Munculnya aliran Babiyah dalam perkembangan ajaran Islam menjadi sebuah sejarah yang cukup fenomenal. Aliran tersebut berkembang di Persia pada pertengahan abad ke-19, yang ditandai dengan sebuah periode pergolakan sosial dan keagamaan. Pendiri aliran ini adalah Sayyid Ali Muhammad Syirazi atau dikenal dengan al-Bab.
Sekte Babiyah merupakan pecahan dari sekte Syiah Itsna Asy’ariyah, yang kemudian berkembang menjadi sekte Bahaiyah dengan mewarisi ajaran dan keyakinan yang dipopulerkan sebelumnya oleh sekte Babiyah. Pokok ajaran aliran Babiyah sangatlah menyimpang dari ajaran Islam, salah satunya adalah dalam konsep ketuhanan, yang mana al-Syirazi mengklaim bahwa dirinya adalah inkarnasi Tuhan. (Ryandi, Buku Ajar Ilmu Kalam, 2020, hal. 30-31)
Baca Juga: Mengenal Konsep Ad-Dakhil fi at-Tafsir: Sejarah Perkembangan dan Faktor-faktor Infiltrasi Penafsiran
Potret Kitab Tafsir Aliran Babiyah
Salah satu kitab milik mereka yang terkenal adalah Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf, jika ditelaah kitab ini memiliki sistematika dan struktur yang unik dalam penyusunannya. Setiap bab atau surah dalam kitab ini diatur dengan rapi dan dijelaskan secara mendalam dengan gaya penyampaian yang mirip dengan Alquran.
Kitab ini secara khusus menafsirkan surah Yusuf yang terdiri dari 111 ayat (dalam kitab disebutkan surah), maksud surah di sini adalah nama dari setiap ayat pada surah Yusuf yang berjumlah 111, dan setiap ayat memiliki nama masing-masing dengan menggunakan diksi surah, seperti ayat pertama dinamakan surah ulama ayat kedua dinamakan surah al-Iman dan seterusnya. (Al-Syirazi, Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf, hal.1)
Dalam penulisan dan penjelasan ayat, kitab ini mengikuti gaya bahasa dan struktur seperti Alquran, termasuk pemilihan kata yang tinggi nilai sastranya dan pemanfaatan ungkapan-ungkapan yang penuh makna. Kitab ini menggunakan bahasa Arab yang tinggi dan mengikuti pola penyusunan ayat yang terinspirasi dari bahasa wahyu, yang bertujuan agar pesan-pesan yang disampaikan dapat meresap mendalam pada pembaca atau pendengarnya. Setiap ayat ditulis dengan pendekatan yang berfungsi baik sebagai pesan spiritual maupun sebagai simbol-simbol tertentu dalam mistisisme Islam.
Baca Juga: Karasteritik Tafsir Syiah dalam Menafsirkan ayat Ulil Amri
Contoh Penafsiran Ayat dalam kitab Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf
Penafsiran Q.S. Yusuf ayat 4 dalam kitab Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf, sebagai berikut:
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ إِنِّى رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِى سَٰجِدِينَ
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku”.
Ayat ini membahas tentang mimpi Nabi Yusuf yang melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan yang bersujud kepadanya. Menurut aliran Babiyah, mimpi ini dihubungkan dengan peristiwa besar, yaitu kesyahidan Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad. Dalam pandangannya, Yusuf yang dimaksud pada ayat tersebut adalah Husain, matahari diibaratkan sebagai Fatimah, bulan sebagai Nabi Muhammad, dan bintang-bintang sebagai para imam yang merupakan keturunan Nabi. Mereka semua bersujud kepada Husain sebagai simbol kepatuhan dan kebenaran. (Al-Syirazi, Qayyum al-Asma’ Fi Tafsir Surah Yusuf, hal.16-17)
Al-Dakhil Dalam Penafsiran Q.S Yusuf ayat 4
Ad-dakhil merupakan istilah dalam ilmu tafsir yang merujuk pada segala bentuk unsur asing atau hal-hal yang disusupkan ke dalam tafsir Alquran, baik berupa ideologi, keyakinan, maupun pemikiran yang tidak bersumber dari metode penafsiran yang sahih. Unsur ini biasanya muncul ketika penafsiran dipaksakan agar sesuai dengan kepentingan tertentu, baik bersifat politik, sektarian, ataupun ajaran kelompok tertentu.
Baca Juga: Kisah Mimpi Yusuf Bukan Wahyu: Tafsir Surah Yusuf Ayat 4
Dalam konteks penafsiran Qayyum al-Asma’, terlihat jelas bagaimana ayat-ayat Alquran ditakwilkan secara bathiniyah, sehingga penafsirannya sesuai dengan ajaran mereka. (Ryandi, Buku Ajar Ilmu Kalam, 2020, hal. 32), seperti memaknai Nabi Yusuf sebagai Husain bin Ali, matahari sebagai Fatimah, dan bulan sebagai Nabi Muhammad.
Penakwilan semacam ini tidak hanya keluar dari makna lahiriah teks, namun juga bertujuan untuk memperkuat doktrin internal mereka. Penafsiran seperti ini termasuk dalam kategori ad-dakhil fi al-tafsir, karena menyisipkan makna yang tidak berasal dari dalil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Dengan demikian, keberadaan unsur ad-dakhil dalam penafsiran aliran Babiyah menjadi pelajaran penting agar penafsiran Alquran senantiasa dilakukan dengan kehati-hatian dan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini demi menjaga kemurnian makna Alquran dari penyimpangan-penyimpangan tafsir yang dapat menyesatkan umat.