Sejarah mencatat bahwa Nabi Muhammad saw melakukan poligami dengan memiliki istri yang berjumlah 11 orang. Tindakan Nabi saw ini mendapat kritik dari para orientalis. Menurut mereka, Nabi saw adalah seorang lelaki yang bersyahwat atau bernafsu birahi yang tinggi, tidak merasa cukup memiliki 1 istri atau 4 sebagaimana yang diwajibkan atas umatnya.
Menyikapi permasalahan ini, Syekh Ali ash-Shabuni mengingatkan dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, Nabi saw tidak beristri banyak kecuali setelah menginjak usia tua, yakni lebih 50 tahun. Kedua, semua istri Nabi saw berstatus janda, kecuali ‘Aisyah. Jika memang tujuan Nabi saw menikah adalah memenuhi nafsu birahi atau bersenang-senang, pasti Nabi saw memilih menikah diusia muda dengan wanita-wanita yang masih muda pula. (Mukhtasar Tafsir Ayatil Ahkam, 257-259)
Baca Juga: Surah An-Nisa Ayat 3, Praktik Poligami Menurut Mufasir Indonesia
Hikmah Dibalik Nabi Muhammad Saw Berpoligami
Syekh Ali ash-Shabuni dalam Tafsir Ayatil Ahkam menyebutkan terdapat empat hikmah besar yang bisa dipetik dalam praktik poligami yang dilakukan Nabi saw.
Aspek Pembelajaran
Tujuan utama yang mendasari Nabi saw berpoligami adalah menyiapkan perempuan sebagai konsultan atau penjelas hukum-hukum syari’at, terutama yang berkaitan kewanitaan. Sebab, tidak sedikit tuntutan hukum syariat yang hanya tertuju kepada kaum perempuan yang tidak diwajibkan kepada kaum lelaki.
Umumnya, kebanyakan perempuan merasa malu jika ingin bertanya kepada Nabi saw seputar hal-hal yang berkaitan dengan mereka, seperti hukum-hukum haid, nifas, jinabah (hadas besar), kekeluargaan, dan selainnya. Begitu juga Nabi saw yang seorang lelaki, terkadang tidak mampu menjawab persoalan kewanitaan dengan bahasa yang sempurna dan jelas. Sehingga terkadang apa yang beliau sampaikan tidak dapat dipahami oleh penanya.
Contohnya, kisah yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah bahwa ada seorang wanita dari kalangan Ansar bertanya kepada Nabi saw tentang tata cara mandi dari haid, lantas Nabi saw mengajarkannya bagaimana ia harus mandi, kemudian berkata kepadanya, “Ambillah sepotong kapas yang telah dilumuri wewangian, lalu bersucilah dengan itu,”
Baca Juga: Telaah Dalil Poligami: Poligami Boleh Saja, Tapi Afdhal-nya Tetap Monogami
Kemudian dia bertanya,”Bagaimana cara aku bersuci dengannya?”, Nabi saw berkata:” bersucilah dengan kapas itu,” ia bertanya lagi, “Bagaimana aku bersuci dengannya, wahai Rasulullah?” Nabi saw menjawab, “Subhanallah, bersucilah dengannya!.” ‘Aisyah berkata, “Aku tarik tangannya, lalu aku berkata kepadanya, “Letakkan kapas itu di sini, kemudian bersihkan bekas darah itu,”. aku jelaskan kepadanya tempat yang semestinya ia bersihkan. (H.R an-Nasa’i)
Aspek Tasyri’
Hikmah kedua Nabi saw berpoligami adalah untuk membatalkan sebagian tradisi jahiliyyah masyarakat Arab saat itu, yakni mengakui anak hasil adopsi sebagai anak kandung. Mereka memperlakukan anak hasil adopsi sebagaimana anak kandung sendiri dari segala aspek, mulai dari hak waris, talak, pernikahan, dan lain-lain.
Untuk menguji itu semua, Allah swt memerintahkan Nabi saw (sebelum masa kenabian berlangsung) agar mengadopsi salah satu anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Diceritakan dari Abdullah bin Umar, ia berkata, “Sesungguhnya Zaid bin Haritsah (anak yang dimerdekakan Nabi saw) aku tidak memanggilnya kecuali Zaid bin Muhammad, sehingga turun Q.S al-Ahzab [33]: 5 (H.R Bukhari dan Muslim)
Pada suatu saat, Nabi saw menjodohkan Zaid dengan anak pamannya yang bernama Zainab binti Jah}sy. Namun tidak berlangsung lama, Zaid mentalak istrinya itu. Setelah keduanya bercerai, Allah swt memerintahkan Nabi saw untuk menikahi Zainab binti Jahsy dengan tujuan membatalkan tradisi pemberlakuan anak hasil adopsi sebagai anak kandung.
Jika memang secara syariat benar bahwa Zaid bin Haristah adalah anak kandung Nabi saw (sebagaimana tradisi masyarakat Arab), maka Nabi saw tidak akan menikahi Zainab binti Jahsy yang statusnya mantan istri anaknya itu. Sebab, syariat Islam tidak memperbolehkan menikahi perempuan mantan istri anak kandungnya atau sering disebut mahram bil musoharoh (mahram sebab perkawinan).
Baca Juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan
Aspek Sosial
Hikmah yang ketiga dari paktik poligami Nabi saw adalah aspek sosial. Aspek ini tampak jelas ketika Nabi saw menikahi ‘Aisyah putri Abu Bakar as-Siddiq dan Hafsah putri Umar bin Khattab, yang keduanya adalah teman dekat beliau. Tentu pernikahan Nabi saw ini menjadikan hubungan dengan kedua teman dekatnya semakin erat dan kuat, yang semula teman dekat menjadi keluarga. Terlebih Abu Bakar dan Umar adalah tokoh berpengaruh pada masyarakat saat itu, yang pertama kali masuk islam, mengerahkan jiwa raga dan hartanya untuk membantu perjuangan Nabi saw.
Aspek Politik
Tujuan Nabi saw melakukan poligami selanjutnya adalah untuk melunakkan hati dan memperbanyak keluarga dari berbagai suku. Telah menjadi rahasia bersama jika seseorang menikah dengan suatu suku atau keluarga lain, maka kedua belah pihak akan menjadi kerabat dekat. Secara tabiat, hubungan tersebut akan menjadikan penguat dan pembela dalam perjuangan.
Contohnya, Nabi saw menikahi Ummu Habibah putri Abu Sufyan yang merupakan tokoh orang kafir serta paling memusuhi Nabi saw. Suatu saat Ummu Habibah bepergian bersama suami pertamanya ke Habasyah (sekarang Etiopia). Namun, dalam perjalanan suaminya meninggal, akhirnya ia seorang diri tanpa ada pendamping.
Saat tiba di Madinah, Nabi saw menikahinya. Mendengar kabar tersebut, Abu Sufyan merestui pernikahan itu dan akhirnya masuk islam. Berkat masuk Islamnya Abu Sufyan, para pengikut-pengikutnya pun berbondong-bondong masuk islam. (Mukhtasar Tafsir Ayatil Ahkam, hlm. 259-266). Wallahu A’lam