BerandaKhazanah Al-QuranBatasan Kajian Living Qur’an: Renungan Buku The Walking Qur’an

Batasan Kajian Living Qur’an: Renungan Buku The Walking Qur’an

Sampai mana kajian Living Qur’an mencapai batasnya? Pertanyaan itu muncul dalam salah satu diskusi ilmiah. Dalam satu momen diskusi itu, Lukman, salah satu peserta diskusi yang juga merupakan Dosen Tafsir UIN Sunan Kalijaga, berujar bahwa ragam kajian tafsir pada akhirnya akan mencapai batasnya bila para pembaca rajin mengembangkan kajian tersebut.

Pendapat itu didasarkan atas argumen bahwa tulisan Jajang ini dari segi metodologi penelitian stuck pada kajian. Tak mengherankan bila tulisan ini, menurut hemat penulis, tidak mengalami perkembangan sejak pertamakali kajian model serupa diperkenalkan Gusmian 24 tahun lalu (baca: Khazanah Tafsir Indonesia).

Diskusi di atas tampaknya tidak jauh berbeda bila kita membicarakan salah satu genre kajian studi Alquran yakni Living Qur’an. Sejauh ini, penelitian ini banyak menggunakan pendekatan etnografi. Untuk mengukurnya, mari simak tulisan Rudloph T. Ware di bukunya yang berjudul The Walking Qur’an: Islamic Education, Embodied Knowledge, and History in West Africa.

Baca Juga: William Graham Memahami Fenomena ‘Living Qur’an’

Sesuai dengan judulnya, buku ini menyoroti pendidikan Alquran tradisional di Afrika Barat. Asumsi dasar tulisan ini adalah bahwa perkembangan Islam di daerah ini tidak terlepas dari eksistensi lembaga pendidikan tradisional (madrasah, penulis) ini. Ia tidak hanya mengajarkan murid membaca Alquran, melainkan juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ware menggunakan pendekatan multidisipliner dalam penelitiannya. Etnografi dan sejarah menjadi dua pilar besar sudut pandang penelitian ini diambil. Sejarah digunakan untuk memotret perkembangan Islam dan madrasah sejak abad 10 sampai pasca kolonial (baca: Daftar Isi).

Sekalipun Ware berujar bahwa ia bukanlah seorang etnograf (hal. 12), metode etnografi tetap digunakan dalam tulisannya di bab 1 untuk melihat bagaimana institusi (baca: madrasah) di Senegambia melakukan praktik pendidikan Alquran. Selain itu, hasil dari bahasan itu juga untuk menjelaskan makna filosofi pengajaran Alquran yang mana ia bukan hanya dibaca, melainkan dipraktikkan, internalisasi, dan ditransmisikan dalam konteks sosial-budaya setempat.

Pada bab selanjutnya (2 sampai 5) pembahasan lebih berfokus pada aspek kesejarahan perkembangan islam dan pendidikan Alquran. Ada banyak hal yang terjadi di Afrika Barat selama kurun waktu abad 10 sampai pasca kolonial, antara lain:

Bab 2 menjelaskan Aktor utama guru-guru madrasah selama kurun waktu tahun 1000-1770 dalam islamisasi di daerah itu. Pada bab ini juga mulai ditampilkan masa perbudakan Barat kepada warga Afrika Barat akibat dibukanya jalur pelayaran Atlantik (hal. 36). Bab 3 lebih spesifik menjelaskan perbudakan dan refolusi pada 1770-1890. Pada prinsipnya, sebagian dari budak adalah para ulama dan penghafal Alquran yang mana mereka dianggap sebagai Alquran yang berjalan, sehingga memicu gerakan perlawanan.

Baca Juga: Mengenal Kajian Resepsi-Living Qur’an Ahmad Rafiq

Bab 4 membahas tentang proses penghapusan perbudakan yang berlangsung sejak 1890-1945. Pada masa ini mulai muncul kelompok sufi dan pendidikan tradisional. Perancis menjajah Senegal dalam kebijakan “Islam Noir” mendiversifikasi kelompok muslim sufi Afrika yang dianggap tidak berbahaya dengan muslim Arab yang dianggap lebih berbahaya (hal 37-38). Sementara bab 5 mengulas perkembangan pendidikan Islam di Senegal pasca Perang Dunia 2. Sekalipun ada dualitas sistem pendidikan Islam (modern dan tradisional), pendidikan tradisional tetap tidak tergantikan.

Sejauh Mana Kajian Living Qur’an Mencapai Batasnya?

Kembali kepada bahasan sebelumnya, tulisan Ware, meski ia tidak menyebut buku ini sebagai kajian Living, menempatkan Alquran sebagai objek kajian yang hidup di Afrika Barat. Dalam hal ini, kajian Alquran yang dimaksud bukanlah Alquran secara fisik, melainkan dalam sebagai objek yang hidup. Alquran dibaca, diajarkan, dan diwariskan sejak zaman Nabi Saw. sampai ke Afrika. Dalam dinamika sejarah ia tetap terpreservasi sekalipun mengalami badai yang terjal.

Pendekatan sejarah yang Ware gunakan berhasil memotret perkembangan Alquran sebagai teks yang dipelajari, dihafal, dan diamalkan oleh umat muslim sejak abad ke 4 Hijriyah sampai era kontemporer di Afrika Barat. Mulanya, ia dibawa oleh pendakwah melalui perantara lisan dan berhasil berkembang di sana. Pengajaran Alquran terus berkembang sampai muncul institusi pendidikan tradisional dan juga modern.

Mengutip pendapat Rafiq, Living Qur’an merupakan sebuah fenomena. Untuk itu ia dapat dibaca dalam bentuk apapun dan dengan kaca mata yang beragam. Tulisan Ware mencontohkan Alquran sebagai fenomena, sedangkan sejarah sebagai kacamata untuk membacanya.

Untuk itu, kajian Living masih memiliki potensi pengembangan yang sangat luas karena tiap daerah baik itu lokal maupun regional memiliki ragam fenomena Alquran yang berbeda. Hal itu dapat terjadi karena ada dua entitas yang saling berinteraksi, Alquran itu sendiri dan sosial-budaya lokal.

Baca Juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya

Sebaliknya, menurut hemat penulis, penjelasan fenomena itu justru menjadi batasan kajian Living, sedangkan kajian ini berhenti pada “memotret suatu kejadian yang memiliki unsur Alquran dan sosial budaya”.

Muhammad Wildan Syaiful Amri Wibowo
Muhammad Wildan Syaiful Amri Wibowo
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Ibadah haji

Haji Lebih dari Sekali: Saat Ibadah Sunah Berhadapan Kepekaan Sosial

0
Ibadah haji termasuk rukun Islam dan wajib dilakukan apabila seseorang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Sebagaimana perintah Allah Swt. dalam Q.S. Ali Imran (3):97: وَلِِلِه عَلَى...