Kata Al-Qur’an bagi umat muslim sangat dekat dan lekat dalam kehidupan sehari-hari. Lantunan ayat suci al-Quran dapat dengan mudah didengarkan dalam format dan sumber yang beragam. Tetapi sudahkah kita mengetahui apa makna dan pengertian al-Qur’an? Dalam artikel ini penulis akan sedikit mengulas makna dan definisi al-Qur’an menurut para ulama dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulum al-Qur’an).
Sebelum kita membahas makna dan pengertian al-Qur’an ini, ada satu pertanyaan yang penting dimunculkan: apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata al-Qur’an?
Pertanyaan ini coba penulis tanyakan ke pengikut instagram, jawabannya beragam, ada yang mengatakan kitab suci umat Islam, pedoman hidup umat Islam, Surat Al-fatihah, dan ada juga yang menjawab Kalam Allah Swt. Semua jawaban ini benar adanya dan dapat mewakili definisi al-Quran. Akan tetapi, untuk dapat mengenal al-Qur’an lebih dekat kita perlu menelisik lebih jauh definisinya menurut para ulama.
Baca Juga: Inilah Beberapa Argumentasi Orientalis dalam Mematahkan Autentisitas Al-Quran
Menurut Badruddin al-Zarkayi dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an dan juga menurut Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, ada perbedaan pendapat mengenai asal usul atau akar kata dari al-Qura’n. Sebagian ulama berpendapat kata al-Qur’an tidak memiliki akar kata, ia merupakan nama khusus yang disematkan untuk menyebut Kalam Allah Swt.
Namun sebagian lain memandang kata al-Qur’an berasal dari kata al-qaraa (القرى) yang artinya mengumpulkan (al-jam’u). Makna “mengumpulkan” ini berdasarkan keyakinan bahwa al-Quran mengumpulkan intisari dari kitab-kitab suci terdahulu.
Berbeda dengan al-Zarkasyi maupun al-Suyuthi, Abdul Azhim al-Zarqani dalam bukunya Manahil al-‘Irfan berpandangan bahwa kata al-Qur’an berakar dari kata qara’a yang artinya “membaca”. Bila merujuk makna ini, maka al-Qur’an berarti “bacaan” atau “yang dibaca” (maqru’). Al-Zarqani melandaskan pendapat ini pada Q.S al-Qiyamah ayat 17-18:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ () فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ ()
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”
Menurut al-Zarqani pendapat yang menyebutkan al-Qur’an berasal dari kata al-qaraa atau al-qar’u berdasarkan pelafalan orang Arab Hijaz dulu yang membaca al-Qur’an dengan al-Quraan (tanpa hamzah). Padahal bagi al-Zarqani pelafalan yang membuang huruf hamzah ini hanya kebiasaan saja (li al-takhfif), pada hakikatnya tetap menggunakan hamzah. Senada dengan al-Zarqani, Taufik Adnan Amal juga berpandangan bahwa penghilangan hamzah pada kata al-Qur’an merupakan karakteristik pelafalan dialek Mekah atau Hijazi, dan juga terdapat pada karakter penulisan aksara kufi awal yang tidak memakai hamzah.
Penulis sendiri cenderung sepakat dengan pendapat terakhir yang mengatakan bahwa al-Qur’an secara etimologi berasal dari kata qara’a yang artinya bacaan. Selain karena didasarkan pada ayat al-Quran sendiri, pada dasarnya makna bacaan lebih lekat dan memotivasi kita untuk terus menerus menjadikan al-Qur’an sebagai bacaan yang diresapi maknanya dan diimplementasikan pesan-pesannya.
Lalu bagaimana al-Quran didefinisikan dari segi terminologi? Kita bisa mendapat jawabannya dari penjelasan Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Dari sekian definisi yang diuraikan al-Jabiri, penulis cenderung memilih definisi sebagai berikut:
القرآن هو كلام الله تعالى المنزل على خاتم أنبيائه محمد المكتوب في المصحف المنقؤل إلينا بالتواتر المتعبد بتلاوته المتحدى بإعجاءه
“al-Qur’an adalah Kalam Allah Swt yang diturunkan kepada penghujung para Nabi, Muhammad Saw, ditulis dalam mushaf, ditransmisikan secara mutawatir, menjadi ibadah dengan membacanya, dan menjadi penentang/penguat dengan kemukjizatannya.”
Mari kita bahas satu per satu definisi yang sekiranya tidak dapat langsung dipahami di atas. Pertama, yang ditulis dalam mushaf, maksudnya apa? Selain dihafal dalam memori para sahabat, sejak awal al-Quran telah diperintahkan oleh Nabi Muhammad Saw untuk dituliskan melalui berbagai media: pelepah kurma, tulang unta, dan sebagainya. Ini menegaskan bahwa al-Qur’an secara historis telah dijaga keotentikannya bahkan segera setelah wahyu diterima Nabi Saw.
Kemudian segera setelah Nabi Saw wafat, para sahabat bersepakat untuk mengumpulkan al-Quran ke dalam satu mushaf. Untuk penjelasan lebih detail soal sejarah penulisan al-Qur’an baik dari segi tulisannya (khat) hingga sekarang bisa dicetak, diterbitkan, ada lembaga tashih yang ikut menjaga kemurnian al-Quran dan lain sebagainya akan dibahas pada topik tersendiri.
Kedua, ditransmisikan secara mutawatir. Istilah Mutawatir lebih akrab dikenal dalam dunia periwayatan hadis. Secara harfiah mutawatir berarti “berturut-turut atau beruntun”, tetapi dalam ilmu hadis istilah ini merujuk pada kriteria kuantitas periwayat hadis yang menandakan sebuah hadis diriwayatkan oleh banyak periwayat. Setidaknya ada empat kriteria menurut Mahmud Thahhan ketika sebuah riwayat dinyatakan mutawatir. Pertama jumlah perawi minimal 10 orang. Kedua jumlah minimal tersebut harus terpenuhi dari setiap generasi periwayat. Ketiga, dengan banyaknya jumlah tersebut sehingga mustahil bagi para periwayat untuk bersepakat bohong. Keempat para perawi menyaksikan langsung dengan panca indera proses transmisinya.
Al-Quran sudah dapat dipastikan sebagai kitab suci yang mutawatir. Karena sejak awal masa kenabian ia telah menjadi fokus utama Nabi Muhammad Saw beserta para sahabat. Mereka mencatat, menghafal, mengajarkan, dan mempraktikkan ajaran al-Qur’an. Dari generasi ke genarsi al-Qur’an terus diajarkan dan dihafal sehingga tidak ada sejarawan yang menyangkal keotentikannya.
Ketiga, menjadi ibadah ketika membacanya. Pada poin inilah al-Quran dibedakan dengan hadis qudsi. Meskipun sama-sama diyakini sebagai wahyu Allah secara verbal, al-Qur’an merupakan Firman Allah Swt yang dikhususkan dan menjadi ibadah bagi umat muslim ketika membacanya. Ibadah ini berkait kelindan dengan pahala yang dapat diraih oleh umat muslim terlepas dari paham dan tidaknya mereka dengan apa yang dibaca. Ada banyak riwayat hadis sahih yang menerangkan keutamaan membaca al-Qru’an, satu di antara yang paling populer adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud:
عن عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Dari ‘Abdullah ibn Mas‘ud, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa saja membaca satu huruf dari Kitabullah (Al-Qur’an), maka dia akan mendapat satu kebaikan. Sedangkan satu kebaikan dilipatkan kepada sepuluh semisalnya. Aku tidak mengatakan alif lâm mîm satu huruf. Akan tetapi, alif satu huruf, lâm satu huruf, dan mîm satu huruf,” (HR. At-Tirmidzi).
Baca Juga: Peran Bahasa Arab dan Cabang Keilmuannya dalam Penafsiran Al-Qur’an
Keempat, al-Qur’an didefinisikan sebagai penentang dengan kemukjizatannya. Inilah yang paling menonjol dalam al-Quran ketika pertama kali ia diwahyukan terutama saat dihadapkan pada orang-orang kafir Quraisy. Kebiasaan Arab yang sangat menghormati syair dan nilai sastra yang tinggi, tidak dapat mengalahkan kesusastraan al-Qur’an yang begitu indah dan penuh dengan nilai moral yang luhur. Tidak ada seorang pun penyair Arab yang mampu menandingi kehebatan dan keagungan bahasa al-Qur’an. Terdapat ayat al-Qur’an yang menantang secara terbuka para penyair untuk membuat semacam al-Qur’an, tetapi mereka tidak mampu. Satu di antaranya Allah berfirman:
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah, sungguh jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.”
Demikianlah penjelasan mengenai kata Al-Quran dan definisinya menurut para ulama. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.