Pada pembahasan yang lalu telah diulas definisi jihad dan beberapa makna jihad. Maka, artikel ini hendak mengulas ayat-ayat jihad dalam Al-Quran, klasifikasi dan kontekstualisasinya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Al-Quran term jihad dan derivasinya terdapat 36 ayat sebagaimana disampaikan Faidhullah al-Hasani dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Kalimati al-Qur’an al Musamma bi Fathi ar-Rahman.
Namun, pendapat lain mengatakan terdapat sebanyak 34 kali dalam Al-Quran seperti yang diwartakan Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqih Jihad. Lebih dari itu, sesungguhnya ayat jihad dalam Al-Quran tidak terlepas dari konteks Makkiyah dan Madaniyah. Muhammad Izzat Darwazah misalnya, dalam al-Tafsir wa al-Hadits, ia menjelaskan ayat-ayat jihad yang masuk klaster Makkiyah lebih cenderung menyingkap prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Selain itu, mengandung spirit yang kuat untuk menghadapi kaum Quraisy.
Baca juga: 4 Macam Bacaan Mad Badal dalam Ilmu Tajwid dan Contohnya
Berbeda dengan ayat-ayat jihad klaster Makkiyah, ayat-ayat jihad klaster Madaniyah lebih condong pada seruan untuk melakukan jihad fi sabilillah. Hampir senada dengan Izzat Darwazah, Muhammad Sa’id al-Asymawi, mantan ketua Pengadilan Tinggi Kairo yang juga penulis buku al-Islam al-Siyasy atau Islam and the Political Order, ia menyoroti ayat-ayat jihad dalam konteks sejarah.
Al-Asymawi berpendapat bahwa ayat-ayat jihad periode Makkah lebih mengaksentuasikan makna spiritual daripada makna fisik (eksoterik). Jihad periode ini lebih merekomendasikan untuk tetap menjaga iman, bersabar, dan menahan diri dari cercaan, cacian, hujatan dan hinaan kaum kafir Quraisy. Adapun ayat-ayat jihad periode Madinah, jihad dimaknai dengan membangun keseimbangan sosial baik dari aspek ekonomi, dakwah, pendidikan maupun politik.
Klasifikasi Ayat-Ayat Jihad
Ada beberapa ayat-ayat jihad yang dapat kita klasifikasikan dalam beberapa hal, sebagai berikut,
Jihad bermakna perang
Makna ini kita dapati salah satunya dalam Q.S. al-Tahrim [66]: 9,
يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنٰفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْۗ وَمَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ
Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S. al-Tahrim [66]: 9)
Ayat di atas acapkali diselewengkan oleh orang-orang yang phobia terhadap Islam. Sebab, jika dipahami secara letterlijk, ayat ini memang sedikit “SARA” karena orang kafir dan munafik “harus” diperangi. Namun tahukah anda bahwa sesungguhnya ayat ini tidak terlepas dari konteks sosial saat itu.
Baca juga: Bolehkah Membaca Al-Qur’an Sembari Berdiri Atau Berbaring?
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menuturkan bahwa ayat ini punya makna lain yaitu fungsi berdakwah. Artinya ayat ini mengisyaratkan untuk mendakwahkan Islam kepada orang kafir dengan lisan, perbuatan dan hati ataupun sesuai kemampuan yang dimiliki. Kemudian Quraish Shihab juga menyitir pendapat al-Thabathaba’i bahwa orang kafir boleh langsung diperangi, akan tetapi ada tahapan dakwah di sana. Tahapan dakwah saja tidak cukup, kata al-Thabathaba’i – mereka baru boleh diperangi apabila mengusik atau mengancam eksistensi kaum muslim.
Jihad Moral
Bentuk jihad kedua yaitu jihad moral sebagaimana dalam Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69,
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. al-‘Ankabut [29]: 69)
Yusuf al-Qaradhaiwi memaknai jihad dalam konteks ayat ini adalah jihad moral, yaitu jihad mermerangi hawa nafsu dan godaan setan. Sehingga jihad “perang” terhadap kaum kafir quraisy tidak termasuk dalam ayat ini.
Jihad Dakwah
Bentuk jihad ketiga adalah berdakwah atau mensyiarkan ajaran Islam. Sebagaimana terlukiskan dalam Q.S. al-Nahl [16]: 110,
ثُمَّ اِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِيْنَ هَاجَرُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا فُتِنُوْا ثُمَّ جَاهَدُوْا وَصَبَرُوْاۚ اِنَّ رَبَّكَ مِنْۢ بَعْدِهَا لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ
Kemudian Tuhanmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan bersabar, sungguh, Tuhanmu setelah itu benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Q.S. al-Nahl [16]: 110)
Masih tentang pendapat al-Qaradhawi, ayat ini lebih menganjurkan jihad dengan dakwah dan tabligh, serta jihad prihatin terhadap penderitaan dan kesulitan. Selain itu, jihad di sini dimaknai dengan jihad dengan kesabaran. Jika merujuk pada klasifikasi kesabarannya al-Ghazali, maka terbagi dalam tiga hal, yakni sabar dalam ketaatan, sabar dalam kemaksiatan (maksudnya, dengan menahan diri untuk menjauhi kemaksiatan) dan sabar dalam musibah (bersabar atas kehendak Allah atas ujian dan cobaan yang diberikan-Nya).
Baca juga: Tafsir Surat Yasin ayat 63-65: Ketika Seluruh Tubuh Bersaksi di hadapan Allah Swt
Jihad Memperbaiki Diri
Bentuk jihad keempat adalah jihad dengan memperbaiki diri. Sebagaimana dalam Q.S. al-Anfal [8]: 74,
وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَهَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالَّذِيْنَ اٰوَوْا وَّنَصَرُوْٓا اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّاۗ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ
Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang Muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia. (Q.S. al-Anfal [8]: 74)
Ayat di atas juga mengisyaratkan jihad untuk memperbaiki diri. Setelah memperbaiki diri, baru berjihad sosial dengan memberi rasa aman dan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Penafsiran ini juga diamini oleh Dr. Nur Rofiah, Bil.Uzm, pakar gender Islam dan dosen Pascasarjana IIQ Jakarta bahwa kata hijrah pun jihad dalam konteks ini adalah berpindah dari keadaan yang tadinya buruk beralih kepada yang baik, dari yang sudah baik menuju keadaan yang lebih atau jauh lebih baik.
Adapun klasterisasi jihad lebih rinci pembaca dapat mendalami dalam Zad al-Ma’ad karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah. DI sana ia menjelaskan kurang lebih 13 macam tingkatan jihad (maratib al-jihad). Di antaranya yang dapat saya paparkan yaitu jihad al-nafs (jihad memperbaiki diri), jihad al-syaithan (jihad melawan syaithan), jihad al-kuffar wa al-munafiqin (jihad melawan orang kafir dan munafik), dan jihad al-babi al-zulmi wa al-bida’ wa al-munkarat (jihad melawan orang zalim, ahli bid’ah dan pelaku kemungkaran).
Kesimpulan
Berpijak pada uraian di atas, setidaknya dapat diklasifikasikan dalam tiga konteks. Pertama, jihad dalam konteks pribadi, yaitu berusaha membersihkan pikiran dan hati dari segala kotoran dan hegemoni pengaruh jahat sehingga memunculkan rasa senang, ikhlas dan ridha dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Kedua, jihad dalam konteks kolektif, yakni berusaha agar ajaran agama Islam mampu didakwahkan dan disyiarkan dalam sosial-kemasyarakatan agar manusia semakin bahagia hidupnya, tidak hanya di dunia melainkan di akhirat.
Baca juga: Mengenal Nama-nama Lain Surah Al-Fatihah dan Penjelasan Hadisnya
Ketiga, jihad dalam konteks kebangsaan, yaitu berusaha menjaga dan merawat negara Indonesia serta mencegah adanya tindakan separaratisme maupun ekstrimisme yang berusaha menggerogoti keutuhan rumah kita bersama. Jihad ini juga termasuk bagian dari perintah agama.
Dari tiga konteks tersebut, maka arena jihad sangatlah luas dan mencakup hajat hidup kaum muslimin khususnya dan manusia pada umumnya. Karena itu, sungguh sangat tidak dibenarkan apabila jihad dilakukan dengan cara-cara yang bertolakbelakang dengan ajaran Islam, misalnya dengan provokasi, politisasi ayat, penaburan benih-benih ekstrimis, dan semacamnya. Semoga kita semua terhindari dari semua itu dan mampu berjihad sesuai ajaran Islam dan kapasitas yang kita miliki. Wallahu A’lam.