Perkembangan kajian tafsir Al-Quran dari waktu ke waktu mengalami perubahan paradigma penafsiran. Jika dahulu normatifnya produk penafsiran Al-Qur’an menggunakan tartib mushafi, maka pada era kontemporer ini mulai muncul produk tafsir yang menggunakan tartib nuzuli. Yaitu menafsirkan Al-Quran menggunakan urutan kronologis turunya ayat Al-Qur’an. Mungkin jika mendengar kata tafsir nuzuli, maka nama yang sering disematkan dengan kata tersebut adalah Muhammad Izzah Darwazah. Namun, ternyata terdapat seorang ulama kontemporer asal Irak yang juga termasuk pelopor tafsir nuzuli yaitu Abdul Qadir Mulla Huwaisy.
Biografi Intelektual Abdul Qadir
Memiliki nama lengkap Sayyid Abdul Qadir ibn Muhammad Huwaish ibn Mahmud. Nasab dari ayahnya terus bersambung hingga Sayyid Musa al-Kadzim ibn Imam Ja’far ash-Shadiq ibn Muhammad al-Baqir ibn Imam Zainal ‘Abidin ibn Sayyidina Husain ibn Amirul Mu’minin Ali ibn Abi Thalib. Sedangkan nasab dari ibunya berasal dari jalur sayyidina Hasan. Sehingga baik nasab dari ayahnya maupun ibunya, semuanya bersambung hingga Rasulullah.
Sayyid Abdul Qadir dilahirkan pada tahun 1885 di kota Anah, Irak. Ayahnya yaitu Sayyid Muhammad merupakan seorang Hakim sekaligus pengajar anak-anak di Huwaisy dekat tempat tinggalnya. Oleh karena itu, julukan (laqab) Huwaisy merupakan nisbah kepada asal tempat tinggalnya. Sedangkan nama Mulla bermakna sebagai guru atau pengajar.
Baca Juga: Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ibn Mas’ud di Irak
Sayyid Abdul Qadir memulai mempelajari dasar-dasar keilmuan Islam di kota Anah, Irak. Tak lama kemudian, beliau melanjutkan pengembaraan intelektualnya di kota Baghdad. Di tempat tersebut, Sayyid Abdul Qadir mempelajari ilmu-ilmu hukum Islam di Masjid Abu Hanifah. Pada saat umur 11 tahun, beliau telah memakai pakaian kehormatan bagi seorang pelajar yaitu Imamah. Tidak berhenti disitu, ia kemudian melanjutkan belajar di Madrasah al-Syar’iyyah di Dayr az-Zawr, Suriah dan berhasil mendapatkan syahadah al-rasyadiyah.
Karena Sayyid Abdul Qadir merupakan pengikut madzhab Imam Abu Hanifah, maka mayoritas gurunya merupakan pembesar ulama hanafiyah saat itu. Terdapat tiga nama guru yang paling mempengaruhi Sayyid Abdul Qadir, yaitu al-Muhaddits al-Akbar Syaikh Badruddin al-Husaini, Syaikh Husain al-Azhari, al-Allamah Syaikh Ahmad ibn Muhammad Basyir.
Beberapa jabatan yang Sayyid Abdul Qadir emban semasa hidupnya, seperti Hakim Syar’i, pengajar, penasehat, pendakwah, dan anggota di Qadha’i al-Bukamal wa al-Mayadin (1910-1919); ketua Kuttab Mahkamah Syar’iyah wa Mahkamah Isti’naf (1920-1927); Hakim dan anggota Mahkamah Jinayah di al-Mayadin wa Muhafadhah al-Jazirah (1927-1935); Hakim Syar’i di al-Jaulan wa al-Zawiyah ( 1935-1940); dan masih banyak lainya.
Sayyid Abdul Qadir wafat pada tahun 1978, ketika usianya mencapai 98 tahun. Selama hidupnya, ia telah menghasilkan karya tulisan sebanyak kurang lebih sembilan judul buku. Beberapa buku tersebut antara lain yaitu: Ilm al-Faraidh, Husn al-Qaul, al-Tasyri’ al-Islamiy, Qawa’id al-Lughah al-Arabiyah, al-Qaul fi Ilm al-Tauhid, Diwan Khotb wa Mawa’idh, Ahsan al-Bayan fi al-Qur’an, Ahsan al-Sunan fi al-Adzkar wa al-Sunan. Terakhir yaitu karya fenomenalnya yang berjudul Bayani al-Ma’ani.
Baca Juga: Mengenal Al-Alusi: Sang Arsitek Ruh al-Ma’ani
Sekilas Tafsir Bayani al-Ma’ani
Kitab tafsir Bayani al-Ma’ani mulai dikarang oleh Sayyid Abdul Qadir pada tahun 1936. Kitab ini pertama kali diterbitkan oleh Mathba’ah al-Turqiy pada tahun 1962 di Damaskus dengan ketebalan kitab mencapai enam jilid. Walaupun berbeda dengan umumnya kitab tafsir lainya, Sayyid Abdul Qadir menganggap apa yang dilakukan tersebut bukanlah suatu hal yang bid’ah, tetapi justru hal baru yang baik (sunnah hasanah).
Tafsir tersebut terbagi menjadi tiga bagian, dua bagian berisi penafsiran surah-surah makkiyah yang tersusun pada empat jilid pertama tafsirnya. Sedangkan satu bagian sisanya berisi penafsiran kumpulan surah madaniyah yang tertulis dalam dua jilid sisanya. Secara rinci, sistematika dalam tafsir Bayani al-Ma’ani tersusun sebagaimana berikut:
Jilid pertama berisi mukaddimah dan pembahasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an dan tafsir, serta penjelasan historis tentang kelahiran Nabi Muhammad. Setelah itu dilanjutkan dengan penafsiran Q.S. al-Alaq [96] – Q.S. al-A’raf [7]; jilid kedua berisi penafsiran Q.S. al-Jin [72] – Q.S. al-Isra’ [17]; jilid ketiga: Q.S. Yunus [10] – Q.S. Ghafir [40]; jilid keempat: Q.S. Fushilat [41] – Q.S. al-Muthaffifin [83]; jilid kelima: Q.S. al-Baqarah [2] – Q.S. al-Nisa’ [4]; terakhir yaitu jilid keenam: Q.S. al-Zalzalah [99] – Q.S. al-Nashr [110].
Dalam sebuah artikel jurnal yang berjudul “al-Tafsir bi Hasb al-Nuzul ‘inda al-Hadatsiyyin al-Syaikh Abd al-Qadir Mulla Huwaish Anmudzujan” karya Aminah Fadhil Fayadh. Dijelaskan bahwa terdapat enam kitab tafsir kontemporer yang menggunakan urutan tartib nuzuli dalam proses penafsiran Al-Qur’an.
Diantaranya adalah al-Tafsir al-Hadis karya Muhammad Izzah Darwazah (1888-1984), Bayani al-Ma’ani karya Abdul Qadir Mulla Huwaisy (1885-1978), Tafsir al-Qur’an al-Murattab karya Ali As’ad Ahmad Ali (w. 1937), Ma’arij al-Tafakkur wa Daqaiq al-Tadabbur karya Abdurrahman Hasan Habannakah al-Maidani (1908-1978), Madkhal ila al-Qur’an al-Karim karya Muhammad Abid al-Jabiri (1935-2010),dan Ahsan Qashash karya Ibnu Qarnas.
Terkait sumber penafsirannya, Sayyid Abdul Qadir menggabungkan antara tafsir bi al-ma’tsur dengan mengambil riwayat dari Nabi, Sahabat, maupun Tabi’in, serta tafsir bi al-ra’y dengan penggunaan nalar rasio sebagai alat bantu dalam memahami teks Al-Qur’an. Dalam proses penafsiranya, ia mengutamakan al-aqwal al-mu’tamad, kemudian al-ashah, al-shahih, al-ahsan atau menggunakan fatwa.
Sayyid Abdul Qadir Mulla Huwaisy juga mengutip berbagai pendapat dari para Mufasir klasik maupun kontemporer, seperti Ibnu Abbas, al-Baghawi, al-Razi, al-Alusi, Ibnu Katsir, Ibnu Arabi, al-Thabari, al-Zamakhsyari, Muhammad Abduh, dan masih banyak lainya. Selain itu, ia juga mengutip kitab fikih seperti al-Mabsuth, dan al-Bajuri. Sedangkan dalam bidang tasawuf ia mengutip kitab Ihya’ Ulumuddin, al-Risalah al-Qusyairiyah dan masih banyak kitab dengan berbagai cabang keilmuan Islam lainya. Wallahu A’lam