Kisah di balik surah al-Baqarah ayat 58 ini bermula ketika Allah swt. memerintahkan Nabi Musa dan kaumnya, Bani Israil, untuk keluar dari Mesir menuju ke Baitul Maqdis. Allah telah mempersilakan mereka untuk menetap di sana. Namun sebelum itu, mereka harus mengalahkan suku yang mendiami wilayah itu.
Dengan kata lain, Allah memberikan kesempatan kepada Bani Israil untuk melakukan perang terlebih dahulu. Sebab, sebelumnya, mereka sering melakukan pembangkangan dan penyelewengan. Namun ternyata mereka menolak perintah itu dengan alasan suku Kan’an yang mendiami wilayah itu memiliki fisik yang lebih kuat sehingga tidak mungkin bisa mengalahkannya. Padahal jika mereka bertekad, tentu Allah akan menolongnya melalui Nabi Musa, sebagaimana Allah menolong mereka dari kejaran Fir’aun dan pasukannya di tengah lautan.
Bani Israil berkata kepada Nabi Musa bahwa mereka tidak akan memasuki wilayah itu, sebelum suku Kan’an keluar dari sana. Mereka menyuruh Nabi Musa dan Allah untuk memerangi mereka. Sedangkan mereka berdiam diri menunggu hasilnya. Keterangan ini terdapat di surah al-Maidah ayat 24.
Lagi-lagi perilaku mereka telah membuat sedih hati Nabi Musa. Dengan demikian, Allah pun mengharamkan mereka memasuki Baitul Maqdis. Sebagai balasannya, Allah menghukum Bani Israil di Padang Tih selama 40 tahun. Demikian kurang lebih penjelasan dalam buku Dahsyatnya Doa Para Nabi, 235-237.
Baca Juga: Jejak Bani Israil dan Tanah Palestina yang Dijanjikan
Dalam Taurat Tuhan Sempurna disinggung tentang Padang Tih. Tih berasal dari bahasa Arab yang artinya pengembaraan. Padang Tih adalah salah satu zona wilayah dataran tinggi yang cukup terpencil di Semenanjung Sinai. Secara geografis, Padang Tih merupakan bentangan alam yang kompleks, terdiri dari berbagai topografi, di antaranya rangkaian bebatuan kapur yang besar serta oasis.
Selama 40 tahun lamanya Bani Israil kebingungan di Padang Tih. Seperti kebanyakan padang pasir lainnya, tidak ada air dan tanaman, kecuali sangat sedikit sekali. Saat mereka mulai lelah, ke sana kemari tidak menemukan jalan keluar dan dibarengi dengan rasa lapar yang tiada henti, mereka memohon kepada Nabi Musa agar diberi makanan.
Nabi Musa akhirnya berdoa kepada Allah, dan Allah mengabulkannya. Bani Israil dinaungi dengan awan-awan agar mereka tidak kepanasan. Mereka juga dirizkikan Manna; makanan yang manis seperti madu dan berwarna putih yang setiap pagi mudah didapati karena ia melekat di batu-batu dan daun-daun kayu, Salwa; sebangsa burung puyuh penuh daging yang datang berbondong-bondong sehingga mudah ditangkap, (Tafsir al-Azhar) dan mata air; yang bersumber dari batu yang dipukul dengan tongkat Nabi Musa. (Kisah-Kisah dalam al-Qur’an, 518-519)
Dalam kurun waktu 40 tahun itu, kepemimpinan Bani Israil telah dilimpahkan kepada Nabi Yusya’ bin Nun. Di bawah kepemimpinannya, Bani Israil berhasil menuju Baitul Maqdis. Sesuai dengan perintah Allah dalam surah al-Baqarah ayat 58, ketika memasuki pintunya mereka harus sujud seraya berkata hiṭṭatun (bebaskanlah kami dari dosa).
وَإِذْ قُلْنَا ادْخُلُوا هَٰذِهِ الْقَرْيَةَ فَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ رَغَدًا وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا وَقُولُوا حِطَّةٌ نَغْفِرْ لَكُمْ خَطَايَاكُمْ ۚ وَسَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ
Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Maqdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu, dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik”.
Baca Juga: Runtuhnya Bani Israil: Ibrah Untuk Memulai dari Diri Sendiri
Dalam Tafsir ath-Thabari, pintu hiṭṭah yang dimaksud adalah salah satu pintu Iliya’ di Baitul Maqdis. Sujud yang dimaksud adalah dengan rukuk, khusyuk dan tunduk. Sedangkan makna dari hiṭṭatun (bebaskanlah kami dari dosa) adalah kalimat lā ilāh illallāh, bisa juga yang dimaksud adalah kalimat istighfar.
Namun kenyataannya, Bani Israil lagi-lagi melakukan pembangkangan dan penyelewengan. Mereka tidak melaksanakan perintah Allah. Dalam penjelasan tafsir ayat selanjutnya, al-Baqarah ayat 59, Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa mereka memasuki pintu itu dengan membelakangi dari arah pantat mereka, ada juga yang sambil mengangkat kepalanya. Tidak sampai di situ, mereka juga mengubah kalimat hiṭṭah menjadi hinṭatun fii syi’iiratin (biji-bijian di dalam gandum).
Kata hiṭṭah yang maknanya permohonan ampun kepada Allah diubah menjadi hinṭah yang artinya minta gandum kepada Allah. Menurut Hamka, hal itu menggambarkan bahwa mereka menundukkan kepala bukan bermaksud kerendahan hati kepada Allah karena wilayah itu sudah ditaklukkan, melainkan mereka hanya mengingat berepa puluh gandum yang akan mereka dapatkan dari merampas kekayaan penduduknya. Wallah a’lam.