Maqashidus Syari’ah yang menjadi salah satu pendekatan alternatif memahami Al-Quran agar lebih kontekstual, ternyata berbeda dengan maqashidul Qur’an. Pada serial diskusi tafsir tafsiralquran.id jilid 3 (24/10), Ulya Fikriyati menyampaikan distingsi sekaligus titik temu keduanya.
“Tafsir maqashidi kebanyakan didasarkan pada maqashidus syariah”, pengantar dari dosen yang akrab disapa Bu Ulya ini.
Maqashidul Quran sebenarnya memiliki jangkauan lebih luas ketimbang maqashidus syari’ah. tetapi, kalah berkembang dari maqashidus syari’ah. Karena ini, Bu Ulya menawarkan maqashidul Qur’an menjadi kacamata untuk membaca Al-Quran secara kontekstual.
Definisi Maqashidul Qur’an
Maqashidul Qur’an merupakan satu istilah baku yang terdiri dari dua kata, maqashid dan Al-Quran.
Bu Ulya menjelaskan, Maqashid, berasal dari maqshad, yang multi makna; mendatangi, jalan yang lurus, posisi tengah, dan tujuan. Sementara Al-Quran bermakna; mambaca, bacaan, dan menghubungkan.
Secara terminologis, Maqashidul Qur’an dimaknai sebagai ilmu untuk memahami diskursus Al-Quran dengan mempertimbangkan tujuan-tujuan utamanya yang merepresentasikan inti Al-Quran sebagaimana ditunjukkan oleh makna-maknanya yang terdistribusi dalam ayat-ayatnya.
Untuk menggali maqashidul Quran, Bu Ulya menunjukkan dua cara, yakni dengan analisis lughawi (bahasa) dan konteks ayat pada tempat yang berbeda-beda.
Baca juga: Pendekatan Maqashid dalam Penafsiran Al-Quran, Prof. Mustaqim: Tafsir itu Tidak Hanya On Paper
Dua Perbedaan Maqashidus Syari’ah dan Maqashidul Qur’an
Distingsi maqashidus syari’ah dengan maqashidul Qur’an ada pada fokus dan tujuannya. Fokus kajian maqashidus syariah terbatas pada ayat legal-formal, sementara maqashidul Qur’an mencakup seluruh ayat baik legal-formal, kisah, ayat-ayat eskatologis, dan seterusnya, dan seterusnya.
Di sisi lain, maqashidus syariah, tujuannya lebih pada bagaimana menjaga ad-daruriyatul khams. Ad-daruriyatul khams ini meliputi; hifzud din (penjagaan jiwa), hifzun nafs (penjagaan nyawa), hifzul ‘aql (penjagaan akal), hidzun nasl (penjagaan keturunan), dan hifdzul mal (penjagaan harta). Meskipun pada perkembangannya, muncul fitur-fitur baru seperti hifdzul bi’ah (menjaga lingkungan) dan as-samahah (toleransi).
Sementa maqasyidul Qur’an bertujuan untuk mengaktualisasikan seluruh komponen Al-Quran. Sehingga bisa dipastikan, tiap ayat dapat digali maqashidul Qur’an-nya.
Inpirasi pembedaan maqashidul Qur’an dengan maqashidus syari’ah didapat Bu Ulya dari pendapat Imam as-Syathibi dalam al-Muwafaqat dan Ahmad Syaltut.
إذا نظرنا إلى رجوع الشريعة إلى كلياتها المعنوية وجدناها قد تضمنها القرءآن على الكمال
“Bila kita melihat isi syariat, kita akan temukan seluruhnya terkandung dalam Al-Quran dengan sempurna”
“Bahasan syariat sebenarnya sudah tercakup dalam Al-Quran secara sempurna”, tegas Bu Ulya.
Karena itu, bila merujuk pada Mahmud Syaltut yang mengatakan, al-Islam huwal ‘aqidah was syari’ah (Islam adalah akidah dan syariat), maka bisa memakai salah satu dari dua hal itu.
Baca juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [3]: Menghormati Jiwa Hingga Menjaga Alam
Namun demikian, Bu Ulya mengakui maqashidus syari’ah yang lahir dari Ushul Fiqh jauh lebih progresif. Kenyataan ini terjadi karena Ushul Fiqh muncul lebih awal dari ilmu tafsir.
Selain perbedaan, maqashidul Qur’an dan maqashidus syari’ah juga memiliki titik temu. Bu Ulya menyebutkan bahwa melalui dua pendekatan ini, seseorang diajak untuk menggali dan memahami sumber ajaran Islam demi keabikan umat Islam dan umat manusia.
Atas dasar itu, pencapaian maslahat menjadi tujuan baik bagi maqashidul Qur’an maupun maqashidus syari’ah. Beda hanya pada cakupan dan tujuan.
Jadi, dapat kita simpulkan, tafsir maqashidi dapat dihasilkan melalui dua pendekatan. Maqashidul Qur’an dan Maqashidus Syari’ah. Yang pentama terkandung di semua ayat, sementara yang kedua hanya ayat legal-formal. Meski begitu, dua-duanya sama-sama tetap membutuhkan pengembangan ke depan. Bagi maqashidul Qur’an pada aspek teknis-sistematis, sementara maqashidus syari’ah pada pengayaan fitur sesuai tuntutan kemaslahatan manusia di kemudian.
Bu Ulya adalah dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir di Institut Ilmu Keislaman An-Nuqayah (INSTIKA), Madura. Ia aktif menulis baik dalam bentuk artikel, buku, dan terjemah. Kajian seriusnya di bidang Tafsir Maqashidi tampak dari setidaknya, 3 karangan. Pertama, ‘Metode Tafsir Maqashidi: Memahami Pendekatan Baru Penafsiran Al-Quran’, buku hasil alih bahasa at-Tafsirul Maqashidi li Suwaril Karim, karya Wasyfi ‘Asyur Abu Zayd, yang terbit pada 2019.
Kedua dan tiga, dalam bentuk artikel bertajuk Maqâṣid al-Qur’ân dan Deradikalisasi Penafsiran dalam Konteks Keindonesiaan, dalam Islamica, pada September 2019 dan Maqāșid Al-Qur’ān: Genealogi dan Peta Perkembangannya dalam Khazanah Keislaman, dalam ‘Anil Islam, pada Desember 2019. Selain itu, ia juga menaruh keseriusannya pada bidang keadilan gender dan isu keagamaan di media sosial. Wallahu a’lam[]