BerandaTafsir TematikTafsir KebangsaanAyat Zakat dan Isyarat tentang Sumber Pendapatan Negara

Ayat Zakat dan Isyarat tentang Sumber Pendapatan Negara

Sebagai sebuah institusi yang melayani kepentingan umum, negara memerlukan dana untuk menyukseskan program-programnya. Dalam khazanah keislaman, terutama yang berkaitan dengan sejarah peradaban Islam masa lampau, disebutkan bahwa pada masa kepemimpinan khulafa’ ar-rasyidin dan beberapa pemimpin setelahnya, negara memiliki beberapa sumber pemasukan seperti zakat, jizyah, ghanimah, dan lain-lain.

Di antara sumber pendapatan negara tersebut, ada yang sampai sekarang masih eksis bahkan menjadi salah satu ajaran pokok dalam Islam, yaitu zakat.

Zakat secara bahasa berarti berkembang atau upaya untuk menyucikan. Sedangkan secara terminologi syariat, zakat adalah istilah untuk sejumlah harta tertentu yang diberikan kepada orang atau kelompok tertentu dengan beberapa ketentuan yang sudah ditetapkan dalam syariat. (Fath al-Qarib al-Mujib, hal. 89)

Baca Juga: Relasi Pemerintah dan Rakyat dalam Perspektif Alquran

Zakat merupakan satu-satunya rukun Islam yang mengandung aspek sosial yang begitu kuat. Sejak awal, ia diproyeksikan untuk memberantas kemiskinan dan kesenjangan sosial karena faktor finansial. Hal ini terlihat dari objek alokasi harta zakat yang notabene merupakan golongan rentan.

Dalam Q.S. at-Taubah ayat 60, Allah swt. berfirman:

{إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ}

Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” Q.S. Al-Taubah [9]: 60

Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat zakat di atas merupakan sindiran keras terhadap orang-orang munafik yang tidak setuju dengan keputusan Rasulullah saw. terkait pendistribusian harta zakat. Kemudian, Allah swt. menurunkan ayat ini untuk menegaskan bahwa hanya delapan golongan tersebutlah yang berhak mendapat zakat. [Tafsir Ibn Katsir, juz 4, hal. 165].

Syariat zakat ini bertujuan untuk mengikis jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Hal ini terlihat jelas dalam sabda Nabi Muhammad saw.

فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Beritahu mereka bahwa allah swt telah mewajibkan kepada mereka untuk membayar shadaqah (zakat) yang diambilkan dari orang-orang kaya dan diserahkan kepada orang-orang miskin di antara mereka. HR. Bukhari (163/5)

Baca Juga: Ramadan, Zakat Fitrah, dan Mustahiknya

Zakat Sebagai Sumber Pendapatan Negara

Meski Alquran atau hadis tidak secara tegas menyebutkan bahwa zakat bisa menjadi pemasukan negara, tetapi ada beberapa indikator yang membawa kita pada kesimpulan bahwa zakat merupakan salah satu sumber pendapatan negara.

Pertama, dalam ayat zakat, surah at-Taubah ayat 60, mustahik zakat yang disebutkan oleh Alquran tidak bukan adalah orang-orang yang lemah dan membutuhkan bantuan. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi utama dari zakat adalah untuk mencapai kemaslahatan umum yang pada waktu itu direpresentasikan dengan memberdayakan pihak-pihak yang lemah secara ekonomi.

Kedua, ketika Rasulullah saw. mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman untuk mennyebarkan Islam sekaligus menjadi pemimpin di daerah tersebut. Diceritakan dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah bahwa Rasulullah saw. memerintahkan Muadz untuk mengambil zakat berupa biji-bijian, kambing, unta dan sebagainya kepada masyarakat Yaman.

Ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki wewenang untuk mengelola dan mendistribusikan harta zakat untuk kepentingan umat, terutama kepada golongan-golongan yang membutuhkan sebagai mana tersebut dalam ayat.

Ketiga, adanya kata ‘āmil dalam surah at-Taubah ayat 60 berikut haknya sebagai mustahik zakat menunjukkan bahwa pengumpulan dan pendistribusian harta zakat merupakan tugas pemerintah. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan kepada sahabat Muadz bin Jabal sebagai pemimpin pemerintahan kota Yaman untuk memungut dan membagikan zakat. Mula-mula zakat akan masuk kedalam kas negara, kemudian didistribusikan untuk kepentingan orang banyak sesuai dengan yang disebutkan dalam Alquran.

Keempat, sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa kelmpok sabilillah yang menjadi salah satu objek distribusi zakat dimaknai sebagai kemaslahatan umum. Pengarang Tafsir al-Maraghi mengutip riwayat dari Imam Ahmad menjelaskan bahwa sabilillah itu bisa juga dipahami dengan segala hal yang memenuhi unsur-unsur kebaikan, seperti pembiayaan kafan, membangun jembatan, benteng, pembiayaan perluasan masjid, dan lain-lain.

Al-Maraghi lebih lanjut menegaskan bahwa pendapat yang benar tentang yang dimaksud dengan sabilillah adalah menyangkut setiap kepentingan umum bagi umat muslim yang menjadi penunjang tegaknya agama dan negara. (Tafsir al-Maraghi, juz 10, hal. 145)  

Baca Juga: Zakat untuk Korban Kekerasan Perempuan, Tinjauan Tafsir Al-Qur’an

Bertolak dari penafsiran tentang ayat zakat di atas, dapat dipahami bahwa negara berhak menggunakan dana zakat untuk kepentingan umum seperti membangun fasilitas-fasilitas dan infrastruktur demi kesejahteraan rakyat. Tentunya, dengan tidak mengabaikan hak golongan penerima zakat yang lain dari dana zakat tersebut.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa zakat merupakan ibadah sosial yang diproyeksikan untuk menebar kemaslahatan dengan melakukan pemerataan. Untuk mencapai tujuan tersebut, negara harus berperan sebagai fasilitator sekaligus distributor dalam megelola dan mengalokasikan harta zakat tersebut kepada yang berhak. Wallah a’lam.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...