Pada artikel sebelumnya, “Background Sosial-Budaya Penulisan Tafsir di Nusantara Menurut Islah Gusmian”, telah dijelaskan mengenai seluk-beluk sosial-kebudayaan yang mengitari hadirnya tafsir Al-Qur’an di Nusantara. Kemudian pada artikel ini akan dibahas secara singkat-padat tentang bahasa dan aksara yang digunakan dalam tafsir Al-Qur’an tersebut.
Kehadiran tafsir Al-Qur’an di Nusantara tak bisa dilepaskan dari sejarah kedatangan Islam di bumi Nusantara. Sebab, ini merupakan awal masuknya Al-Qur’an yang dikemudian hari ditafsirkan atau diterjemahkan oleh ulama-ulama lokal. Kehadiran tafsir Al-Qur’an di Nusantara juga diprediksi mengalami dinamika kompleks sesuai situasi dan perkembangan zaman.
Penulis telah menyebutkan dalam artikel “Inilah Lima Kitab Tajwid Karangan Ulama Nusantara” bahwa pembelajaran Al-Qur’an di Nusantara adalah pintu awal munculnya karya-karya berkenaan Al-Qur’an, mulai dari ilmu tajwid hingga tafsir Al-Qur’an. Karya-karya ini – pada dasarnya – merupakan upaya ulama Nusantara untuk membumikan Al-Qur’an agar dikenal masyarakat.
Ada satu fakta yang menarik untuk ditelaah berkenaan kehadiran tafsir Al-Qur’an di Nusantara, yakni bahasa dan aksara yang digunakan dalam tafsir Al-Qur’an tersebut biasanya mengikuti tren yang berkembang atau berdasarkan bahasa-bahasa di mana ia ditulis dan disebarkan. Ini menunjukkan ulama Nusantara tidak hanya mentransmisikan ilmu, tetapi juga mentransformasikannya.
Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Nusantara
Para sejarawan berbeda pendapat mengenai kapan Islam masuk ke Nusantara; ada yang menyatakan Islam sudah masuk pada abad ke-7 M dan ada yang menyatakan Islam baru masuk pada abad ke-13 M. Namun terlepas dari perdebatan tersebut, mereka sepakat bahwa Islam pertama kali masuk ke Nusantara melalui pesisir pulau Sumatera, tepatnya Aceh (Sejarah Peradaban Islam).
Aceh – tempat awal masuknya Islam – bisa disebut sebagai pusat peradaban Islam pertama di Nusantara. Di sinilah muncul kerajaan Islam tertua dan kesultanan Islam pertama yang ada di Nusantara, yakni Kerajaan Perlak. Kerajaan ini diyakini berdiri sejak tahun 840 M hingga 1292 M dan raja pertamanya bernama Sultan Alaudin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah.
Kerajaan Perlak nantinya akan digantikan oleh Kerajaan Samudera Pasai (1267-1621), sebuah kerajaan Islam di Lhokseumawe yang memiliki peran penting penyebaran Islam ke tanah Jawa-Madura. Pada saat bersamaan, di daerah timur Nusantara juga berdiri Kerajaan Ternate (1257), kerajaan Islam pertama di wilayah timur Indonesia sebelum kerajaan Goa (1300-1945).
Pada masa awal perkembangan Islam di Nusantara ini, yakni Kerajaan Perlak dan Samudera Pasai, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu. Bahasa ini sebenarnya telah digunakan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya hanya saja aksara yang digunakan pada saat itu adalah aksara Pallawa, sedangkan pada masa kerajaan Islam aksara yang digunakan adalah aksara Arab (Asia Tenggara tradisional: politik dan kebudayaan).
Bahasa melayu pada waktu itu menjadi bahasa penghubung bagi masyarakat Nusantara, khususnya di semenanjung Malaya. Maka tak heran, banyak karya ulama Nusantara yang menggunakan bahasa melayu dengan aksara Arab. Namun perlu dicatat, aksara Arab yang dimaksud di sini tidak sepenuhnya sama dengan aksara Arab timur tengah, karena ada beberapa huruf tambahan dalam aksara Arab-melayu sepeti huruf ng, ny dan cn (The History of Sumatra).
Dalam konteks hegemoni bahasa melayu dan aksara Arab inilah lahir banyak karya ulama Nusantara terkait pembelajaran agama Islam, termasuk tentang pembelajaran Al-Qur’an dan tafsir. Namun, naskah-naskah ini sebagian besar tidak bisa dinikmati karena musnah, hilang, atau telah dijual ke mancanegara. Akibatnya, hanya segelintir naskah yang masih berbentuk hingga saat ini.
Salah satu kitab tafsir berbahasa melayu dan aksara Arab (Arab-Melayu) yang masih bisa dinikmati hingga sekarang adalah Tarjuman Al- Mustafid karya Abd Rauf Al-Sinkili. Tidak ada yang tahu kapan pastinya tafsir ini ditulis, namun menurut Peter Riddel dalam tulisannya “The Sources of Abd al-Ra’uf’s Tarjuman al-Mustafid”, itu ditulis pada akhir abad ke-17 di mana bahasa Arab-Melayu masih menjadi primadona.
Kemudian, ketika kerajaan Islam mulai tersebar dan tersentral d tanah Jawa – sejak era Kerajaan Demak – bahasa dan Aksara Tafsir di Nusantara mengalami perkembangan signifikan. Pada era mulai muncul karya-karya tafsir berbahasa lokal seperti Jawa, Sunda, hingga Madura. Ini menunjukkan bahwa adanya upaya pribumisasi tafsir Al-Qur’an oleh ulama Nusantara.
Menurut Islah Gusmian dalam artikelnya “Tafsir Al-Qur’an di Indonesia: Sejarah dan Dinamika”, ada beberapa bahasa dan aksara yang terdapat pada tafsir-tafsir di Jawa, di antaranya: Pertama, tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa dan beraksara Cacarakan. Misalnya, Serat Patekah, sebuah terjemah tafsiriyah, Tafsir Wal Ngasri karya St. Cahayati, Tafsir Al-Qur’an Jawen Karya Bagus Ngarpah, dan Tafsir Al-Qur’an Saha Pethikan.
Kedua, tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa dan beraksara Arab atau lebih dikenal dengan istilah Pegon. Bisa dikatakan bahwa Arab-Pegon sebenarnya merupakan perkembangan dari Arab-Melayu yang telah disesuaikan dengan budaya Jawa. Arab-Melayu yang mulanya berbahasa melayu bertransformasi menjadi bahasa Jawa dengan Aksara Arab-Pegon. Aksara ini masih populer hingga sekarang terutama di kalangan pesantren tradisional.
Contoh dari tafsir Al-Qur’an menggunakan Arab-Pegon adalah Faiḍ ar-Raḥmān fī Tarjamāh Kalām Mālik al-Dayyān karya Syekh Muhammad Salih bin Umar as-Samarani atau dikenal sebagai Kiai Saleh Darat (1820-1903), Tafsir Surah Yasin (1954) dan al-Ibrīz li Ma’rifat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīz (1960) karya KH. Bisri Mustafa, Iklīl fī Ma’ānī al-Tanzīl (1980-an) dan Tājul Muslimīn karya K.H. Misbah Zainul Mustofa, serta Tafsir Al-Balagh karya Imam Ghazali.
Ketiga, tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa dan beraksara Latin. Tafsir hadir ini setelah aksara latin diperkenalkan oleh Belanda kepada masyarakat Nusantara. Contohnya adalah Tafsir Qur’an Hidaajatur-Rahman karya Moenawar Chalil (1908-1961), Tafsir Al-Qur’an Suci Basa Jawi (1965) karya Raden Muhammad Adnan, Al-Huda Tafsir Qur’an Basa Jawi karya Bakri Syahid, Sekar Sari Kidung Rahayu dan Sekar Macapat Terjemahanipun Juz Amma karya Ahmad Djawahir.
Keempat, tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda dan beraksara Pegon. Misalnya, Raudlatul ‘Irfān fī Ma’rifatil Qur’ān dan Tafrīju Qulūb alMu’min fī Tafsīr Kalimah Sūrat al-Yāsīn karya Kiai Ahmad Sanusi Sukabumi. Kelima, Tafsir Al-Qur’an berbahasa Sunda dan beraksara latin. Contohnya adalah Nurul Bajan: Tafsir Qur’an Basa Sunda (1960) yang ditulis oleh KH. Mhd. Romli dan H.N.S. Midjaja.
Kelima, tafsir Al-Qur’an berbahasa Arab. Hal ini dapat dilihat pada karya KH. Ahmad Yasin, yakni Tafsīr Bismillāhir raḥmānirraḥīm Muqaddimah Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Al-Fātiḥah, Tafsīr Sūrah al-Ikhlāṣ, Tafsīr al-Mu’awwidatain, Tafsīr Mā Aṣābak, Tafsīr Ᾱyat al-Kursī, dan Tafsīr Ḥasbunallāh. Contoh lainnya adalah Tafsir Al-Asrar karya Haji Ḥabib bin Arifuddin dan Jāmi’ al-Bayān min Khulāṣah Suwar al-Qur’ān al-‘Aḍīm karya KH. Muhammad bin Sulaiman.
Selain di daerah Jawa, Tafsir Al-Qur’an berbahasa lokal juga dapat ditemukan pada daerah-daerah lainnya seperti Madura dan Bugis. Di antara tafsir berbahasa dan beraksara Bugis adalah Tafsir Al-Qur’an al-Karim bi al-Lughah al-Bugisiyyah, Tafséré Akorang Bettuwang Bicara Ogi (1961) karya AG. H.M. Yunus Martan (w. 1986 M), serta Tafsir Munir, Tarjamah wa Tafsir al-Juz al-Awwal wa al-Tsani wa al-Tsalits (1980-an) karya AG. H. Daud Ismail (1908-2006 M).
Terakhir, dalam konteks modern-kontemporer, tafsir Al-Qur’an banyak ditulis dalam bahasa Indonesia dengan aksara Latin. Misalnya, Tafsir Al-Furqan karya A.Hasan, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Mahmud Yunus, Tafsir Al-Azhar karya Hamka, Tafsir Al-Munir dan Tafsir Al-bayan karya Hasbi Ash-Shiddiqie, Tafsir Rahmat karya Oemar Bakry, serta Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Wallahu a’lam.