Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari

tafsir at-thabari
tafsir at-thabari

Tafsir At-Thabari atau Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran merupakan tafsir Al-Quran pertama di antara sekian banyak kitab-kitab tafsir pada era klasik Islam, juga sekaligus sebagai tafsir pertama yang diketahui secara nayata, sedangkan tafsir sebelumnya telah hilang ditelan zaman. Tafsir ini menjadi milestone (tonggak sejarah) dunia penafsiran Al-Quran di era klasik Islam.

Identitas Tafsir At-Thabari

Musthafa Shawi al-Juwaini dalam Manahij fi al-Tafsir mengatakan bahwa Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran merupakan tafsir yang ditulis pada akhir kurun yang ketiga dan Imam At-Thabari mulai mengajarkan kitab ini pada muridnya dari tahun 283 H-290 H. Tafsir ini terdiri dari 30 juz yang masing-masing berjilid besar dan tebal.

Tafsir At-Thabari dicetak untuk pertama kalinya ketika beliau berusia 60 tahun (284 H/ 899 M). Dengan dicetaknya Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran ini maka jagat penafsiran Al-Quran dan ilmu turunannya mulai berkembang. Syekh Islam Taqi al-Din Ahmad bin Taimiyah pernah ditanya tentang tafsir yang manakah yang lebih dekat dengan Al-Quran dan As-Sunnah? Beliau menjawab bahwa di antara semua tafsir yang ada pada kita, Tafsir Imam Muhammad bin Jarir At-Thabari inilah yang paling otentik.

Lebih dari itu, pemikir kontemporer Mohamed Arkoun dalam buku Berbagai Pembacaan aAl-Quran mengatakan bahwa Tafsir At-Thabari atau Jami’ al-Bayan telah mendapatkan lisensi yang otoritatif tiada tara baik di kalangan muslimin maupun Islamolog. Imam At-Thabari telah mengkodifikasi satu karya monumental yang terdiri dari 30 jilid, satu jumlah yang mengesankan di era itu dengan akhbar (berita, cerita—cerita, tradisi, dan informasi) yang tersebar se-antero Timur Tengah selama 3 abad hijriyah.

Baca juga: Imam At-Thabari, Sang Maestro Tafsir Al-Quran Pertama Dalam Islam

Bentuk Penafsiran

Tafsir At-Thabari dikenal sebagai tafsir bil ma’tsur yang mendasarkan penafsirannya pada riwayat Nabi saw, para sahabat, tabi’in, dan seterusnya. Ibnu Jarir dalam tafsirnya telah mengkompromikan antara riwayah dan dirayah. Dari aspek riwayah, biasanya ia tidak memerika mata rantai periwayatannya, meskipun kerap mengkritik sanad dengan melakukan ta’dil dan tarjih tentang hadits-hadits itu sendiri. Sekalipun begitu, untuk menentukan makna yang paling tepat terhadap sebuah tafsir, Imam At-Thabari juga menggunakan ra’yu (akal).

Metode Penafsiran

Metode yang dipakai oleh Imam At-Thabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran adalah metode tahlili, yang imulai dengan mengupas makna semantik, dan i’rab jika diperlukan. Apabila tidak mendapati rujukan riwayat dari hadits, barulah ia melakukan pemaknaan terhadap kalimat, dan ia kuatkan dengan untaian bait syair dan prosa klasik yang berfungsi sebagai syawahid.

Dengan langkah demikian, proses tafsir (takwil) pun terjadi. Tatkala berhadapan dengan ayat-ayat yang munasabah mau tidak mau Ibnu Jarir At-Thabari harus menggunakan logika (manthiq). Metode semacam ini termasuk kategori tafsir tahlili dengan orientasi penafsiran bil ma’tsur dan bil ra’yi yang merupakan inovasi baru di bidang tafsir kala itu atas tradisi penafsiran yang berlaku sebelumnya.

Sumber Penafsiran

Adapun sumber penafsiran yang digunakan dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran atau Tafsir At-Thabari adalah bil ma’tsur sebagaimana yang disinggung di atas. Hanya saja ada sedikit yang ebrbeda, yaitu Imam At-Thabari mengambil riwayat yang lebih unggul dari para mufasir generasi sebelumnya. Bahkan beliau tidak hanya sekadar “mensitasi” riwayat Nabi saw dan mufasir sebelumnya, melainkan juga mengkritisi atau memberikan hasyiyah (komentar) nama riwayat yang shahih dan tidak.

Dengan demikia, sumber penafsiran Imam At-Thabari banyak mengambil hadits Nabi saw, pendapat sahabat, tabi’in, syair Arab dan sirah nabawiyah. Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran atau Tafsir At-Thabari ini juga mencakup banyak beberapa disiplin ilmu, seperti kebahasaan, qiraat dengan pentarjihan terhadap riwayat qiraat yang dikutip. Hal ini bertujuan agar berfungsi sebagai bayan (penjelas) akan makna kata atau teks ayat Al-Quran yang ditafsirkan. Beliau juga menyeleksi dan memilih keterangan yang sekiranya baginya adalah paling kuat atau unggul.

Baca juga: Tafsir Fiqh (3): Ibn Al-Arabi dan Ahkam al-Qur’an-nya

Langkah Penafsiran

Imam At-Thabari dalam menafsirkan menempuh beberapa langkah sebagai berikut, 1) menempuh jalan tafsir atau ta’wil; 2) mengaitkan ayat satu dengan ayat lain (munasabah) sebagai pengaplikasian teoritis Al-Quran “yufassiru ba’duh ba’dhan”; 3) menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah atau Al-Hadits; 4) bersandar pada analisis kebahasaan bagi kata yang riwayatnya masih diperselisihkan;

5) mengeksplorasi syari dan pprosa Arab tatkala menjelaskan makna kosakata dan kalimat; 6) memperlihatkan aspek i’rab dengan analogis untuk ditahqiq dan ditarjih; 7) pemaparan ragam qiraat dalam kerangka menyingkap (al-kasyf) makna ayat; 8) merentangkan perdebatan di bidnag fiqih dan teori hukum Islam (ushul fiqih); 9) mencermati kembali munasabah ayat sebelum dan sesudahnya, meski dalam kadar yang relatif kecil; 10) melakukan sinkronisasi antar makna ayat untuk memperoleh kejelasan sehingga mampu menangkap makna secara utuh dan tidak sepotong-potong.

Disitngsi Penafsiran

Yang unik – dan yang seharusnya memang – Tafsir At-Thabari selalu menganalisis aspek kebahasan yang sarat akan nuansa syair, prosa Arab Kuno, variasi qiraat, perdebatan isu kalam, dan diskursus seputar kasus hukum tanpa harus mengklaim kebenaran subjektif sehingga Imam At-Thabari tidak menunjukkan sikap fanatisme bermazhabnya atau alirannya. Kekritisannya ini kemudian mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa At-Thabari termasuk mufasir profesional dan konsisten dengan bidang sejarah yang beliau kuasai.

Catatan Akhir

Penafsiran Al-Quran secara umum dimulai pada abad keempat hijriyah yang dipelopori oleh Ibn Jarir At-Thabari (w. 310 H/ 922 M) dengan magnum opus-nya Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Quran atau Tafsir At-Thabari. Pasca At-Thabari, lalu diikuti oleh Ibnu Katsir (w. 774 H/ 1377 M) dalam karyanya al-Dhur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur. Model inilah yang kemudian dikenal sebagai tafsir bil ma’tsur. Selain itu, kemudian muncul berbagai metode dan teknik penafsiran lain dalam menafsirkan Al-Quran. Wallahu A’lam.