Dalam kajian Asbab Nuzul ada dua kaidah yang sering diperdebatkan yakni al-ibrah bi umum al-lafdzi (pemahaman ayat adalah berdasar pada keumuman lafadznya) dan al-ibrah bi khusus al-sabab (pemahaman ayat adalah berdasar Asbabun Nuzulnya).
Sebenarnya kedua kaidah ini dapat dikompromikan dalam konteks Asbab Nuzul. Jadi tetap mempertimbangkan kedua dimensi penting dari ayat yakni kesejarahan (ma haula al-Qur’an) dan teks (ma fi al-Qur’an) sebagaimana dikemukakan Amin al-Khulli. Sebagai contoh, dalam Q.S. al-Maidah [5]: 51:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُوْدَ وَالنَّصٰرٰٓى اَوْلِيَاۤءَ ۘ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Ayat ini merupakan salah satu ayat yang paling banyak dibaca dan diperbincangkan baik dalam majelis-majelis formal maupun majelis virtual. Jika dilihat Asbab Nuzul, riwayat al-Suddi mengatakan bahwa ayat ini mengisahkan kekhawatiran sekelompok umat Islam yang sedang dalam kondisi perang Uhud. Saking takutnya mereka mendapati siksaan saat perang, ada yang memilih untuk ber-wala’ (menunjukkan loyalitas) pada Yahudi dan ada juga pada Nashrani.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 8: Dalil Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat…
Ketakutan mereka di tengah kondisi perang, membuat mereka berpikiran sempit dan mengira bahwa dengan loyal dan memohon perlindungan dari musuh, mereka akan selamat dari siksaan jika seandainya Islam kalah. Maka ayat yang turun beriringan dengan peristiwa atau kejadian ini, menjadi respon atas sikap sekelompok umat Islam tersebut, sebagai penegasan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah pengkhianatan dan pelakunya dihukumi masuk dalam kategori musuh umat Islam.
Jika ditinjau dari kaidah al-ibrah bi khusus al-sabab, maka ayat ini seolah sudah tidak berlaku dalam konteks saat ini. Sebab memang secara khusus kandungannya merespon peristiwa atau kejadian tersebut.
Namun, jika ditinjau dari kaidah al-ibrah bi umum al-lafdzi maka ayat ini secara mutlak melarang umat Islam untuk menjalin hubungan yang positif (loyal) dengan umat beragama lain (jika auliya’ dipahami sebagai teman setia). Apalagi menjadikan mereka sebagai pemimpin (jika auliya’ dimaknai pemimpin).
Maka sikap hanya bergantung pada khusus al-sabab akan terlihat seolah-olah memberi label “kadarluarsa” pada ayat, dan apabila sebaliknya umum al-lafdzi maka akan memperlihatkan seolah-olah Islam adalah agama yang ekstrim. Sebab di zaman globalisasi saat ini, akan sangat sulit untuk menghindari interaksi dengan non-muslim apalagi jika kondisinya sudah tingkat negara. Bahkan banyak negara non-muslim yang dianggap sebagai “negara sahabat” oleh Indonesia.
Dan jika melihat konteks masyarakat Indonesia sendiri, banyak sekali umat Islam yang menganggap umat beragama lain sebagai sahabatnya karena memang realitas sosialnya yang plural. Atau memilih umat beragama lain sebagai pemimpin karena umat Islam berstatus minoritas.
Maka ayat ini harus dipahami dari kedua sisi, sehingga kesimpulan yang didapati akan lebih bijaksana dan sesuai dengan keadaan umat Islam saat ini. Jadi menurut penulis, larangan dalam ayat ini harus disikapi dengan menemukan kesamaan pada konteks saat ayat ini turun, sehingga keumuman lafadz ayat tetap berlaku sepanjang masa.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 32: Yang Lebih Penting dari Pemimpin Adalah Kebijakan yang Berpihak…
Oleh karena itu, sepanjang di negeri ini antara umat Islam dan non-muslim dalam keadaan damai maka berinteraksi positif dengan mereka adalah hal yang diperbolehkan bahkan menjadi sahabat pun dianjurkan apabila dengan tujuan menjaga langgengnya perdamaian sebagaimana di Maluku.
Selanjutnya jika pada kondisi suatu daerah tertentu seperti di Bali, umat Islam menjadi minoritas dan tidak ada satupun wakil umat Islam yang bisa dipilih maka diperbolehkan untuk memilih non-muslim selama ia dikenal adil dan tidak memiliki catatan riwayat yang berupaya merendahkan atau menyengsarakan umat Islam. Wallahu a’lam.