Pada tanggal 15 Februari 2025 kemarin, Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) baru saja merayakan 20 tahun berdirinya. Perayaannya diselenggarakan di Masjid Istiqlal dengan tajuk “Membumikan Alquran”. Dalam acara tersebut diadakan beberapa sesi diskusi. Salah satunya adalah diskusi dengan tema “Indonesia Emas, Bukan Cemas” yang diisi oleh Dr. Fahruddin Faiz dan Habib Husein bin Ja’far. Diskusinya berlangsung menarik dengan kombinasi Dr. Faiz yang lemah lembut dan Habib Ja’far yang penuh dengan banyolan renyah.
Pak Faiz, sapaan akrab beliau, menceritakan apa makna membumikan Alquran baginya. Menurutnya, pembumian Alquran diawali dengan kesadaran bahwa Alquran itu shâlih li kulli zamân wa makân. Turunnya ayat sudah berhenti, tapi maknanya masih terus memberi arti.
“Alquran itu pasti membumi. Hanya saja manusia yang sering lupa untuk merujuk dan mengaksesnya dalam kehidupan sehari-hari. Alquran sering diposisikan jauh, seakan-akan hanya menjadi pedoman untuk yang di langit. Padahal itu diturunkan untuk kita di bumi dan dipastikan selalu sesuai kapanpun dan di manapun untuk hidup kita. Jikalau kita mau membaca, menelaah, qirâ’ah, tilâwah, dan tadabbur, kita pasti mendapatkan makna yang cocok untuk hidup kita dalam momen apapun, dalam situasi apapun. Alquran dibumikan, dijadikan teman dan pedoman sehari-hari dalam menghadapi apapun problem kita,” ungkap beliau.
Baca juga: PSQ dan Perjalanan Dua Dekade, Membimbing Umat dengan Al-Qur’an
Dalam kesempatan tersebut, Dr. Fahruddin Faiz membagikan beberapa ayat Alquran yang makna filosofisnya ia resapi dan menyentuh hatinya.
Pertama, potongan Q.S. al-Baqarah/2: 156 “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râjiun.” Dalam imajinasi Dr. Faiz, pada ayat ini beliau membayangkan Allah sedang berkata padanya, “Engkau milikku, jangan sampai berpaling pada yang lain.” Bagi beliau, ini adalah pengalaman yang menggetarkan. Momen di mana Allah mengaku kepada kita bahwa kita miliknya merupakan sebuah hal yang sangat dahsyat. Bagaimana bisa, kita yang remeh ini didaku oleh Allah sebagai satu-satunya miliknya.
Kedua, salah satu potongan ayat dalam Q.S. al-Taubah/9: 40 “Lâ tahzan innallâha ma’anâ.” Bagi Dr. Faiz, ayat ini sedang memberitahu kita bahwa Allah sedang melindungi kita. Seakan-akan Allah sedang menghibur kita dengan berkata “Jangan bersedih, tak perlu gelisah. Aku selalu bersamamu, Aku selalu menyertaimu.” Ayat ini membuat Dr. Faiz tersadar bahwa betapa Allah sangat menyayangi dan mencintai kita. “Kesedihan apapun, Allah yang datang pertama menghiburku,” tegasnya.
Ketiga, penggalan ayat dalam Q.S. al-Baqarah/2: 286 “Lâ yukallifullâhu nafsan illâ wus’ahâ.” Sebuah potongan ayat yang tidak asing di telinga kita, yang sering digunakan untuk memotivasi dan menguatkan kita saat tertimpa musibah. Dalam ayat ini Dr. Faiz membayangkan sedang dielus-elus oleh Allah dan diberitahu agar selalu tenang, tak perlu cemas dan gelisah. Apapun yang sedang engkau hadapi, engkau mampu menyelesaikannya. Allah yang menanggungnya. Bagi Dr. Faiz, Allah seperti sedang berbisik, “Kamu tenang saja, tidak usah sedih, tidak perlu gelisah. Tidak mungkin Aku mengujimu dan membebanimu dengan hal yang berat.” Allah tidak membebani kita dengan hal yang kita tidak mampu.
Baca juga: Tiga Alasan Pentingnya Hermeneutika Al-Qur’an Menurut Fahruddin Faiz
Bagaimana Dr. Fahruddin Faiz meresapi makna ayat-ayat tersebut sebenarnya sedang membuktikan fungsi Alquran sebagai syifâ’ atau obat. Di era digital ini, kecepatan dan kemudahan untuk mengakses informasi membuat manusia terekspos dengan banyak kesuksesan dan standar hidup orang lain. Hal ini terkadang membuat manusia cemas. Rasa cemas yang muncul tanpa adanya pedoman dan prinsip pada puncaknya akan menimbulkan depresi.
Menyadari bahwa Alquran ada untuk manusia sebagai obat dan kompas hidup sangatlah penting. Segala ujian yang dihadapi manusia sebenarnya bukan untuk membebani mereka. Ujian ini justru untuk menarik manusia agar kembali kepada Allah. Untuk memberi tahu manusia bahwa Allah selalu ada untuknya, bahkan saat seluruh manusia berpaling darinya. Agar manusia memahami bahwa Allah tidak sedang menguji manusia agar ia gagal, Allah mengujinya agar ia bertumbuh.
Maka dari itu, kembali kepada Allah melalui membumikan Alquran merupakan kiat untuk menghilangkan kecemasan.