Di tengah maraknya tren “self-love” dan “self-care” di media sosial, muncul pertanyaan mendasar, bagaimana sebenarnya Islam memandang konsep mencintai diri sendiri? Di satu sisi, ada fenomena narsisme digital yang berlebihan – dari obsesi dengan “feed goals” hingga kebutuhan konstan akan validasi melalui likes dan komentar. Di sisi lain, ada kebutuhan nyata akan penerimaan diri yang sehat sebagai bentuk syukur atas nikmat Allah SWT.
Dalam Islam, mencintai diri tidak hanya menjadi sarana syukur kepada Allah atas kesempurnaan penciptaan, tetapi juga merupakan langkah awal menuju penghambaan yang lebih tinggi kepada-Nya. Islam mengajarkan bahwa cinta kepada diri sendiri harus diarahkan pada pengelolaan jiwa dan raga agar tetap berada di jalan yang diridhai Allah.
Baca Juga: Tafsir Surah Shad Ayat 31-33: Cara Nabi Sulaiman Mencintai Perkara Dunia
Hakikat Mencintai Diri dalam Islam
Allah SWT berfirman dalam Alquran surah at-Tin ayat ke-4;
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tin [95]: 4).
Ayat ini menjadi landasan bahwa menghargai dan mencintai diri sendiri sesungguhnya adalah bentuk syukur atas penciptaan Allah yang sempurna. Namun, Islam mengajarkan keseimbangan dalam mencintai diri – menghargai nikmat Allah tanpa jatuh dalam kesombongan.
Menurut Al-Tabari dalam (Jāmi‘ al-Bayān, juz 24, 512–513), frasa ahsani taqwim dalam surah At-Tin ayat 4 merujuk pada penciptaan manusia dalam bentuk yang paling sempurna. Penafsiran ini didukung oleh pendapat Ibn Abbas yang menyebut bahwa manusia diberikan postur tubuh tegak yang membedakannya dari makhluk lain, seperti hewan yang diciptakan dengan posisi menunduk. Kesempurnaan ini menunjukkan kebesaran Allah dan menjadi alasan bagi manusia untuk selalu bersyukur.
Selanjutnya, dalam surah Al-Isra ayat 70, Allah lebih lanjut menjelaskan tentang kedudukan manusia yang dimuliakan-Nya dengan berbagai keistimewaan yang patut untuk disyukuri.
۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًا
“Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.” (QS. Al-Isra [15]: 70).
Baca Juga: Self Reward Berujung Pemborosan, Begini Manajemen Harta ala Alquran
Imam Fakhruddin al-Razi dalam (Mafatih al-Ghaib, juz 21, 372–373) menjelaskan empat aspek yang menunjukkan keistimewaan manusia berdasarkan ayat ini:
Kesempurnaan Penciptaan Fisik dan Ruhani
Allah SWT memberikan manusia bentuk fisik yang sempurna dan memuliakannya dengan ruh yang tinggi nilainya. Al-Razi mencatat bahwa perpaduan antara jasmani dan ruhani ini membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Keistimewaan Akal dan Pikiran
Salah satu karunia terbesar yang dimiliki manusia adalah akal. Dengan akal ini, manusia mampu berpikir, memahami, dan merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta. Hal ini menjadikan manusia mampu menjalankan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi.
Kemampuan untuk Menjelajahi Darat dan Laut
Al-Razi menggarisbawahi bahwa manusia diberi kemampuan untuk menguasai teknologi dan sarana yang memungkinkannya menjelajahi daratan dan lautan. Ini mencerminkan kebesaran Allah yang menciptakan manusia dengan kemampuan beradaptasi dan menguasai alam.
Rezeki dari yang Baik-baik
Allah SWT menyediakan bagi manusia berbagai rezeki yang baik untuk dimanfaatkan. Karunia ini bukan hanya mencakup makanan, tetapi juga berbagai nikmat lainnya yang menunjang kehidupan manusia dengan penuh kemuliaan.
Dari uraian ini, dapat dipahami bahwa mencintai diri sendiri dalam Islam adalah dengan mengakui keistimewaan yang Allah berikan, mensyukurinya, dan menggunakannya untuk kebaikan. Namun, cinta ini harus tetap dilandasi kesadaran bahwa keistimewaan tersebut berasal dari Allah, sehingga manusia tidak boleh lupa diri dan jatuh dalam kesombongan. Rasulullah SAW sendiri memberi peringatan tentang batas tipis antara mencintai dan memuja diri melalui sabdanya:
“Tidaklah masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi.”
(HR. Muslim).
Hadits ini mengajarkan bahwa mencintai diri harus dilandasi kesadaran akan kebesaran Allah, bukan ego semata. Dengan menjaga keseimbangan antara mencintai diri dan kerendahan hati, seorang muslim dapat menjalankan amanahnya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.
Baca Juga: Tahadduts bi al-Ni’mah sebagai Ekspresi Rasa Syukur
Self-Love Sesuai Syariat
Dalam praktiknya, self-love dalam Islam berbeda dengan konsep modern yang sering ditemui di media sosial. Self-love Islami berfokus pada ridha Allah, menjadikan syukur sebagai fondasi, dan mengutamakan keseimbangan dunia-akhirat. Berbeda dengan konsep modern yang seringkali terlalu berfokus pada penerimaan sosial dan mengedepankan ego pribadi.
Al-Ghazali dalam (Ihya’ Ulumuddin, juz 4, 320–321) menggambarkan bahwa keberadaan Allah adalah yang paling nyata dan jelas di antara segala sesuatu. Namun, kejelasan ini sering kali tidak disadari karena manusia lebih mudah memahami hal-hal yang bersifat fisik dan kasat mata. Beliau menegaskan bahwa setiap makhluk di alam semesta ini menjadi bukti yang gamblang atas kebesaran Allah, mulai dari ciptaan yang sederhana hingga kompleks. Bahkan tubuh dan jiwa kita sendiri menjadi saksi nyata atas keberadaan dan keagungan-Nya.
Oleh karena itu, merawat diri dalam Islam adalah bentuk amanah. Mulai dari menjaga kebersihan sebagai bagian dari iman, mengonsumsi makanan yang halal dan thayyib, hingga menjaga kesehatan mental melalui zikir dan ibadah. Semua ini dilakukan bukan untuk mendapat validasi sosial, melainkan sebagai bentuk syukur dan upaya mendekatkan diri pada Allah.
Menyikapi Era Digital
Di era digital yang serba terhubung ini, kita sering kali terjebak dalam pencarian validasi dan pengakuan melalui media sosial. Namun, Islam mengajarkan bahwa nilai sejati seorang individu tidak diukur berdasarkan jumlah likes, followers, atau popularitas dunia maya, melainkan pada kualitas hubungan manusia dengan Allah SWT dan bagaimana menjalani kehidupan yang penuh berkah.
Oleh karena itu, dalam dunia digital ini, mencintai diri sejati berarti tidak membiarkan standar dunia maya memengaruhi harga diri manusia. Yang lebih penting adalah manusia memahami bahwa kualitas hidup yang sesungguhnya terletak pada hubungan dengan Allah, serta bagaimana bisa memberikan manfaat kepada orang lain dengan apa yang dimiliki.
Penutup
Self-love dalam Islam bukanlah tentang memuja diri atau mencari validasi eksternal. Ini adalah perjalanan spiritual untuk menghargai dan merawat anugerah Allah sambil terus berusaha menjadi hamba yang lebih baik.
Mencintai diri dalam Islam adalah keseimbangan antara mensyukuri nikmat Allah dan terus berusaha memperbaiki diri, antara menerima diri apa adanya dan tetap berjuang menjadi versi terbaik dari diri sendiri – bukan untuk dunia, melainkan untuk Allah SWT. Wallahu a’lam