Keberadaan budak di zaman ini memang sudah tidak ada lagi, karena hal tersebut bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan nilai-nilai moralitas. Namun, sebelum negara-negara saat ini menerapkan dan bersepakat dengan nilai-nilai tersebut, Islam dengan visi Ramatan lil Alamin jauh lebih dulu telah mengajarkan bagaimana memperlakukan golongan lemah dan terpinggirkan. Salah satunya adalah budak.
Narasi di atas bukan bentuk klaim semata tanpa bukti, karena banyak sekali ayat ataupun hadis yang menampilkan budak sebagai golongan yang harus diperlakukan secara baik dan dihargai sebagai manusia. Untuk menemukan indahnya ajaran dan nilai Islam dalam memperlakukan budak, seseorang tidak boleh melihat hanya dari fakta sosial yang terjadi saat ini karena perbudakan memang sudah tidak ada lagi sekarang.
Baca Juga: Misi Alquran dalam Pembebasan Perbudakan
Perbudakan pada masa turunnya wahyu adalah sebuah realitas sosial yang sudah menyatu dan mengakar dengan budaya masyarakat saat itu. Sehingga memperlakukan para budak dengan manusiawi adalah perilaku yang tabu dan gamang dilakukan oleh masyarakat. Namun ketika Islam pertama kali membahas budak, ayat yang turun membahasnya adalah sebagai berikut:
فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ ۖ وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْعَقَبَةُ ۗ فَكُّ رَقَبَةٍۙ
Maka, tidakkah sebaiknya dia menempuh jalan (kebajikan) yang mendaki dan sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu. (Itulah upaya) melepaskan perbudakan (Q.S. Al-Balad: 11-13)
Tafsir Al-Balad: 11-13
Dalam tafsir Jami’ Al-Bayan, al-Thabari mengutip beberapa pendapat tentang makna aqabah. Al-Hasan memaknai aqabah dengan bukit di neraka jahannam, Qatadah mengartikannya dengan kesulitan yang sangat dan bukit tanpa jembatan. Seluruh makna aqabah mengandung sesuatu yang buruk, menyiksa dan harus dilewati. Oleh karena itu pada ayat selanjutnya dijelaskan cara untuk selamat dari hal tersebut.
Al-Thabari kemudian menampilkan jalan agar selamat dari aqabah tersebut, sebagaimana ditunjukkan dalam redaksi berikut:
حدثني يعقوب، قال: ثنا ابن عُليَّة، عن أبي رجاء، عن الحسن ﴿وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ فَكُّ رَقَبَةٍ﴾ قال: ذُكر لنا أنه ليس مسلم يعتق رقبة مسلمة، إلا كانت فداءه من النار
Dari Ya’kub, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Abu Raja’ dari Al-Hasan tentang firman Allah “Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu? (yaitu) melepaskan budak.” Al-Hasan berkata: telah disebutkan kepada kami bahwa tidak ada seorang muslim pun yang membudakkan seorang budak muslim, kecuali hal itu menjadi tebusannya dari neraka.
Fakhr al-Din al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib, menampilkan makna kebahasaan dari kata al-fakk yang tidak ditemukan dalam Tafsir al-Thabari. Kata al-fakk berarti memisahkan dua hal yang saling melekat seperti melepaskan ikatan atau rantai. Jadi, memerdekakan budak berarti melepaskannya dari sifat-sifat penghambaan dan memberikannya kebebasan. Lebih jauh lagi, al-Razi memaknai kata al-fakk dengan lepasnya jiwa seseorang dari jeratan nafsunya sampai ia mendapatkan kebebasan abadi berupa surga.
Baca Juga: Abu Ubaidah Ma’mar al-Taimî, Seorang Mantan Budak, Pengarang Kitab Majâz al-Qur’ân
Sedangkan dalam Tafsir Ibn Katsir, pembahasan ayat ini semacam pengulangan dari Tafsir al-Thabari dan lebih banyak menampilkan hadis-hadis keutamaan membebaskan budak. Dari seluruh redaksi hadis yang terdapat dalam kitab tafsir tersebut, memiliki kesamaan dalam narasi mengenai pahala atau balasan bagi seorang muslim yang memerdekakan budak. Muatan riwayat-riwayat tersebut sama dengan kutipan di atas, hanya berbeda pada susunan bahasanya saja.
Penutup
Fenomena perbudakan telah berlangsung selama berabad-abad di berbagai belahan penjuru dunia. Budak telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat kala itu, tetapi keberadaannya tidak dianggap bahkan disamakan dengan barang komoditas yang layak diperdagangkan sebagai ladang bisnis bagi kaum bangsawan. Apalagi diperlakukan dengan baik atau dimerdekakan, menganggap budak sebagai manusia yang memiliki kehendak tidak terpikirkan oleh masyarakat kala itu.
Islam sebagai agama yang menjunjung kesetaraan dan keadilan, memandang fenomena perbudakan sebagai tindakan yang melawan kodrat manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan dalam berpikir dan berkehendak. Memperlakukan budak dengan baik sebagaimana manusia umumnya ingin diperlakukan dengan baik adalah bentuk konkret dari ajaran Islam yang hendak menaikkan derajat budak dan menempatkannya sebagai golongan yang perlu diperhatikan.
Baca Juga: Konsep Kesetaraan Ras dalam Alquran
Maka dari itu, Muhammad Syahrur berpendapat bahwa ajaran Islam telah melompat jauh dan melakukan perubahan besar dalam peradaban sejarah manusia dengan meletakkan dasar-dasar pembebasan budak. Karena pada hakikatnya, Islam menilai manusia setara dan sama tanpa memandang suku, warna kulit dan bahasa. Ukuran kemuliaan manusia dalam Islam terletak pada ketakwaannya kepada Allah SWT sebagaimana tertulis dalam surah al-Hujurat ayat 13.
Wallahu a’lam.