Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi

Tafsir sufistik
Tafsir sufistik

Kajian tafsir Al-Quran dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan dan perubahan. Berbagai metode, pendekatan, dan corak tafsir telah dihasilkan oleh para ulama pengkaji Al-Quran. Pada abad pertengahan, sejak terjadi pergeseran metode penafsiran dari tafsir bi al-ma’tsur ke tafsir bi al-ra’yi, mulai muncul berbagai corak penafsiran. Salah satu corak tafsir yang berkembang pada era saat itu adalah corak tafsir sufistik.

Definisi Tafsir Sufistik

Para ulama berbeda pendapat terkait asal kata dari tasawwuf, ada yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata al-Shauf yang bermakna kain wol, karena para sufi saat itu dikenal dengan pakainya yang sederhana sehingga berbeda dengan manusia pada umumnya. Terdapat juga pendapat yang mengatakan dari kata al-Shafa’ yang maknanya jernih, karena inti dari tasawuf adalah proses penjernihan hati. Terakhir, ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata al-Shuffah yaitu julukan yang dinisbahkan kepada para fakir miskin di masa Sahabat (fuqara’ al-shabah).

Secara definitif, para ulama memaknai tafsir sufistik sebagai kegiatan pentakwilan makna ayat Al-Quran dengan makna yang bukan makna lahirnya, karena ada isyarat khusus yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual (salik) dan tasawuf. Serta adanya kemungkinan kesesuaian dan korelasi antara makna lahiriyah (dhahir al-nash) dengan makna batiniyah (bathin al-nash).

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa corak tafsir sufistik ini merupakan corak tafsir yang memalingkan makna lahir ayat ke dalam makna batin ayat dengan menggunakan ajaran tasawuf sebagai bahan dasar dalam proses penafsiran ayat tersebut. Sehingga corak tafsir ini memiliki tujuan untuk mengungkap kandungan rahasia-rahasia ayat Al-Quran yang tersembunyi dibalik makna lahirnya.

Baca Juga: Ragam Corak Tafsir Al-Quran

Klasifikasi Tafsir Sufistik

Kemudian terkait klasifikasinya, dalam kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun karya Syaikh Husain al-Dzahabi, beliau menjelaskan bahwa Corak tafsir sufistik ini terbagi dalam menjadi dua bagian yaitu:

  1. Tafsir Sufi Nazhari (Teoretis): madzhab tafsir yang dalam pengungkapan makna ayat Al-Quran menggunakan pendekatan kajian terhadap beberapa teori tasawuf maupun filsafat. Kemudian, dari kajian tersebut kemudian dicari dalil-dalil dari Al-Quran untuk memperkuat teori tersebut. Salah satu tokoh sufi yang mengusung corak tafsir ini adalah Muhyiddin Ibnu Arabi (w. 1240 M) dalam karyanya al-Futuhat al-Makkiyah.

Contoh impelementasi penafsiran sufistik klasifikasi pertama ini dapat dilihat dari interpretasi Ibnu Arabi terhadap Q.S. al-Rahman [55] ayat 19:

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيٰنِۙ – ١٩

Dia membiarkan dua laut mengalir yang keduanya (kemudian) bertemu

Ibnu Arabi memahami dua lautan tersebut sebagai dua entitas dalam diri manusia yang saling berkebalikan. Yaitu antara lautan raga yang asin dan pahit dengan lautan ruh yang murni, tawar, dan segar. Dimana keduanya saling bertemu dalam wujud manusia.

Kemudian, terkait karakteristiknya, Husain al-Dzahabi menyebutkan empat ciri utama tafsir sufi nazari, yaitu pertama, produk penafsiran corak ini sangat bias dengan ajaran filsafat. Kedua, dalam proses penafsiranya terdapat bias ideologi ajaran wahdah al-wujud. Ketiga, menjelaskan hal-hal yang metafisik (ghaib) dengan uraian yang tampak/jelas. Terakhir, keempat, corak tafsir ini seringkali tidak memperhatikan aspek kebahasaan ayat dan hanya menafsirkan sesuai kehendak hati dan jiwa penafsir.

Baca Juga: Dua Cara Ulama Menafsirkan Al Quran: dengan Riwayat dan Rasio

  1. Tafsir Sufi Isyari/Amali (Praktis): corak tafsir yang dalam pengungkapan makna Al-Quran menggunakan ta’wil berdasarkan pada isyarat-isyarat khusus yang diberikan kepada para sufi, salik, ahli ibadah, dan orang-orang yang dekat dengan Allah. Tafsir sufi isyari ini juga dapat disebut dengan nama tafsir sufi faydi. Salah satu mufasir yang dianggap menggunakan corak tafsir ini adalah al-Naisaburi (w. 728 H) dalam karyanya Gharaib Al-Quran wa Raghaib al-Furqan.

Contoh interpretasi sufistik yang menggunakan klasifikasi kedua ini dapat dilihat dalam proses penafsiran al-Naisaburi terhadap Q.S. al-Baqarah [2] ayat 67:

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖٓ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تَذْبَحُوْا بَقَرَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۗ قَالَ اَعُوْذُ بِاللّٰهِ اَنْ اَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ – ٦٧

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh

Menurut al-Naisaburi, ayat tersebut mengandung isyarat agar manusia menyembelih nafsu kebinatangan yang terdapat dalam diri mereka. Hal ini bertujuan untuk menjernihkan dan menghidupkan ruh hati (al-qalb al-ruhani). Bahkan, ia menganggap perintah untuk mejernihkan hati tersebut sebagai bentuk jihad yang paling besar (al-jihad al-akbar).

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

Prasyarat Tafsir Sufistik

Para ulama berbeda pendapat mengenai corak tafsir ini, ada yang menerimanya sekaligus membenarkan penggunaan pengalaman spritualitas dalam menafsirkan Al-Quran. Golongan ini berdalih bahwa penggunaan corak tafsir isyari ini menunjukkan akan kesempurnaan iman dan tingkat kema’rifatan seseorang. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa corak ini tidak bisa digunakan dalam menafsirkan Al-Quran. Hal ini dikarenakan seringkali corak ini menimbulkan makna yang sangat jauh bahkan seringkali bertentangan dengan makna lahir Al-Quran.

Oleh karena itu, dalam menganggapi perbedaan sikap ulama tentang tafsir isyari (sufi), para ulama memiliki beberapa persyaratan dalam proses penafsiran dengan corak tafsir sufistik. Dalam kitab ‘Ulum Al-Quran al-Karim karya Syaikh Nuruddin ‘Itr, beliau mengemukakan adanya empat persyaratan yang harus dipenuhi sebagai tolok ukur diterima tidaknya penafsiran sufistik tersebut. Diantara beberapa persyaratanya adalah:

  1. Dalam proses penafsiran corak sufistik harus argumentasi dari dalil syari’at yang mendukung hasil penafsiran tersebut. Karena apabila produk tafsir sufistik tersebut tidak memiliki dalil rujukan ataupun memiliki dalil rujukan namun bertentangan, maka para ulama sepakat untuk menolak hasil penafsiran tersebut.
  2. Produk tafsir sufistik harus sesuai dengan kandungan bahasa atau aspek kebahasaan yang digunakan oleh lisan orang-orang Arab.
  3. Produk hasil penafsiran sufistik tidak boleh menyelisihi atau bertentangan dengan syari’at ataupun akal sehat manusia.
  4. Dalam proses penafsiran sufistik, seorang penafsir tersebut harus mengetahui lebih dahulu makna lahir sebuah ayat. Hal ini dikarenakan seorang penafsir tidak akan mencapai makna batin sebuah ayat sebelum memahami makna lahirnya. Oleh karena itu, tidak boleh hanya mengandalkan makna batin hasil penafsiran sufistik tanpa menghiraukan makna lahir ayat.

Bahkan, saking pentingnya poin keempat ini, Syaikh Nuruddin ‘Itr sampai mengilustrasikan orang yang mengklaim dirinya telah mengetahui makna rahasia atau batin ayat Al-Quran sebelum terlebih dahulu mengetahui makna lahir ayat, maka ia seperti orang yang mengklaim telah sampai ke dalam rumah sebelum melewati pintu rumah tersebut. Wallahu A’lam