Kita mungkin pernah mendengar frasa Jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolongmu. Artikel ini akan mengulas tentang penafsiran dan makna frasa tersebut. Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolongmu dan mengukuhkan pendirianmu.” (Q.S. Muhammad: 7)
Dalam ayat lain disebutkan,
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ …
“… dan Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa.” (QS. Al Hajj : 40)
Allah memang Mahakuasa atas segala sesuatu. Dia mampu melakukan apa pun yang dikehendaki-Nya. Dia tidak butuh pertolongan siapa pun. Lantas, apa makna ‘menolong’ Allah—sebagai syarat agar Allah menolong kita— dalam ayat tersebut?
Baca Juga: Ngaji Gus Baha: Tafsir Kesempurnaan Agama dalam Surah Al-Maidah Ayat 3
Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, sebelum menjelaskan tafsir dari kalimat ‘menolong’ Allah, mengajukan sebuah pertanyaan, ”Bagaimana cara orang-orang beriman menolong Allah?” Ia menjawab, ”Sesungguhnya mereka memurnikan Allah dalam hati mereka dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, baik syirik yang nyata maupun yang tersembunyi, serta tidak menyisakan seseorang atau sesuatu pun bersama-Nya didalam dirinya. Dia menjadikan Allah lebih dicintai dari apapun yang dia cintai serta meneguhkan hukum-Nya dalam keinginan, aktivitas, diam, saat sembunyi-sembunyi, terang-terangan maupun saat malunya, maka Allah akan menolongnya dalam segala urusannya.”
Kemudian tentang tafsir kalimat ‘Dia akan menolongmu dan meneguhkan pendirianmu’, Sayyid Qutb menegaskan, banyak jiwa mampu tetap teguh terhadap suatu ujian dan cobaan namun sedikit yang tetap teguh ketika diberi kebahagiaan dan kenikmatan hidup. Kesalehan dan keteguhan hati di atas kesuksesan hidup merupakan derajat yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari kesuksesan itu sendiri.
Orang-orang yang ‘menolong’ (agama) Allah, dengan tetap istiqamah berjalan di atas jalan-Nya, tidak menyekutukan-Nya, menaati segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya akan dikokohkan pendiriannya serta dimantapkan hatinya. Mereka tidak akan berubah sedikit pun sikap, perilaku, serta ketaatannya kepada Allah, meski harus berjuang sekuat tenaga menghadapi serangkaian persoalan hidup yang menderanya.
Penyakit yang tak kunjung sembuh, jeratan kemiskinan yang terus-menerus melilit mereka hari demi hari, bisnis yang gagal, bahkan kehilangan orang yang dicintai karena kecelakaan atau musibah lainnya tidak menghalangi mereka untuk terus taat dan tawakkal kepada Allah.
Di saat lain, ketika kesuksesan telah mereka raih, ketika segala kesenangan hidup mewarnai hari-hari mereka, ketika semua harapan serta cita-cita mereka tercapai, mereka semakin asyik ber-taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah Swt. Mereka ingin menununjukkan rasa syukurnya kepada Sang Pemberi rizki. Mereka ingin disebut sebagai ‘abdan syakura, hamba yang pandai bersyukur atas segala kelimpahan nikmat serta anugerah yang telah diberikan Allah kepada mereka.
Inilah tipikal orang-orang yang dimantapkan hatinya serta diteguhkan pendiriannya. Rasa sakit, lapar, kekurangan harta benda, bahkan kehilangan orang yang dicintai tidak menyebabkan mereka putus asa, bahkan semakin meningkatkan ibadah serta ketakwaannya kepada Allah. Pun ketika hari-hari mereka diwarnai kesenangan serta kebahagiaan hidup. Alih-alih membuai dan melenakan mereka, justru semakin mendekatkan mereka kepada Sang Pemberi kenikmatan dan kesenangan hidup, yakni Allah Swt.
Mereka yang dengan keteguhan hati, kesabaran jiwa, disertai ketulusan niat dan keikhlasan dalam ‘menolong’ Allah, memperjuangkan tegaknya agama Allah, yakni dinul Islam, akan selalu ditolong oleh-Nya, serta ditunjukkan jalan menuju jalan-Nya, yakni jalan kebenaran, kebahagiaan dan kesuksesan, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. “Dan orang-orang yang berjuang untuk (menegakkan agama) Kami, pasti Kami akan menunjukkan mereka kepada jalan-jalan Kami (yang benar). “ (Q.S. Al-Ankabut: 69). Wallahu A’lam.