Dalam bidang ekonomi, ada istilah trilogi dalam kegiatan perekonomian yang saling berkelindan satu sama lain. Ketiga hal tersebut adalah produksi, distribusi dan konsumsi. Jika proses produksi adalah menciptakan atau menambah nilal barang dan konsumsi adah menghabiskan atau menggunakan barang, maka distribusi adalah upaya menyalurkan barang dari produsen ke konsumen.
Terminologi distribusi sendiri selain mengacu pada upaya penyaluran barang juga meliputi penyaluran kekayaan. Distribusi kekayaan sendiri sangat penting mengingat ia merupakan instrumen untuk realisasi program negara guna mencapai kesejahteraan bersama. Istilah distribusi kekayaan dalam literatur Islam disebut sebagai tauzi’ al-tsarwah (distribusi kekayaan).
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hasyr ayat 7: Perintah Untuk Mendistribusikan Harta Kekayaan
Prinsip pemerataan atau distribusi kekayaan dalam Islam tentu tidak jauh berbeda dengan prinsip-prinsip universal yang menjadi asas seluruh postulat hukum Islam. Prinsip-prinsip universal yang dimaksud adalah prisnip keadilan, kemaslahatan, kesetaraan dan lain sebagainya. Hal ini karena memang goal utama dari syariat Islam adalah menebar kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat.
Terkait prinsip distribusi dalam Islam, perhatikan ayat ke-7 surah al-Hasyr. Allah Swt. berfirman:
{مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ}
Harta rampasan (fai’) dari mereka yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.
Ayat di atas memberikan sebuah gambaran umum bagaimana Islam mengatur masalah distribusi kekayaan. Secara konteks, ayat di atas berbicara masalah alokasi harta fai’, yaitu harta yang diperoleh dari orang kafir tanpa melalui peperangan. berbeda dengan harta ghanimah, prajurit perang tidak mendapatkan hak dalam harta fai’. Sebagian besar dari harta tersebut dialokasikan kepada kaum fakir miskin.
Maka dari itu, pada masa Rasulullah saw., golongan yang menerima harta fai’ adalah para sahabat muhajirin karena pada waktu itu mereka tergolong miskin. penduduk anshor sama sekali tidak mendapatkan harta fai’ lantaran mereka memang tidak memerlukan santunan sebagaimana sahabat muhajirin yang telah meninggalkan harta bendanya di mekkah. [Tafsir al-Sya’rwi, Jilid 18, 50]
Baca Juga: Fungsi Zakat Bagi Ekonomi dan Sosial Masyarakat
Yang menarik dalam ayat di atas adalah adanya penegasan terkait alasan (‘illat) mengapa harta tersebut harus dialokasikan sedemikian rupa. Allah swt mengajarkan pembagian harta sedemikian rupa agar harta benda tidak hanya dapat dinikmati oleh orang-orang kaya saja, melainkan orang-orang kelas menengah kebawah juga memiliki hak untuk hidup sejahtera. Menurut wahbah al-zuhaili, ayat inilah yang menjadi prinsip distribusi kekayaan. [Tafsir al-Munir, Juz 28, 81]
Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sangat menekankan pemerataan guna mencapai kesejahteraan bersama. Kekayaan yang hanya dimonopoli oleh sebagian kalangan adalah tindakan yang tidak sesuai dengan spirit ajaran Islam. Hal ini karena hal tersebut dinilai kontraproduktif dengan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan bersama yang menjadi prinsip utama ajaran islam.
Pendistribusian kekayaan sangat penting dilakukan agar kekayaan tidak hanya terkonsentrasi pada kelompok tertentu saja. Dalam syariat Islam, ada beberapa aturan parsial (furu’/hukum fikih) yang dinilai merupakan ejawantah dari spirit mendistribusikan kekayaan tersebut.
Salah satunya, misal, Islam mewajibkan umatnya yang memiliki kelebihan secara finansial untuk mengeluarkan zakat. Dalam hal ini Nabi saw bersabda:
فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Kabarkanlah kepada mereka bahwa Allah Swt. telah mewajibkan kepada mereka untuk membayar shadaqah (zakat) yang diambilkan dari orang-orang kaya dan diserahkan kepada orang-orang miskin diantara mereka. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadis tersebut, terlihat jelas bahwa syariat Islam menginginkan pemerataan dalam hal ekonomi agar setiap individu dapat merasakan kesejahteraan. Hal ini karena zakat yang notabene merupakan ajaran fundamen dalam Islam (rukun Islam), berorientasi pada kesejahteraan bersama dan pemerataan kekayaan. bahkan mereka yang menolak dan tidak mengakui zakat sebagai bagian dari ajaran islam dihukumi telah keluar dari agama islam.
Akhir kata, sistem ekonomi dalam islam berorientasi kepada keadilan dan kemakmuran bersama. Tidak seperti konsep kapitalis yang berpotensi praktek-praktek monopoli kekayaan, Islam sangat menekankan pentingnya distribusi kekayaan supaya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin tidak terlampau jauh. Sekian.