Dua Cara Ulama Menafsirkan Al Quran: dengan Riwayat dan Rasio

Moroccan students is studying islamic theology in Rabat

Secara umum, ada dua cara penafsiran yang dikenal di kalangan ulama sejak dilakukannya aktivitas tersebut pertama kali pada zaman Nabi hingga masa sekarang, yaitu tafsir bil ma’sur (tafsir dengan riwayat) dan tafsir bir ra’yi (tafsir dengan rasio).

Menafsirkan tidak hanya berarti memahami untuk diri sendiri, melainkan juga ada aspek memahamkan kandungan Alquran orang lain. Nabi secara khusus tidak pernah mengajarkan para sahabat tentang cara menafsirkan Alquran. Perbedaan cara penafsiran Alquran pun muncul sepeninggal beliau. Berikut dua model penafsiran tersebut

Tafsir bil ma’sur (Tafsir dengan riwayat)

Tafsir bil ma’sur adalah cara menafsirkan Alquran dengan berpegang pada kutipan-kutipan nas atau riwayat. Manna’ al-Qattan dalam Mabahis fi Ulumil Qu’an, menyebutkan teks-teks otoritatif yang dapat digunakan untuk menjelaskan kandungan Alquran. Di antaranya adalah teks Alquran itu sendiri, kemudian hadis Nabi, selanjutnya pendapat sahabat dan pemuka tabiin.

Penyebutan teks-teks di atas diurutkan berdasarkan skala prioritasnya. Ini berarti teks Alquran lebih didahulukan untuk menjelaskan teks Alquran lainnya, karena menurut ulama, Alquran itu merupakan satu kesatuan yang saling menjelaskan satu sama lain (al-Qur’an yafassiru ba’dhuhu ba’dhan).

Apabila penjelasan suatu ayat tidak ditemukan pada ayat lain, maka ulama mencarinya di hadis Nabi. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi hadis adalah sebagai tibyan (penjelas) bagi Alquran.

Bila kembali tidak ditemukan penjelasan dari hadis Nabi, maka dapat mengutip pendapat para sahabat. Pemahaman sahabat atas Alquran kemungkinan besar berasal dari apa yang telah Nabi ajarkan. Terakhir, apabila tidak ditemukan keterangan dari kalangan sahabat, maka bisa menelusuri pandangan dari para pembesar tabiin yang umumnya telah belajar tafsir dari para sahabat.

Sebagai contoh dari tafsir jenis ini yaitu penjelasan at-Tabari ketika menafsirkan kata kezaliman dengan kesyirikan pada QS. Al-An’am: 82.

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Sebagaimana diceritakan dalam hadis yang dikutipnya, ketika ayat di atas turun, para sahabat merasa terbebani. Mereka tidak yakin ada di antara mereka yang bebas dari perbuatan zalim, sampai akhirnya Nabi meluruskan bahwa yang dimaksud kezaliman di ayat tersebut adalah kekufuran. Beliau merujuk pada ungkapan Luqman al-Hakim di ayat lain yang berbunyi:

إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar (QS. Luqman: 13).

Tafsir bir ra’yi (Tafsir dengan rasio)

Adapun tafsir bir ra’yi (tafsir dengan rasio) merupakan bentuk penafsiran Alquran yang berbasis rasio. Demi mengontrol kemampuan rasionalitas manusia yang terkadang liar, tafsir jenis ini dibagi menjadi dua macam.

Pertama, ar-ra’yu al-mahmudah (rasio yang terpuji), yaitu penalaran yang didasarkan pada hasil ijtihad, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan tidak bertentangan dengan syariat. Kedua, ar-ra’yu al-qabihah (rasio yang tercela) yang murni hanya dari pemikiran sendiri atau tidak berdasar. Tafsir yang diterima oleh para ulama hanya dari macam yang pertama.

Salah satu ulama yang sering menggunakan model penafsiran bir ra’yi dalam karya tafsirnya adalah ar-Razi. Ia menafsirkan al-maghdub ‘alaihim (yang dimurkai) dalam QS. Al-Fatihah: 7 dengan orang-orang kafir dan ad-dallin (yang sesat) dengan orang-orang munafik. Kesimpulan ini didapat dari analisisnya terhadap awal surah berikutnya yang secara berurutan membicarakan tentang orang-orang yang beriman, kafir dan munafik.

Ulama era klasik atau generasi awal Islam cenderung menggunakan tafsir bil ma’sur, karena dinilai sebagai cara yang paling aman dalam menafsirkan Alquran. Oleh karenanya, kajian tafsir kala itu erat kaitannya dengan kajian hadis. Karya-karya tafsir awal seperti Jamiul Bayan milik at-Tabari bahkan penuh dengan riwayat-riwayat hadis yang ditulis lengkap dengan sanad-sanadnya.

Pada era pertengan, baru bermunculan tafsir yang menggunakan model tafsir bir ra’yi seperti Tafsir al-Jalalain karya al-Mahalli dan as-Suyuti, Mafatihul Ghaib karya ar-Razi dan al-Kashshaf karya az-Zamakhsyari.

Meski demikian, tidak ada ulama yang hanya bergantung pada riwayat tanpa sama sekali memakai rasio, sebab dalam memilih riwayat pun tentu mengandalkan rasio, mana riwayat yang menurutnya sesuai untuk menafsirkan suatu ayat dan yang tidak. Begitu juga ketika mufasir menggunakan rasionya untuk menafsirkan Alquran, tentu pemikirannya tersebut berdasarkan pada teks-teks keagamaan yang telah dibacanya meskipun tidak dicantumkan secara eksplisit dalam penafsiran.

Selain tafsir bil ma’sur dan tafsir bir ra’yi, Ada pula yang menambahkan cara ketiga, yakni tafsir bil ishari seperti az-Zarqani dalam karyanya, Manahilul ‘Irfan fi ‘Ulumil Qur’an. Tafsir bil ishari menurutnya adalah menafsirkan Alquran dengan cara menakwil makna lahiriahnya dengan makna lain yang halus dan tersebunyi. Mereka menyebutnya dengan makna ishari. Tafsir jenis ini biasa dilakukan oleh para sufi.

Demikianlah cara ulama menafsirkan Alquran. Dapat juga dikatakan sebagai sumber penafsiran atau bentuk penafsiran. Satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa bagaimana pun hasil penafsiran seorang mufassir, selama itu jelas sumbernya dan sesuai dengan metodenya, meski menghasilkan kesimpulan yang berbeda, harus diterima dengan lapang dada. Tidak selayaknya masing-masing merasa hanya penafsirannya atau penafsiran kelompoknyalah yang benar.