BerandaUlumul QuranAboebakar Atjeh: Sang ‘Bidan’ di Balik Lahirnya Al Quran Pusaka Republik Indonesia

Aboebakar Atjeh: Sang ‘Bidan’ di Balik Lahirnya Al Quran Pusaka Republik Indonesia

Aboebakar Atjeh dikenal sebagai cendekiawan cum politikus muslim yang produktif setelah kemerdekaan Indonesia. Puluhan karya-karyanya banyak membahas tentang sejarah, tasawuf dan studi keagamaan lainnya. Tentu sebelum tulisan ini, sudah banyak sekali tulisan yang membahasnya.

Dalam jejak digital saja, dapat diketahui bahwa nama Aboebakar Atjeh masuk dalam buku Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia karangan Shalahuddin Hamid dan Iskandar Ahza. Selebihnya, tokoh ini lebih didiskusikan berdasarkan karyanya yang menjadi ‘pembabad alas’ dalam kontkes khazanah kajian Islam di Indonesia.

Dalam tulisan ini sosok yang mendapat julukan Ensiklopedi Berjalan akan dilihat dalam konteks lahirnya mushaf Al Quran Pusaka Republik Indonesia mushaf kenegaraan pertama. Di berbagai tulisan tentang Aboebakar Atjeh, termasuk buku Seratus Tokoh Islam yang Paling Berpengaruh di Indonesia memang menyebut bahwa ia memelopori gagasan penulisan Al Quran Pusaka bersama KH Masjkur selaku Menteri Agama pada tahun 1947-1949 dan tahun 1953-1955. Namun banyak yang tidak menyebut bahwa penulisan mushaf yang monumental ini memiliki makna perjuangan yang luar biasa.

Buku yang berjudul Al-Mashaf Risalah Bangsal Penglaksanaan Qur’an Pusaka Republik Indonesia gubahan Aboebakar Atjeh tahun 1952 merupakan bukti autentik untuk melihat sejarah ini. Peran Aboebakar Atjeh dalam membidani lahirnya mushaf ini sangat kentara, karena ia mencatat runtutan kegiatan dari mulai munculnya gagasan hingga pembentukan Yayasan.

Ia menceritakan bahwa gagasan penulisan Mushaf Pusaka muncul pada masa revolusi Yogyakarta. Memang saat itu Belanda melakukan serangan agresi militer pertama dari 21 Juli 1947. kemudian juga agresi militer kedua pada 19 Desember 1948, pun Indonesia belum mendapatkan pengakuan kemerdekaannya oleh Belanda sebelum tanggal 27 Desember 1949.

Dalam buku tersebut tertera ungkapan yang cukup menjelaskan awal mula gagasan penulisan mushaf ini, berikut urainnya:

Pada waktu memperingati hari nuzululquran pada tahun yang ke IV, timbullah keinginan dalam hati saya hendak mengadakan sesuatu yang merupakan sejarah.  Yakni, hendak membuat suatu manuskrip (tulisan tangan) dari Alquranulkarim. Kalau Republik menang dalam perjuangannya dapat menjadi syiar dan penghargaan kepada seluruh kaum muslimin yang turut menyumbangkan tenaganya. Dan jikalau terjadi sebaliknya (naudzubillahi min zalik) maka mashaf yang ditulis itu menjadi saksi bahwa umat islam Liilai kalimatillah sudah pernah mengangkat senjata hendak mempertahankan diri dari pada kezaliman. (Aboebakar,1952:5)


Baca juga: Tersimpan di Perpustakaan Rotterdam Belanda, Inilah Mushaf Al Quran Tertua dari Nusantara


Sebelum acara itu, Aboebakar Atjeh berusaha meyakinkan beberapa tokoh untuk mendukung proyek monumental ini. Namun mayoritas justru menyarankan agar diurungkan niat tersebut. Hingga akhirnya bertemu dengan beberapa tokoh seperti KH. Sradj Dahlan, Ghafar Ismail, H. Syamsir dan Hasandin (mertua presiden Soekarno) yang mana ide ini pun diterima.

Kemudian ide ini didengar oleh KH Masjkur dan mendapatkan respon bagus. Apalagi mushafnya berukuran 2 x 1 meter, dan termasuk mushaf terbesar. Lalu pada malam Nuzulul Qur’an tepatnya pada 23 Juli 1948 H / 17 Ramadhan 1367 M. Diadakanlah upacara menulis huruf yang pertama Al-Quran pusaka, yaitu menggoreskan basmalah. Soekarno menuliskan huruf ba’ di awal basmalah, sedangkan Moh. Hatta menuliskan mim di akhir basmalah.

Ternyata sehabis acara itu, penulisan sempat berhenti karena problem pendanaan dan hal lain yang belum siap.  Ditambah lagi H. Sjamsir yang semula bersedia mendanai justru mengalami kebangkrutan. Titik terang kembali muncul saat Salim Fachry yang kemudian menjadi penulis mushaf ini bertemu dengan KH. Masjkur di Kongres Muslim Indonesia (KMI) Yogyakarta tahun 1949.


Baca juga: Melihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi


Dukungan ini berlanjut pada tahun 1950 saat KH. Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama. Saat itu didirikanlah sebuah Yayasan Bangsal Penglaksanaan Qur’an Pusaka Republik Indonesia. Sayangnya di tengah perjalanan, NU berpisah dari Masyumi yang berpotensi untuk memecah belah tim penulisan mushaf karena kader NU dan Masyumi ada di sana.  Beruntungnya, hal itu tidak terjadi dan mushaf diresmikan tahun 1960 saat peringatan Nuzulul Qur’an.

Layaknya bidan, Aboebakar Atjeh berhasil membantu lahirnya mushaf Pusaka. Soekarno pun mengucapkan terima kasih padanya:

Insyaallah saudara-saudara, akan saya simpan dan pelihara Qur’an Pusaka ini dengan sebaik-baiknya dan disinilah tempatnya pula saya mengucapkan saluut kehormatan dan terima kasih kepada semua saudara-saudara yang telah membanting tulang, bekerja keras untuk membuat Al-Qur’ān Pusaka ini, terutama sekali kepada H. Aboebakar Atjeh.(Pidato Soekarno, 15 Maret 1960, dari ANRI, kode arsip nst.1317/60).  Wallahu a’lam bi-al shawab

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...