BerandaTafsir TematikTafsir AhkamMelerai Konflik dalam Relasi Pasutri; Kontekstualisasi Kata Wadhribuhunna pada Q.S Annisa'...

Melerai Konflik dalam Relasi Pasutri; Kontekstualisasi Kata Wadhribuhunna pada Q.S Annisa’ [4]: 34

Tidak ada pasangan yang menghendaki perseteruan. Namun, ibarat laju bahtera di laut pasti akan menghadapi ombak, angin, bahkan terjangan badai untuk dapat sampai ke tepi. Begitu pun rumah tangga, pasti akan diuji oleh keadaan tak mengenakkan, yang salah satunya adalah konflik dalam relasi pasutri. Jika itu terjadi, maka melerai adalah cara yang harus ditempuh agar jalinan pernikahan tetap terjaga. Yang jadi masalah di tengah masyarakat adalah menentukan cara untuk melerai konflik tersebut.

Konflik rumahtangga seringkali berujung pada tindak kekerasan terhadap perempuan. Alih-alih melerai dua pihak yang bersitegang, kekerasan justru memperparah keadaan dan mendiskriminasi hak asasi perempuan. Mirisnya masalah ini semakin parah, ditengarai dengan frekuensi KDRT yang terus meningkat. Menilik survei dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pada 16/11, sepanjang tahun 2023 ini telah terjadi 23.833 kasus kekerasan, dan 21.026 korban dari keseluruhan kasus adalah perempuan. Sejumlah 14.541 kasus adalah KDRT dengan total korban mencapai 15.614 orang. Ini merupakan kategori tertinggi dibanding yang lain.

Interpretasi nas yang menjadi sumber hukum Islam turut andil sebagai faktor munculnya normalisasi tindakan KDRT. Nas tersebut antara lain adalah Q.S. Annisa [4]: 34 atau lebih tepatnya diksi wadribuhunna yang diinterpretasikan dengan ‘memukul istri’ sebagai salah satu cara melerai konflik pernikahan. Di tengah masyarakat yang menjunjung tinggi HAM dan prinsip kemanusiaan, upaya reinterpretasi diksi tersebut menjadi prioritas.

Baca Juga: Tafsir Ahkam; Apa Itu Nusyuz Suami? Berikut Penjelasannya

Konteks Ayat

وَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا

“Dan (para istri) yang kalian khawatirkan akan berbuat nusyuz (pembangkangan), maka nasihatilah mereka, berpisahlah dari ranjang mereka, dan (lalu) pukullaj mereka. Jika mereka telah menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan (celah untuk menyalahkan) mereka. Sesungguhnya Allah itu Maha Agung dan Maha Besar.”

Konteks sababun nuzul Q.S. Annisa [4]: 34 berkaitan dengan konflik suami-istri dari kalangan Sahabat Ansar. Dalam suatu hadis riwayat Ibnu Mirdawiyyah dari Sahabat Ali ra., terdapat sepasang suami-istri dari kalangan Ansar menghadap Nabi saw.. Lalu, sang istri mengadu kepada Nabi bahwa dia telah dipukul suaminya sampai menyisakan bekas luka di wajah. Nabi kemudian menyalahkan perbuatan tersebut seraya berkata, “Tidak ada perbuatan seperti itu.” Lantas, turunlah ayat tersebut.

Dalam versi lain, yakni hadis riwayat Abu Hatim, Ibnu Juraij, dan al-Suda disebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan aduan seorang perempuan kepada Nabi saw. Dia ditempeleng oleh suaminya. Nabi saw. pun menjawab, “Tindakan tersebut harus dibalas setara (qishash).” Lalu, Annisa ayat 34 turun untuk memberi tuntunan yang semestinya dalam melerai nusyuz. (Jalaluddin al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, 68)

Pada intinya, dapat disimpulkan pemahaman ayat dalam konteks sabab nuzulnya adalah untuk meluruskan tuntunan melerai nusyuz, yang pada mulanya dibalas dengan kekerasan (membalas dengan pukulan yang setara), menuju cara-cara yang lebih halus. Meski demikian, memukul menurut mayoritas mufasir juga masih menjadi pilihan, jika melerai dengan nasihat dan pisah ranjang tidak membuahkan hasil.

Baca Juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

Negosiasi ‘Urf

Kontekstualisasi makna dharaba bisa dengan 2 cara, yaitu negosiasi ‘Urf dan mengartikan wadhribuhunna pada makna selain memukul.

Pertama, negosiasi penerapan ayat dengan adat dan budaya setempat (‘urf). Salah satu mufasir yang menawarkan alternatif ini ialah Ibnu ‘Asyur. Menurutnya, ketentuan langkah melerai istri yang nusyuz tidak diberlakukan secara mutlak, dalam arti harus dikembalikan pada adat masyarakat setempat. Menurutnya, nas yang dipakai sebagai pijakan memukul istri harus dikembalikan pada adat yang berbeda-beda antar strata sosial masyarakat, atau suku satu dengan yang lainnya.

Sebagai contoh, masyarakat tradisional Arab tidak menganggap pemukulan terhadap perempuan sebagai kekerasan, bahkan perempuan suku tradisional Arab pun tidak menganggapnya sebagai kekerasan. Pada kondisi tersebut, memukul istri yang nusyuz boleh dilakukan. (Ibnu ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, Jilid 5, 41)

Sebaliknya, bila realitas masyarakat sudah berubah seperti sekarang ini, saat HAM sudah ditegakkan, maka memukul istri yang nusyuz tidak dibenarkan. Sebab, prinsip humanisme yang berlaku di masyarakat saat ini tidak memberlakukan hukuman fisik dalam pendidikan maupun kehidupan masyarakat pada umumnya.

Baca Juga: Tafsir Maqashidi dan Makna Dharaba dalam Surah An-Nisa’ Ayat 34

Mengembangkan makna wadhribuhunna

Kedua, pengembangan makna wadhribuhunna. Dalam Alquran, dharaba yang merupakan asal kata dari wadhribuhunna memiliki banyak makna. Di antaranya ialah bermakna ‘membuat (perumpamaan)’ seperti Q.S. Ibrahim ayat 24; bermakna ‘pergi’ seperti Q.S. Annisa ayat 94; dan bermakna ‘mengadakan atau membuat’ seperti Q.S. Annahl ayat 74. Kendati demikian, kemunculan makna tersebut diringi oleh atribut lain seperti lafaz ‘matsal’ dan huruf jar ‘fi’.

Sementara dalam kamus al-Munawwir, dharaba dapat berarti berpaling, mengabaikan, dan tidak memperhatikan. (A. Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, 874).

Makna berpaling atau mengabaikkan ini didukung oleh suatu hadis sebagaimana yang dikutip oleh Zaitunah Subhan, yang berarti:

“Aku heran terhadap seorang yang memukul istrinya. Dialah yang semestinya lebih layak untuk dipukul. Jangan kalian memukul istri dengan kayu karena akibatnya kalian akan diqishash. Kalian dapat memutuskan untuk tidak memberikan istri kalian nafkah sehari-harinya. Perbuatan lebih bermanfaat bagi kalian di dunia dan akhirat.” (Zaitunah Subhan, Alquran & Perempuan: Menuju Kesetaraan Gender dalam Penafsiran, 197)

Hadis ini menguatkan pemaknaan dharaba sebagai ‘mengabaikan atau mengacuhkan’ istri. Setelah dua langkah sebelumnya tidak membuahkan hasil, tindakan mengabaikan dapat dipilih dengan cara tidak berinteraksi dengan istri secara total, sehingga diharapkan istri akan sadar atas kesalahannya.

Secara substantif, langkah terakhir ini menggambarkan pilihan terberat yang dapat dilakukan untuk melerai konflik rumah tangga. Zaitunah Subhan mengarahkannya dengan memutus interaksi secara penuh sebagai instrumen yang memiliki konsekuensi berat, sebab interaksi adalah hal yang sangat sulit dihindari dalam relasi pasutri.

Baca Juga: Alquran Tidak Melegitimasi Kekerasan dalam Rumah Tangga

Wadhribuhunna juga dapat dipahami sebagai ‘tindak tegas’ sebagai pilihan terakhir dalam melerai nusyuz. Faqihuddin Abdul Kodir menyatakan demikian, tanpa menjadikan pemukulan sebagai salah satu wujud tindak tegas tersebut. Hal ini lantaran pemukulan tidak sejalan dengan prinsip rekonsiliatif pada kasus nusyuz. (Faqihuddin Abdul Kodir, Qira’ah Mubaadalah, 418)

Dua pemaknaan Q.S. Annisa’ ayat 34 tentang cara melerai konflik dalam relasi pasutri pada dasarnya mengacu pada tiga prinsip. Prinsip tersebut sebagaimana yang ditunjukkan dalam Q.S. Annisa’ ayat 128, meliputi prinsip rekonsiliatif (islah), menambah tindakan baik (ihsan), dan menjaga diri dari tindakan buruk (takwa). Sehingga, mengarahkan wadhribuhunna pada makna selain memukul adalah suatu keharusan.

Sebagai simpulan, opsi terakhir cara melerai nusyuz dalam relasi pasutri adalah dengan mengambil sikap tegas sebagai manifestasi pilihan terberat. Adapun wujud sikap tegas bisa berbeda antarrelasi satu pasangan dengan yang lain sepanjang tidak mengandung unsur kekerasan dan efektif untuk melerai pasangan yang nusyuz. Misalnya, dapat berupa mengacuhkan, membuat perjanjian pernikahan, melibatkan pihak lain yang tergolong orang dekat untuk turut membujuk pasangan yang nusyuz, dan lain sebagainya.

Wallahu a’lam[]

Halya Millati
Halya Millati
Redaktur tafsiralquran.id, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya, pegiat literasi di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...