismail ibn Abdil Malik dikatakan bahwa Said ibn Jubair pernah menjadi imam sholat malam di bulan Ramadhan dan ia selalu membaca al-Qur’an dengan qira’at yang berbeda di setiap malamnya. Malam pertama ia membaca dengan qira’at Ibn Mas’ud, selanjutnya qira’at dengan qira’at Zaid ibn Tsabit dan begitu seterusnya.
Maka tidak heran jika Said ibn Jubair dapat memiliki keluasan ilmu tentang makna redaksi ayat serta rahasia yang ada di baliknya. Namun, meskipun memiliki kapasitas dan level keilmuan yang mumpuni, Said enggan menafsirkan al-Qur’an dengan pandangan pribadinya. Dalam sebuah riwayat yang dibawa oleh Ibn Khulkan dikatakan bahwa Said diminta seseorang untuk menuliskannya tafsir, namun Said langsung marah ketika itu dan mengatakan, “mati sengsara lebih baik untukku dari pada itu”.
Riwayat itu menjadi sepenggal kisah yang menarik. Jika ditelaah mungkin yang dimaksud tafsir yang dibenci oleh Said adalah penafsiran spontan tanpa adanya telaah mendalam yang melibatkan berbagai perangkat keilmuan. Sebab dalam riwayat lainnya tatkala Ibn Abbas ditanya berbagai permasalahan oleh masyarakat Kufah, ia pun mempercayakannya pada Said ibn Jubair. Tentu pertanyaan dari masyarakat bisa saja pertanyaan yang membutuhkan ijtihad, maka jika Said tidak menggunakan ra’y atau logika berpikirnya maka bagaimana ia akan menjawabnya?
Para ulama Jarh wa Ta’dhil menilainya sebagai sebagai seorang yang memiliki hujjah yang tsiqah (kredibel) serta pantas dijuluki Imam umat Islam. Said ibn Jubair pun gugur di tangan seorang penguasa zalim bernama al-Hajjaj di tahun 95 Hijriah sebagai seorang syahid. Kala itu umurnya telah menginjak usia 49 tahun. Kematiannya pun menjadi tangisan bagi alam, Amr ibn Maimun meriwayatkan sebuah ungkapan yang bersumber dari ayahnya, “sungguh telah wafat Said ibn Jubair dan tidaklah satu pun benda yang nampak di bumi ini kecuali membutuhkan ilmunya”.