BerandaTafsir TematikAlquran Pembebas Kaum Mustadh’afin (Bagian 2)

Alquran Pembebas Kaum Mustadh’afin (Bagian 2)

Membahas detail demi detail keberpihakan Alquran terhadap kaum lemah tidak akan pernah usai, terlebih dalam tulisan yang singkat dan serba terbatas ini. Hal ini disebabkan karena setiap ajaran dalam Alquran mengandung spirit untuk memberdayakan dan membebaskan kaum mustadh’afin dari ketertindasan.

Langkah yang ditempuh Alquran (atau Islam secara umum) dalam membebaskan kaum lemah dilakukan secara bertahap dan taktis. Pensyariatan zakat dan kafarat, misalnya, merupakan manifestasi paling terang bagi upaya pembebasan kaum mustadh’afin. Jika dua hal tersebut dilaksanakaan dan diatur dengan optimal, maka secara bertahap ketimpangan sosial yang kerap kali menjadi penyebab utama lahirnya kaum tertindas akan dapat segera di atasi.

Pembayaran kafarat atas pelanggaran yang dilakukan soerang muslim misalnya dilakukan dengan pembebasan budak, puasa, dan atau bersedekah kepada fakir miskin. Terlepas dari perbedaan ketentuan pembayaran kafarat yang sudah diatur sedemikian rupa dalam fikih, di sini terlihat bahwa Alquran memiliki proyeksi untuk menghapuskan perbudakan yang sudah menjadi budaya dunia kala itu.

Selain itu, Alquran juga menganjurkan kepada orang-orang berada untuk ikut andil dalam membantu kaum lemah sesuai kemampuan yang dimiliki. Terlalu banyak-jika ingin disebutkan satu per satu-ayat dalam Alquran yang menganjurkan umat Islam untuk membantu meringankan beban kaum tertindas. Salah satunya firman Allah Swt. dalam Q.S. Al-Balad ayat 11-16:

{فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ (11) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ (12) فَكُّ رَقَبَةٍ (13) أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ (14) يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ (15) أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ (16)} [البلد: 11 – 16]

Namun, dia tak menempuh hal yang diutamakan. Tahukah kamu hal yang diutamakan itu? (yaitu) Memerdekakan budak, atau memberi makanan pada hari kelaparan (kepada) anak-anak yatim terdekat atau golongan miskin yang tak berdaya.

Kata ‘aqabah (yang mengandung arti jalan terjal di pegunungan) dalam ayat di atas merupakan perumpamaan yang dibuat Alquran terhadap upaya seorang hamba untuk memerangi hawa nafsu dan setan. Ada juga yang menafsiri kata ‘aqabah dengan gunung di neraka. Dan, seseorang hanya akan selamat darinya hanya dengan menginfakkan harta untuk memberantas perbudakan dan menyantuni anak yatim dan fakir miskin [al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz, juz 5, hal. 485].

Baca juga: Alquran Pembebas Kaum Mustadh’afin (Bagian 1)

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa upaya-upaya pelik tetapi dapat membebaskan seseorang dari hawa nafsu dan ancaman neraka adalah dengan membelanjakan harta untuk kepentingan kaum lemah. Misalnya melepaskan perbudakan dan menyantuni anak yatim serta fakir miskin ketika waktu sulit.

Bentuk kepedulian Alquran terhadap kaum mustadh’afin juga dapat dilihat dari stigmatisasi Alquran terhadap orang-orang yang abai terhadap nasib anak yatim dan fakir miskin. Bahkan Alquran melabeli mereka sebagai pendusta agama. Dalam Q.S Al-Ma’un, Allah Swt. berfirman:

{أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3) [الماعون: 1 – 3]

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.

Dalam ayat di atas, terlihat bagaimana Allah Swt. menyifati para pendusta agama dengan karakter yang mencerminkan sikap abai dan bahkan merendahkan kaum mustadh’afin. Yaitu, menghardik anak yatim dan enggan berbagi kepada fakir miskin. Sejatinya, ada banyak karakter orang-orang kafir pendusta agama. Alasan Alquran mensimplifikasikanya hanya pada dua karakter tersebut adalah karena ia merupakan tindakan yang bukan hanya buruk dari sudut pandang agama, tetapi juga tercela dari aspek sosial dan kemanusiaan [Mafatih al-Ghaib, juz 32, hal. 302].

Baca juga: Empat Spirit Kemerdekaan yang Dibawa Islam dalam Ayat-Ayat Alquran

Syaikh Musthafa al-Maraghi menjelaskan bahwa secara umum, ada dua karakter pendusta agama yang tergambar dalam ayat di atas. Pertama, bersikap sombong dan congkak terhadap orang-orang lemah disertai merendahkan mereka. Kedua, enggan untuk mengulurkan bantuan kepada kaum mustadh’afin tersebut, baik dengan cara mendermakan sebagian harta atau bahkan hanya sekadar mendorong orang lain untuk ikut berpartisipasi dalam memenuhi kebutuhan mereka.

Lebih lanjut lagi, beliau menjelaskan bahwa orang-orang yang abai terhadap kaum lemah disebut sebagai pendusta agama meskipun mereka rajin salat. Pasalnya, orang yang benar-benar yakin terhadap kebenaran agama yang dianut, ia tidak mungkin sombong di hadapan orang lemah dengan menghina dan menghardik mereka [Tafsir al-Maraghi, juz 30, hal. 249].

Baca juga: Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad Menebar Rahmat

Di sinilah terlihat bahwa saleh secara spiritual berbanding lurus dengan saleh secara sosial. Artinya, oang yang menjalankan ajaran agama dengan baik tentu akan meresapi makna ibadah yang dilakukan setiap hari. Penghayatan terhadap ibadah yang dilakukan itu akan menggiringnya memiliki kepekaan sosial yang tinggi yang tentunya sangat sinkron dengan syariat Islam sebagai penebar rahmat bagi seluruh alam.

Demikianlah elaborasi ayat-ayat mengenai keberpihakan Alquran terhadap kaum mustadh’afin. Sejatinya, ada banyak ayat-ayat Alquran yang dengan tegas membela hak kaum lemah dan tertindas. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Alquran (atau Islam secara umum) sangat pro terhadap kaum mustadh’afin. Sekian.

Muhammad Zainul Mujahid
Muhammad Zainul Mujahid
Mahasantri Mahad Aly Situbondo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...