BerandaTafsir TematikTafsir TarbawiBolehkah Seorang Muslim Overthinking?

Bolehkah Seorang Muslim Overthinking?

Secara bahasa, overthinking bermakna to think about something too much or for too long yakni memikirkan sesuatu terlalu lama atau terlalu banyak. Jadi, individu yang overthinking dapat dipahami sebagai orang yang memiliki kecenderungan untuk berpikir secara berlebihan. Dalam banyak kasus, overthinking hanya pikiran acak yang tidak berkesudahan.

Pada dasarnya overthinking bukanlah suatu penyakit fisik ataupun penyakit mental, melainkan suatu fenomena kecemasan yang umum terjadi. Namun faktanya, overthinking atau terlalu banyak memikirkan sesuatu dapat berdampak buruk bagi kesehatan seseorang. Sikap ini disinyalir merupakan salah satu pemicu masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan akut.

Kemudian, penting diketahui bahwa overthinking tidaklah sama dengan berpikir kritis walaupun keduanya sama-sama melibatkan otak secara intens. Keduanya bekerja dengan cara yang berbeda. Berpikir kritis adalah proses otak menganalisis fakta untuk membentuk suatu penilaian atau kesimpulan. Sedangkan overthinking adalah suatu pikiran berulang yang tidak punya arah tujuan dan manfaat.

Baca Juga: Baca Ayat Ini untuk Menghilangkan Rasa Takut dan Menjaga Kesehatan Mental

Istilah overthinking belakangan cukup populer di antara kawula muda, khususnya Gen Z (Generasi yang lahir pada tahun 1997an hingga 2012). Hal ini dapat dilihat dari kata “overthinking” yang banyak ditemukan berseliweran di beranda sosial media mereka. Bahkan, bisa dikatakan bahwa overthinking sangat berkaitan erat dengan realitas kehidupan Gen Z (Lihat: Are You a Gen Z Overthinker?).

Jika fenomena overthinking yang terjadi di kalangan generasi muda dihubungkan dengan kehidupan seorang muslim, maka ada satu pertanyaan mendasar yang penting untuk dipikirkan secara saksama, yakni apakah overthinking dibolehkan dalam Islam? Atau bolehkah seorang muslim overthinking? Artikel ini secara singkat dan filosofis akan menjawab pertanyaan tersebut.

Bagaimana Posisi Overthinking dalam Islam?

Pada dasarnya, manusia memiliki kecenderungan alami terhadap overthinking atau terlalu berpikir mengenai suatu hal, karena ini merupakan bagian dari naluri “survival instincts” sebagai cara bertahan hidup. Kendati demikian, menurut Smith, seorang psikolog, dalam bukunya The Book Of Overthinking, sikap tersebut perlu dievaluasi manakala mengganggu aktivitas harian.

Dalam diskursus keislaman, overthinking dapat dikaitkan dengan perasaan takut, cemas, khawatir, su’uzhan dan gelisah secara berlebihan terkait suatu hal. Sering kali pangkal dari overthinking adalah ketakutan dan kecemasan tentang sesuatu yang tidak diketahui. Implikasinya, seseorang yang memiliki sikap overthinking cenderung berprasangka buruk terhadap sesuatu yang dipikirkannya.

Berkenaan dengan sikap overthinking, khususnya prasangka buruk, Allah Swt telah mengingatkan untuk menghindarinya sebagaimana yang tertuang dalam QS. Alhujurat [49]: 12 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 12: Larangan Berprasangka Buruk

Menurut Ali al-Shabuni dalam kitabnya Shafwat al-Tafasir, ayat di atas memerintahkan umat Islam untuk menjauhi segala bentuk prasangka buruk kepada manusia, karena sebagian besar prasangka itu keliru dan dapat berakibat pada perbuatan dosa. Di samping itu, ayat ini juga memerintahkan muslim untuk tidak mencari dan mengungkap aib saudara sesama muslim.

Berkenaan dengan overthinking, Imam al-Farra’, salah satu mujtahid mazhab Hanbali, menyebutkan dalam bukunya Kitab al-Tawakkul, bahwa tindakan sering memikirkan sesuatu berulang kali atau kehawatiran adalah suatu sikap alami yang berada pada diri manusia. Sikap ini memiliki kategori hukum sesuai dengan kondisi kekhawatirannya.

Berdasarkan objek, kekhawatiran dibagi kepada dua kategori, yakni 1) kekhawatiran tentang dunia; dan 2) kekhawatiran tentang akhirat. Tipe yang kedua merupakan kekhawatiran yang terpuji sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw., “Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai pusat perhatiannya, maka Allah akan menjadikan kekayaan di dalam hatinya, mengumpulkan baginya persatuannya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan senang…”

Adapun kekhawatiran yang pertama, yakni kekhawatiran tentang dunia terbagi pada dua macam berdasarkan intensitasnya, yaitu; 1) kekhawatiran sepintas; dan 2) kekhawatiran yang menetap. Kekhawatiran sepintas adalah kekhawatiran tentang dunia yang terlintas sekejap di dalam hati seseorang terkait suatu permasalahan. Sedangkan kekhawatiran menetap adalah kekhawatiran yang terus menerus ada tanpa henti dalam diri seseorang.

Menurut al-Farra’, dari beberapa jenis kekhawatiran atau overthinking di atas, tipe kekhawatiran yang menetap tentang dunia adalah perbuatan yang tercela, karena itu memiliki dampak negatif bagi pelakunya, di antaranya: 1) dapat mengganggu aktivitas sehari-hari; 2) mendatangkan sikap tercela lain seperti tidak melaksanakan kewajiban karena hanya sibuk dengan pikirannya; 3) dapat menimbulkan prasangka buruk, baik kepada orang lain, diri sendiri atau bahkan Allah Swt.

Baca Juga: Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12

Lebih jauh, al-Farra’ menuturkan bahwa segala macam kekhawatiran atau overthinking dapat ditanggulangi dengan menegaskan sikap tawakal. Baginya, orang yang bertawakal sepenuh hati kepada Allah Swt. memiliki keyakinan bahwa Allah akan memberikan jalan terbaik bagi dirinya. Sikap tawakal yang dimaksud di sini adalah pasrah kepada Tuhan seraya berikhtiar sesuai dengan ketentuan syariat.

Dalam kajian kontemporer, sikap overthinking dapat diatasi dengan banyak cara, salah satunya adalah strategi metakognitif, yakni pemahaman baru tentang bagaimana agar seseorang tidak terlalu cepat memberikan penilaian berdasarkan bukti yang tidak jelas dan belajar melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Dengan kata lain, selama tidak ada bukit nyata, sesuatu tidak perlu dipikirkan.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa banyak berpikir atau overthinking bukanlah suatu penyakit atau perbuatan dosa selama itu berada pada frekuensi yang wajar (tidak berlebihan). Jika overthinking sudah mencapai titik di mana mengganggu aktivitas atau dapat melalaikan pelakunya dari kewajiban sebagai seorang muslim, maka perbuatan tersebut dapat dianggap sebagai sikap tercela.

Wallahu a’lam.

Muhammad Rafi
Muhammad Rafi
Penyuluh Agama Islam Kemenag kotabaru, bisa disapa di ig @rafim_13
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...