BerandaTafsir TematikAlegori Keadaan Orang Munafik dalam Surah Al-Baqarah Ayat 17-20

Alegori Keadaan Orang Munafik dalam Surah Al-Baqarah Ayat 17-20

Bahasa merupakan media terbaik untuk menyampaikan makna sekaligus sebagai alat komunikasi. Demikian pula Al-Qur’an turun berbahasa Arab untuk menyampaikan pesan ilahi dengan gaya bahasa sastra tertinggi yang tak akan tertandingi. Salah satu contoh gaya bahasa yang digunakan misalnya penggunaan perumpamaan alegorik dalam surah Al-Baqarah ayat 17-20.

Dalam KBBI, alegori dimaknai sebagai cerita yang melambangkan realitas kehidupan untuk mendidik atau menerangkan sesuatu. Dengan kata lain, alegori dapat dikategorikan sebagai majas dalam studi sastra Indonesia (karena menggunakan makna lambang) yang membandingkan dua hal yang memiliki sisi keserupaan.

Kehidupan manusia layaknya sebuah sungai yang dialiri air. Sebelum mencapai muara dan bertemu air laut, air tersebut harus melewati ragam tempat. Ia bisa menyusuri tebing-tebing, bahkan terkadang jurang. Air sungai tak pernah melawan arus, ia mengalir apa adanya hingga ia pada akhirnya tiba pada muara dimana ia akan lebur menjadi air laut.”

Contoh ungkapan alegorik tersebut berisi cerita yang menyerupakan kehidupan manusia dengan aliran sungai. Akan tetapi bukan aspek material yang diserupakan, melainkan keadaan. Bahwasanya kehidupan manusia selalu melewati berbagai hambatan sebelum tercapainya tujuan. Demikian pula air sungai yang melewati berbagai medan sebelum akhirnya bermuara ke laut. Dalam hal ini, sisi keserupaan keduanya adalah sama-sama melalui kondisi sulit penuh hambatan.

Baca Juga: Tafsir Surah Ali ‘Imran Ayat 54: Belajar Mewaspadai Makar dari Kisah Nabi Isa

Senada dengan ungkapan tersebut, Allah menyerupakan kondisi orang-orang munafik dengan dua kondisi sebagaimana tersebut dalam surah Al-Baqarah ayat 17-20 berikut.

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِى اسْتَوْقَدَ نَارًا ۚ فَلَمَّآ اَضَاۤءَتْ مَا حَوْلَهٗ ذَهَبَ اللّٰهُ بِنُوْرِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِيْ ظُلُمٰتٍ لَّا يُبْصِرُوْنَ ١٧ صُمٌّ ۢ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُوْنَۙ

Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api. Setelah (api itu) menerangi sekelilingnya, Allah melenyapkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (Mereka) tuli, bisu, lagi buta, sehingga mereka tidak dapat kembali. (QS. Al-Baqarah [2]: 17-18)

اَوْ كَصَيِّبٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ فِيْهِ ظُلُمٰتٌ وَّرَعْدٌ وَّبَرْقٌۚ يَجْعَلُوْنَ اَصَابِعَهُمْ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ مِّنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِۗ وَاللّٰهُ مُحِيْطٌۢ بِالْكٰفِرِيْنَ ١٩ يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ اَبْصَارَهُمْ ۗ كُلَّمَآ اَضَاۤءَ لَهُمْ مَّشَوْا فِيْهِ ۙ وَاِذَآ اَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوْا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَاَبْصَارِهِمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ  قَدِيْرٌ

Atau, seperti (orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit yang disertai berbagai kegelapan, petir, dan kilat. Mereka menyumbat telinga dengan jari-jarinya (untuk menghindari) suara petir itu karena takut mati. Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir saja kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali (kilat itu) menyinari, mereka berjalan di bawah (sinar) itu. Apabila gelap menerpa mereka, mereka berdiri (tidak bergerak). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menghilangkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah [2]: 19-20)

Alegori dalam Bingkai Ilmu Balaghah

Ilmu bayan, salah satu cabang ilmu balaghah memuat kajian tentang gaya bahasa perumpamaan yang diistilahkan dengan tasybih. Lazimnya, tasybih tersusun dari 4 unsur; subjek yang diserupakan (musyabbah), objek penyerupaan (musyabbah bih), huruf atau kata penyerupaan (adat al-syabh) dan sisi keserupaan (wajh al-syabh). Jika ditinjau dari sisi keserupaannya (wajh al-syabh), ada yang disebut dengan tasybih tamtsil yang memiliki konsep sebagaimana majas alegori dalam kajian sastra Indonesia.

Sayyid Ahmad Al-Hasyimi dalam Jawaahir al-Balaghah mendefinisikan tasybih tamtsil dengan;

مَا كَانَ وَجْهُ الشَّبْهِ فِيْهِ صُوْرَةً مُتْنَزِعَةً مِنْ مُتَعَدِّدٍ

Tasybih yang sisi keserupaannya berupa (kesimpulan dari) penggambaran yang diambil dari beberapa penyerupaan (keadaan).

Hal senada juga diungkapkan oleh KH. Afifuddin Dimyathi, dalam karyanya Asy-Syamil fi Balaghah al-Qur’an.

Baca Juga: Balaghah Al-Qur’an: Majaz Isti’arah dan Penggunaannya dalam Al-Qur’an

Korelasi Kemunafikan dengan Kegelapan

Dalam tafsir surah Al-Baqarah ayat 17-20, para ulama’ berbeda pendapat dalam memahami sisi keserupaan dalam tasybih tersebut. Ibnu Qatadah menilai bahwa deklarasi keimanan dan eksistensi Al-Qur’an bagi orang munafik adalah seperti nyala api, sangat singkat munculnya atau bahkan tak sempat muncul. Hal ini karena redaksi ayat dengan ‘lamma’ mengisyaratkan bahwa hal yang dimaksud dalam syarat terjadi beriringan dengan jawabnya (ذَهَبَ اللهُ بِنُوْرِهِمْ). Artinya, keimanan mereka hanyalah sekejap dan akan kembali pada watak asalnya, kafir (gelap gulita). Demikian penjelasan Ibnu ‘Athiyah (w. 546 H.) dalam Al-Muharrar al-Wajiz.

Saat kondisi kafir, mereka bagaikan orang yang tuli, bisu dan buta. Apapun yang datang dari Allah tak dapat mereka terima dengan segenap indranya. Padahal, petunjuk Allah telah turun selebat hujan serta janji dan ancaman-Nya telah menghampiri mereka seperti kilat dan petir. Sayangnya, mereka justru menutup rapat indra dari semua itu dan memilih tetap pada pencitraan iman demi kepentingan memperoleh keuntungan.

Perumpamaan kedua, turun berkaitan dengan berpalingnya dua orang munafik Madinah dari Rasulullah menuju tempat kaum musyrikin. Dalam perjalanan, keduanya dilanda hujan dengan kondisi sebagaimana tersurat dalam surah Al-Baqarah ayat 19.

Orang-orang munafik menutup pendengaran setiap menghadiri majelis Nabi lantaran takut akan turunnya wahyu atau sabda yang mengancam mereka seperti takut matinya dua orang munafik. Mereka menjadikan Islam sebagai tameng untuk memperoleh nikmat aman (terpelihara darah dan hartanya, bebas dari ghanimah, menikahi wanita muslimah dan lain sebagainya) seperti dua orang munafik yang merasa aman dapat melanjutkan perjalanan setiap muncul cahaya kilat. Sebaliknya, caci makian dan kemurtadan atas Islam terlontar saat dilanda bala’ (kesusahan) seolah semua disebabkan oleh Islam. Kondisi demikian seperti diamnya dua orang munafik saat cahaya kilat tak lagi menerangi jalan mereka. Demikian Imam asy-Suyuthi (w. 911 H.) dalam Lubab al-Nuqul fi Asbab an-Nuzul mengutip riwayat dari Ibnu Jarir melalui sahabat Ibnu Mas’ud. Wallahu a’lam.

Moh. Jamalul Lail
Moh. Jamalul Lail
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang, bisa disapa di @jamal_lail22
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...