Abdul Moqsith Ghazali, Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Situbondo

abdul moqsith ghazali
abdul moqsith ghazali (independensi.com)

Salah satu intelektual muslim Indonesia yang memiliki pandangan sedikit kontroversial adalah Abdul Moqsith Ghazali. Pandangan kontroversial itu di antaranya, Al-Quran dapat ditafsiri dan didekati dengan berbagai macam pendekatan, salah satunya hermeneutika, sebuah pendekatan untuk membaca Alkitab (scripture) Bibel.

Tidak berhenti di situ, Abdul Moqsith ketika menafsirkan Q.S. Al-Baqarah Ayat 62 dan Al-Maidah ayat 69 tentang keselamatan masyarakat non-Muslim menurut pluralisme agama, ia menafsirkan bahwa menurut Al-Quran, mereka non-Muslim akan selamat dari siksa Tuhan selama mereka mengamalkan ajaran agamanya. Itulah secuil dari beberapa pemikiran kontroversial Abdul Moqsith Ghazali.

Profil Abdul Moqsith Ghazali

Abdul Moqsith Ghazali, lahir Situbondo, 07 Juni 1971 dari pasangan K.H. A. Ghazali Ahmadi dan Hj. Siti Luthfiyah. Ia dididik dan dibesarkan dalam tradisi NU dan pesantren yang kuat di Madura. Ia mengenyam pendidikan pesantren pesantren Zainul Huda, Duko Selatan, Arjasa, Sumenep, Madura. Di pesantren itulah itu Moqsith mulai mengenal pemikiran-pemikiran progresif, salah satunya adalah pemikiran Abdurrahman Wahid.

Moqsith merupakan alumnus pondok Pesantren Salafiyah al-Shafi’iyyah, Asembagus, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Pendidikan S1 diperolehnya di Fakultas Syari’ah di Institut Agama Islam Ibrahimy, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Pendidikan S2 ditempuhnya di UIN Syarif Hidayatullah dalam bidang tashawuf Islam dan selesai pada 1998.

Pada tahun 1999, ia melanjutkan pendidikan S3 di perguruan tinggi yang sama di bidang tafsir Al-Quran, dan selesai pada 2007, dengan disertasi di bawah bimbingan Prof. Dr. Nasaruddin Umar dan Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer dengan judul, “Pluralitas Umat Beragama dalam Al-Quran: Kajian terhadap Ayat­ayat Pluralis dan Tidak Pluralis”. Disertasinya tersebut diterbitkan dengan judul Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran pada 2009.

Baca juga: Massimo Campanini; Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Italia

Selain pendidikan strata formal, ia juga mengikuti program pengembangan wawasan keulamaan (PPWK) Lakpesdam PBNU 1995-1996, program dialog antaragama di Amerika Serikat pada Fe bruari 2004, dan mengikuti perkuliahan satu semester di Universitas Leiden, Belanda, pada 2006. Selama 2003­2005, ia tercatat sebagai dosen di Perguruan Tinggi Ilmu al­Qur`an (PTIQ) Jakarta. Sejak tahun 2006 ia menjadi dosen UIN Syarif Hidayatullah.Selain sebagai dosen, Moqsith juga aktif di berbagai LSM. Ia pernah menjadi peneliti The Religious Reform Project (RePro) Jakarta.

Karir Moqsith banyak bisa ditemukan di NU, afiliasinya dengan organisasi sosial keagamaan Nahdatul Ulama (NU) membawanya pernah mendapat posisi penting.Ia pernah menjadi anggota tim redaksi jurnal Tashwirul Afkar, yang diterbitkan oleh Lakpesdam NU Jakarta. Jabatan sebagai Kepala Litbang Ma’had Aly Situbondo pernah dipegangnya di samping sebagai dosen di kampus tersebut. Moqsith memang banyak terlibat di komunitas muda NU.

Dari keterlibatan intensif dengan gerakan dan pemikiran komunitas muda NU, ia pernah menjadi associate The Wahid Institute Jakarta bagian koordinator program Islam dan Pluralisme Wahid Institute, dan menjadi fasilitator serta narasumber untuk kegiatan­kegiatan LSM, seperti tentang isu gender, HAM, dan pluralisme. Ia pernah menjadi nara sumber bertema, “Nilai­nilai HAM dalam Islam” pada tahun 2004 yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3), sebuah LSM di Banjarmasin yang concern dengan isu­isu gender, HAM, toleransi, demokrasi, dan pen dam pingan masyarakat pedalaman.Moqsith tunjuk sebagai wakil ketua yang membidangi persoalan maudhū’iyyah di Lembaga Bahtsul Masail Nahdhatul Ulama (LBMNU) Jakarta, masa khidmat 2015­2020.

Moqsith dikenal sebagai penulis muda yang produktif dengan pemikiran-pemikiran yang terbilang bebas dan berani. Di antara tulisannya yang dipublikasikan adalah : (1) Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran (2009), (2) Tafsir Ahkam, bersama Lilik Ummi Kaltsum, (3) Fiqh Anti Trafiking: Jawaban atas Berbagai Kasus Kejahatan (Fahmina Institute, 2006), (4) Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai Menyambut 70 Tahun Djohan Effendi (2009), (5) Ibadah Ritual, Ibadah Sosial: Jalan Ke bahagiaan Dunia-Akhirat, ditulis bersama Rahmat Hidayat dan Ahmad Rifki (Alex Media Komputindo, 2011), (6) Pluralisme Agama di Era Indonesia Kontemporer: Masalah dan Pengaruhnya terhadap Masa Depan Agama dan Demokrasi (Lembaga Kajian al­Qur`an dan Sains, UIN Malang, 2007).

Baca juga: Tayyar Altikulac: Filolog Muslim Pengkaji Manuskrip Al-Qur’an Kuno

Pemikiran Moqsith Ghazali Tentang Al-Quran

Tawaran tafsir Moqsith ini sering dilontarkan dalam berbagai kesempatan, baik dalam bentuk tulisan terpublikasi maupun dalam bentuk makalah yang dipresentasikan di forum ilmiah, berupa kaidah-kaidah ushul fiqih alternatif yang diaplikasikan dalam penafsiran Al-Quran. Berikut beberapa pemikiran Moqsith mengenai tafsir alternatif.

Al-‘Ibrah bi al-maqāshid lā bi al-alfāzh

Dalam kaidah ini Moqsith ingin menekankan bahwa hal utama yang perlu diperhatikan mujtahid dalam menyimpulkan hukum dari Al-Quran dan hadis adalah maqāshid yang dikandungnya, bukan huruf atau aksara tekstual. Menurutnya, untuk memperoleh tujuan dasar dari suatu sumber hukum adalah dengan memahami konteks secara mendalam. Bukan hanya yang Juz’i- partikular melainkan juga konteks yang kulli-universal. Sehingga, pemahaman ini bukan hanya mencakup asbab nuzul saja melainkan juga konteksnya secara luas.

Jawāz naskh al-nushūsh (al-juz`iyyah) bi al-mashlaḥah

Teori ini didasarkan pada pemahaman bahwa syariat (hukum) Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia secara universal (jalb al-maṣāliḥ), dan menghilangkan segala bentuk kerusakan (dar’ul mafāsid). Mengutip Ibnu Qayyim al-Jauzy, Moqsith mengatakan bahwa syariat Islam pada dasarnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan kemanusiaan universal lain, yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan. Sehingga, segala bentuk pennggalian hukum harus berdasar pada prinsip di atas. Penyimpangan terhadap prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam.

Dalam mengaplikasikan kaidah kemaslahatan ini, Moqsith membedakan ayat Al-Quran menjadi dua, ayat ushul (pokok) dan furu’(cabang). Pembagian ini merujuk pada klasifikasi Ibn al­Muqaffa’.“al-āyāt alushūliyyah” merupakan ayat­ayat yang berisi ajaran­ajaran prinsip dan fundamen dan menjadi sandaran atau rujukan hampir seluruh ajaran Al-Quran, sehingga bersifat universal dan permanen, Moqsith mengistilahkannya dengan “al-āyāt alushūliyyah”, atau “ushūl Al-Qur`ān” (pokok­pokok Al-Quran). Ayat­ayat ini memuat prinsip-nilai yang abadi, seperti keadilan.Ayat ini dikatakan oleh Moqsith sebagai ayat yang dari segi muatan nilainya paling tinggi (al-āyah al-a’lā qīmatan)

Tanqīh al-Nushūsh bi ‘Aql al-Mujtama’ Yajūzu

“Tanqih” secara bahasa memiliki arti menyortir. Istilah ini biasanya digunakan dalam pembahasann tentang qiyās dalam ushūl al­fiqh, khususnya dalam mengidentifikasi ‘illah hukum, yaitu tanqīh al­manāth (upaya memilih atau menyortir satu ‘illah dari berbagai kemungkinan illah yang tidak ditunjukki oleh teks/ nash) Namun, Moqsith menggunakan istilah tanqīh untuk memilih atau menyortir teks.

Inti dasar dari ini adalah kewenangan akal publik untuk menyortir sejumlah ketentuan “partikular” agama menyangkut perkara publik baik dalam Al-Quran maupun Hadis sehingga, jika ditemukan suatu pertentangan antara akal publik dengan harfiah teks keagamaan, maka akal publik memiliki otoritas untuk mengedit, menyortir atau memodifikasi maknanya. Dalam pandangan Moqsith, pemahaman semacam ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan dengan ayat partikular (al-āyāt al-juz`iyyah, al-āyāt al-fushūliyyah), seperti ayat-ayat tentang ‘uqūbāt dan hudūd (seperti potong tangan dan rajam), qishāsh, dan hukum waris. Wallahu A’lam.