BerandaTafsir TematikTafsir IsyariApa Maksud Qalbun Salim (Hati yang Sehat) dalam As-Syu’ara: 88-89?

Apa Maksud Qalbun Salim (Hati yang Sehat) dalam As-Syu’ara: 88-89?

Manusia adalah makhluk dwi dimensi; jasmani dan rohani. Masing-masing memiliki kadar dan kebutuhan yang perlu dipenuhi, tanpa berlebihan atau kekurangan. Jika manusia hanya fokus pada aspek rohaninya saja, ia akan menjadi layaknya malaikat. Sebaliknya, jika terlalu memprioritaskan aspek jasmani, ia tak ubahnya seperti binatang. Padahal manusia bukanlah malaikat, juga bukan binatang.

Jasmani ditandai oleh tubuh sementara rohani tercermin oleh hati. Pada umumnya, manusia lebih cenderung memperhatikan aspek jasmani ketimbang rohani. Karena memang jasmani terlihat jelas dan lebih mudah dijangkau daripada rohani. Itu sebabnya manusia lebih banyak melakukan apa yang menguntungkan jasmaninya, tidak dengan rohani yang sering kali diabaikan, bahkan tidak dihiraukan sama sekali.

Ketidaktahuan adalah alasan pertama dari terbengkalainya kebutuhan rohani. Yaitu tidak tahu bahwa dirinya adalah gabungan jasmani dan rohani.

Akibat ketidaktahuan akan unsur dan dimensi diri ini, akan terjadi ketidakseimbangan dalam pemenuhan hak. Sebagaimana jasmani, rohani akan bermasalah saat kebutuhannya terabaikan. Dan sebagai tanda dari bermasalahnya rohani, adalah ketika amal kebaikan yang merupakan asupanya, tidak lagi terasa nikmat dan lezat, serta tidak ada lagi kegelisahan jiwa saat melakukan keburukan yang merupakan gejala penyakitnya.

Keadaan Hati Manusia

Tidak dapat dipungkiri sebagaimana yang banyak diterangkan oleh para ulama, bahwa hati juga dapat mengalami seperti yang dialami oleh tubuh manusia. Seperti sakit, sehat, hidup, bahkan mati. Sehingga ada istilah hati yang sehat dan hati yang sakit. (Tazkiyah an-Nufus, 25).

Di dalam Q.S. As-Syu’ara [26]: 88-89 Allah berfirman,

يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ  إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

“(Ingatlah) pada hari ketika harta dan anak-anak tidak lagi berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan (membawa) hati yang salim (sehat).”

Ayat ini dan ayat-ayat semakna lainnya dianggap sebagai dalil bahwa hati manusia itu berbeda-beda dan dapat berubah-ubah. Selain itu, juga banyak hadis yang mendukung kesimpulan ini. Seperti hadis Muttafaq alaih yang berbicara tentang hati yang menjadi penentu sekaligus pengatur seluruh tubuh manusia. (Shaheh Bukhari No. 52 dan Shaheh Muslim No. 1599).

Saat menafsiri ayat di atas, Ibn Sirin mengatakan qalbun salim adalah hati yang mengenal Allah dan menyakini hari kiamat. Hal senada juga disampaikan oleh Ibn Abbas, Mujahid, dan Hasan al-Bashri. Sementara menurut Sa’id ibn Musayyib, ia adalah hati yang sehat dari penyakit kemusyrikan dan kemunafikan. Menurutnya qalbun salim itu adalah hatinya orang mukmin saja. Sementara yang sakit (qalbun marid) adalah hati orang kafir dan munafik sebagaimana yang disinggung dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 10. (Tafsir Ibn Katsir [6], 561).

Sudut pandang kedua pendapat di atas sama-sama menghubungkan pengertian salim kepada keimanan. Sehingga menurut mereka, hati itu sehat kalau beriman, sebaliknya sakit manakala yang bersangkutan tidak beriman. Dengan begitu, boleh jadi pandangan ini menganggap hati orang mukmin tidak mungkin mengalami sakit selagi ia masih beriman.

Sepertinya Al-Razi tidak puas dengan pandangan ini, sehingga beliau mengemukakan pandangan lain yang menurutnya lebih tepat. Menurut beliau, qalbun salim yang dimaksudkan oleh ayat di atas adalah hati yang sehat, dalam artian terhindar dari berbagai gejala penyakit hati seperti kebodohan, kemaksiatan dan perilaku-perilaku buruk lainnya, bukan hanya terhindar dari penyakit kemusyrikan dan kemunafikan. Sehingga menurutnya tidak semua mukmin itu memiliki qalbun salim, tapi juga ada yang memiliki qalbun marid.

Lebih jauh lagi al-Razi mengatakan, hakikatnya, hati tak jauh berbeda dengan tubuh. Dikatakan sehat manakala hak dan kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi. Sebaliknya, akan menjadi sakit tatkala hak dan kebutuhan-kebutuhan itu terbengkalai atau terabaikan. (Mafatih al-Ghaib [12], 140).

Sampai disini dapat diduga bahwa letak perselisihan ulama menyoal kandungan makna qalbun salim hanya berhenti pada skala cakupan makna kata salim. Ia dapat saja dipahami selamat dari kemusyrikan dan kemunafikan saja, atau tidak hanya itu, tapi juga selamat dari penyakit-penyakit hati lainnya seperti kebodohan, dan kemaksiatan.

Dengan begitu, mengikuti alur pendapat kedua, berarti kita dituntut mencari tahu gejala-gejala penyakit hati, sebagai upaya menghindarinya dan juga menjaga hati tetap dalam keadaan sehat tentunya.

Baca juga: Penjelasan Para Mufasir tentang Hati yang Sakit dalam Surah al-Baqarah Ayat 10

Gejala-Gejala Penyakit Hati

Seorang arif bijak berkata; “Barang siapa yang tidak mengenal keburukan, dia akan terjatuh ke dalam keburukan tersebut. Itu artinya untuk selamat dari sesuatu haruslah lebih dahulu mengetahui hakikat sesuatu itu, agar kemudian dapat dihindari. Demikian halnya dengan penyakit hati, mengetahui gejala-gejala penyakitnya adalah langkah pertama dari upaya menjaga hati.

Dalam Mausu’ah al-Akhlaq al-Islamiyah disebutkan ada tiga belas gejala yang menyebabkan keras atau sakitnya hati. Di antaranya adalah lalai mengigat Allah. Dalam Q.S. Thaha [20]: 124. Allah berfirman,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Siapa yang berpaling dari dzikri, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”

Secara umum mayoritas ulama memahami maksud kalimat dzikri di atas dengan peringatan Allah berupa al-Quran. Alasannya, memang ayat ini sedang membicarakan orang-orang kafir yang ingkar dan tidak percaya pada al-Quran. Tetapi bagaimana pun perbedaan tetap tidak bisa dielakkan, sehingga tetap saja ada yang berpendapat lain. Pandangan lain itu menganggap bahwa maksud dzikri di atas adalah mengigat Allah yang merupakan makna dasar kata dzikri itu sendiri. Dengan begitu menurut pandangan ini, berpaling atau lalai dari mengigat Allah adalah di antara penyebab kesengsaraan hidup yang di antaranya dirasakan oleh hati yang membuatnya sakit.

Pendapat itu disebutkan oleh Imam al-Qusyairi dalam tafsir Lathaif al-Isyarat-nya. Beliau juga menyebutkan sebagian kalam-kalam hikmah yang mendukung pandangan itu, antara lain; “Barang siapa yang berpaling dari mengingat Allah, hatinya akan mudah dimasuki waswas setan, jiwanya akan selalu gelisah, dan akan jauh dari ketenangan dan kebahagiaan.”(Lathaif al-Isyarat [2], 486).

Dzikrullah yang berati mengingat Allah sebenarnya adalah asupan hati sebagaimana makanan bagi tubuh manusia. Apa yang akan dialami jasmani juga akan dialami oleh hati manakala kebutuhan makannya tidak dipenuhi dengan baik. Itu sebabnya dalam Q.S. Al-Ra’du [13], 28 Allah berfirman, mengingatkan bahwa dzikrullah adalah asupan hati yang dapat membuatnya stabil dan tenang.

أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.”

Wallahu A’lam.

Baca juga: Al-Quran adalah Obat Bagi Penyakit Rohani: Tafsir Surat Al-Isra Ayat 82

M. Yoeki Hendra
M. Yoeki Hendra
Mahasantri Ma'had 'Aly Situbondo, gemar membaca kitab-kitab turats
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...