Ketika membaca terjemah Alquran, terkadang kita merasa ada ayat yang seakan-akan bertentangan dengan ayat lain. Satu ayat menyatakan hal yang seperti bertolakbelakang dengan pernyataan ayat lainnya. Namun mungkinkah terjadi pertentangan dalam kitab suci yang kita yakini bersama tidak ada keraguan di dalamnya?
Tentu saja pertentangan antara ayat-ayat Alquran hanya sebatas anggapan saja karena terbatasnya pemahaman terhadap maksud ayat. al-Suyuti dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an (hal. 475) menegaskan bahwa tidak ada ayat yang bertentangan dengan ayat lain. Hal ini juga telah ditegaskan Alquran sendiri dalam Q.S. Annisa: 82 berikut:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan banyak pertentangan di dalamnya (Q.S. Annisa: 82).
Muhammad Sayyid Tantawi dalam Tafsir al-Wasit menerangkan maksud dari pertentangan di sini adalah inkonsistensi susunan, kontradiksi berita yang disampaikan, makna yang saling bertentangan, dan lain sebagainya. Itu semua menurutnya tidak mungkin terdapat dalam Alquran.
Lalu pertanyaannya, apa penyebab orang salah paham dengan beranggapan ada ayat-ayat Alquran yang saling bertentangan? Menurut analisis al-Zarkasyi dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an (2/54-65), ada beberapa faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Antara lain:
Pertama, bisa jadi sesuatu yang diceritakan Alquran memiliki beragam kondisi. Misalnya ketika Alquran menceritakan kondisi tongkat Nabi Musa dalam Q.S. Asysyua’ra: 32, dikatakan ia menjadi ular yang besar (tsu’ban). Sedangkan dalam Q.S. Alqasas: 31 dikatakan bahwa ia bergerak-gerak seolah-olah ular kecil (jann).
Dua deskripsi ini sebenarnya tidak bertentangan karena memang ada dua kondisi dari tongkat yang menjadi ular tersebut yang bisa diceritakan kepada pembaca. Dari segi bentuk dan ukurannya, ular itu tergolong ular besar. Akan tetapi dari segi gerakan yang gesit dan lincah, ia seperti ular kecil yang ringan tubuhnya.
Baca juga: Memahami Qalbun Wajil dan Qalbun Muthmainnah dalam Al-Quran yang Sepintas Kontradiktif
Kedua, perbedaan topik pembahasan antara dua ayat yang dikira bertentangan tersebut. Misalnya Q.S. Albaqarah: 174 yang mengatakan bahwa Allah Swt. tidak akan mengajak bicara orang kafir di hari kiamat. Sedangkan Q.S. Alhijr: 92-93 menegaskan bahwa Allah akan menanyakan mereka tentang apa yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia.
Menurut al-Zarkasyi, kedua ayat di atas tidak saling bertentangan, hanya saja topik yang dibahas keduanya berbeda. Pada ayat pertama, topiknya adalah meniadakan pembicaraan yang ramah dan bersifat memuliakan dari Allah kepada orang kafir. Adapun topik ayat yang kedua adalah pembicaraan berupa pertanyaan Allah yang bersifat meneror, menjelekkan, dan menghinakan mereka. Hanya jenis pembicaraan yang kedua ini lah yang terjadi antara Allah dan orang kafir di hari kiamat kelak.
Ketiga, perbedaan sudut pandang perbuatan. Misal, ada Q.S. Alanfal: 17 yang berbunyi, “Bukanlah kamu (Muhammad) yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah lah yang melempar.” Maksudnya adalah ketika Nabi melempari pasukan musuh dengan batu-batu kerikil, secara kasat mata benar adanya usaha melempar dari Nabi. Namun, untuk sampai dan mengenai mata mereka yang begitu banyaknya, itu hakikatnya adalah perbuatan Allah Swt.
Keempat, perbedaan yang disebabkan satu ayat menggunakan makna sebenarnya dan ayat lain menggunakan makna majas. Ini semisal kutipan dari redaksi Q.S. Alhajj: 2 yang terjemahnya adalah, “Kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk.”
Al-Syaukani dalam Fath al-Qadir menjelaskan maksud ayat tersebut bahwa di hari kiamat orang-orang terlihat kalang kabut, kesadarannya tidak stabil, dan badannya bergetar karena diselimuti ketakutan mendalam terhadap huru-hara hari kiamat. Kondisi mereka serupa dengan orang yang sedang mabuk, namun hakikatnya mereka sama sekali tidak sedang mabuk. Jadi, kata mabuk yang pertama disebutkan itu bermakna majas, sedangkan yang kedua bermakna sebenarnya.
Demikian beberapa faktor yang melatarbelakangi sebagian pembaca beranggapan adanya pertentangan dalam Alquran menurut al-Zarkasyi dalam kitabnya, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua anggapan adanya pertentangan itu muncul akibat pembaca kurang memahami maksud ayat, terlebih jika ia hanya berpatokan pada terjemah ayat, bukan membaca tafsirnya. Dengan pemahaman yang mendalam, anggapan itu pun sirna dengan sendirinya.
Adapun pertentangan antara dalil keagamaan dalam lingkup yang lebih luas; antara Alquran dengan hadis, antara sesama hadis, atau antara hadis dengan kias misalnya, itu cara penyelesaiannya berbeda lagi. Ilmu yang diistilahkan dengan ilm ta’arud al-adillah (ilmu pertentangan antardalil) ini insyallah akan diulas di tulisan berikutnya.
Baca juga: Makna Qur’an yang Plural dan Kontradiktif, Makna Awal Qur’an yang Terlupakan