Abu Thalhah al-Anshari merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad dari kalangan Anshar yang memiliki nama lain Zaid bin Sahl al-Khazraji. Ia terkenal sebagai seorang yang sangat dermawan dan gemar bersedekah. Salah satu kisah kedermawanannya terlihat dalam peristiwa turunnya surah Ali Imran ayat 92.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (Q.S. Ali Imran: 92).
Bersedekah dengan Harta Terbaik yang Dicintainya
Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (2/335-336) menerangkan bahwa ayat tersebut turun salah satunya berkenaan dengan sahabat Nabi yang ikhlas menyedekahkan sesuatu yang sangat ia cintai. Hal ini sebagaimana riwayat Anas ibn Malik, bahwa Abu Thalhah adalah seorang Anshar yang memiliki harta paling banyak di Madinah. Adapun harta yang paling dicintainya adalah Bairuha’ (sebidang kebun kurma) yang letaknya berhadapan dengan Masjid Nabawi. Nabi saw. sering memasuki kebun itu dan meminum airnya yang segar lagi tawar.
Ketika ayat 92 surah Ali Imran turun, Abu Thalhah berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya memiliki kebun yang sangat saya cintai, yaitu kebun Bairuha’ yang terletak di dekat masjid. Maka saya serahkan kebun tersebut di jalan Allah sebagai sedekah. Oleh karena itu, gunakanlah Bairuha’ sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada Baginda.”
Baca juga: Tafsir Surah Al-Hasyr Ayat 9: Sahabat Ansar, Suri Teladan untuk Bersikap Rela Berkorban
Nabi saw. memuji tindakan Abu Thalhah tersebut dan mengatakan bahwa itu adalah sedekah yang sangat baik. Beliau bersabda, “Hebat, hebat, dan baik sekali. Itu adalah harta yang membawa keuntungan. Itu adalah harta yang membawa keuntungan, aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku melihat sebaiknya harta itu kamu sedekahkan kepada para kerabatmu.”
Lalu Abu Thalhah al-Anshari berkata, “Saya akan melaksanakannya wahai Rasulullah.” Lalu Abu Thalhah membagikannya kepada para kerabatnya dan kepada putra-putra pamannya (sepupu).” Dalam riwayat Muslim, mereka adalah Hasan bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab.
Dengan demikian, Abu Thalhah tidak hanya memberikan hartanya, tetapi juga memberi yang terbaik, yaitu sesuatu yang sangat ia cintai. Sahabat Nabi yang dermawan itu menunjukkan teladan yang luar biasa dalam keikhlasan, bahkan jika itu berarti melepaskan sesuatu yang paling berharga bagi dirinya.
Menjamu Tamu dengan Keramahan dan Penuh Kesungguhan
Selain sedekah dengan harta yang dicintainya, sebagaimana diterangkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, kedermawanan Abu Thalhah al-Anshari juga disinggung dalam surah Al-Hasyr ayat 9 sebagai seorang yang mengutamakan orang lain dan dermawan dalam menjamu tamu.
Abu Thalhah dalam hal ini mengikuti teladan dan ajaran Rasulullah. Ia sangat terbuka dan siap menjamu orang yang datang ke rumahnya, baik itu orang miskin, musafir, sahabat, atau bahkan orang yang membutuhkan pertolongan. Dalam beberapa riwayat, diceritakan bahwa meskipun ia sedang kekurangan dan tidak memiliki banyak makanan, ia mengutamakan tamu yang datang dan memberi mereka makan, bahkan jika ia sendiri harus berpuasa.
Baca juga: Ketika Ahnaf bin Qays Melihat Dirinya Melalui Alquran
Hingga suatu waktu ketika Nabi Muhammad bersamanya di masjid, beliau saw. berkata, “Wahai Abu Thalhah, Allah kagum dengan perbuatanmu menjamu tamu.” Bahkan Allah menurunkan sebuah ayat tentang hal itu kepadaku:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (Q.S. Al-Hasyr: 9).
Hal tersebut menunjukkan bahwa menjamu tamu adalah bentuk sedekah dan amal yang sangat bernilai di sisi Allah. Abu Thalhah dalam hal ini mendahulukan dan mengutamakan kepentingan orang lain, bahkan dalam keadaan sulit sekalipun, ia menjamu tamunya dengan cara yang penuh keikhlasan dan tanpa pamrih.
Teladan dari Abu Thalhah al-Anshari
Sedekah terbaik dengan harta yang dicintai adalah bentuk pengorbanan yang luar biasa. Sebab sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Fajr ayat 20 dan Al-Adiyat ayat 8, sifat manusia itu sangat mencintai harta dan teramat berat untuk mengeluarkannya. Akan tetapi, Abu Thalhah dengan rela dan suka hati memberikan kebun yang sangat ia cintai demi keridaan Allah dan Rasul-Nya. Ia mengajarkan bahwa sedekah harus dilakukan dengan tulus tanpa mengharapkan balasan dari manusia, tetapi hanya untuk mengharap rida Allah.
Baca juga: Kisah Thalhah Bin Ubaidillah di Perang Uhud
Abu Thalhah juga memberi teladan bahwa mengutamakan orang lain, baik itu dalam hal berbagi harta, memberi makan tamu, maupun memberikan perhatian kepada yang membutuhkan—adalah tindakan yang sangat mulia. Sesama muslim seharusnya selalu berusaha menyenangkan hati satu sama lain, saling tolong menolong, dan mendahulukan kepentingan yang lain daripada pribadi. Wallah a’lam.[]