BerandaUlumul QuranBeda Qiraat Al-Quran, Beda Pula Penetapan Hukumnya

Beda Qiraat Al-Quran, Beda Pula Penetapan Hukumnya

Setelah peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw. ke Madinah, Islam juga mulai melakukan ekspansi ke luar jazirah Arab. Maka tidak menutup kemungkinan Islam mulai terdengar dan banyak orang yang kamudian memutuskan untuk masuk Islam. Dari sinilah, mulai orang-orang baik suku lain–mereka yang tidak menggunakan dialek Quraisy–maupun golngan non-Arab datang dan belajar Al-Quran.

Sebagian dari mereka tidak bisa mengucapkan dialek Al-Quran yang menggunakan dialek Quraisy. Oleh karenanya, Nabi saw. kemudian meminta keringanan agar Al-Quran mudah dipelajari, inilah kemudian yang menyebabkan adanya riwayat bahwa Al-Quran diturunkan dengan tujuh hurf (dialek) (al-A’zami, 2003: 169).

Ibnu Abas menceritakan, bahwa Nabi s.a.w. telah bersabda, “Jibril membacakan Al-Quran kepadaku dengan satu dialek. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh dialek” (HR. al-Bukhari no. 3219) (al-Qattan, 2019: 224). Lantas apakah dengan adanya ragam dialek (qiraat) tersebut dapat berpengaruh pada penetapan hukum (istinbath hukum)?

Pengertian qiraat dan istinbath (penetapan hukum)

Secara etimologi, Qiraat berasal dari kata qara-a (masdar) yang memiliki arti bacaan. Sedangkan secara terma, ulama memberikan banyak definisi, seperti Imam az-Zarkasyi yang mengemukakan, “qiraat merupakan perbedaan lafal-lafal Al-Quran, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif, tasydid, dan lain-lain” (Hasanuddin AF, 1995: 112); Manna Khalil al-Qattan dalam kitabnya, menyebutkan bahwa, “qiraat adalah salah satu aliran pengucapan Quran yang dipilih oleh salah satu imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya” (al-Qattan, 2019: 245).

Sementara istinbath yang akar katanya an-nabht, memiliki arti air yang pertama kali muncul atau nampak pada saat seorang menggali sumur. Atau istinbath dapat dimaknai “upaya mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya” (Haidar Bagir, 1996: 25). Adapun istinbath menurut istilah adalah upaya yang dilakukan oleh pakar fiqih untuk mengeluarkan hukum dari sumbernya, baik berupa nash (Al-Quran dan Sunnah) maupun bukan nash, seperti qiyas, istihsan, mashlahah al-mursal, dan sebagainya (Hasanuddin AF, 1995: 190) demi menjawab berbagai persoalan yang terjadi.

Baca Juga: Qiraat Al-Quran (1): Sejarah dan Perkembangannya di Era Islam Awal

Pengaruh qiraat pada penetapan hukum

Perbedaan qiraat dalam Al-Quran yang berkaitan dengan subtansi kalimat, adakalanya mempengaruhi makna, yang akan berimplikasi pada hukum yang ditetapkan nanti. Namun, di sisi lain, ada pula perbedaan qiraat yang tidak mempengaruhi makna, yang artinya juga tidak akan berpengaruh pada hukum yang akan dikeluarkan nantinya. Berikut ini contoh perbedaan qiraat yang berpengaruh terhadap penetapan hukum.

Baca Juga: Petunjuk Al-Quran tentang Tiga Pondasi Dasar Penetapan Hukum dalam Islam

Ragam qiraat pada surah Al-Baqarah ayat 222 dan penetapan hukumnya

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ

Artinya, “Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah amat bersuci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepada kamu”.

Ayat di atas menguraikan larangan bagi suami untuk berhubungan dengan istrinya yang dalam keadaan haid. Redaksinya menggunakan “wa laa taqrabu” yang artinya “jangan dekati” tempat di mana haid itu keluar (Quraish Shihab, 2005: 478). Menurut Imam ar-Razi, sehubung dengan ayat ini, ulama telah bersepakat mengenai larangan bagi suami dalam mencampuri istrinya yang sedang masa haid. Sama halnya dengan kesepakatan mereka mengenai kebolehan melakukan istima’ (bercumbu). Dalam Tafsir al-Mishbah, M. Quraish menjelaskan, Nabi s.a.w. mengizinkan untuk bercumbu pada bagian atas, bukan bagian bawah (Quraish Shihab, 2005: 478).

Batas larangan untuk bercampur (berhubungan) antara suami dan istrinya adalah sampai mereka–para istri yang sedang pada masa menstruasi–berhenti darah haid-nya, yang demikian terlukis dalam kalimat (حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ). Terdapat dua cara baca yang dibolehkan dalam ayat ini, yakni (يطهرن) yath-hurna dan (يتطهّرن) yatathahharna. Para qura’ yang membaca (يطهرن) yathhurna dengan (يتطهّرن) yatathahharna adalah Imam Ashim riwayat Syu’bah, Imam Hamzah, dan Imam al-Kisa’i. Sedangkan Ibnu Katsir, Nafi’ Abu Amr, Ibnu Amir, dan imam Ashim rimayat Hafs, membacanya (يطهرن) yathhurna (Hasanuddin AF, 1995: 203).

Berdasarkan qiraat (يطهرن) yathhurna, sebagian ulama menafsirkan ayat (وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ) dengan, “janganlah kamu mendekati–yakni bercampur dengan– mereka–yakni istrimu–sampai mereka suci–yakni telah berhenti darah haid yang keluar dari mereka” (الطُهرُ) ath-thuhru.

Sedangkan qiraat (يتطهّرن) yatathahharna menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat (وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ) adalah sampai para istri itu bersuci selepas suci dari haid. Yakni “janganlah kamu mencampuri istri kamu sampai mereka bersuci darinya” (التَطَهُرُ).

Dalam memahami makna (التَطَهُرُ), para ulama berbeda pendapat, ada sebagian yang memahami bersuci di sana adalah mandi dengan air, sedangkan sebagian dari mereka mengartikan bersuci adalah berwudlu. Atau sebagian lain menyatakan, maksud dari bersuci adalah membersihkan farj (kemaluan) dan kemudian bersuci dengan berwudlu. Adapun yang lain memahaminya hanya cukup membersihkan farj (Hasanuddin, 1995: 203).

Sehubung dengan ini, Imam Malik, Imam Syafi’I,  al-Awza’i, dan al-Sawri berpendapat, bahwa seorang suami haram menggauli istrinya yang sedang dalam keadaan haid, sampai istrinya berhenti dari haid, kemudian bersuci dengan cara mandi sebab darah haid-nya.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Apa yang Harus Dijauhi dari Wanita saat Haid?

Imam Syafi’I mengemukakan pendapat bahwa,

  1. Qiraat mutawatirah adalah dapat dijadikah hujjah scara ijma’. Oleh karenanya, dua versi qiraat mutawatirah yakni (يطهرن) yathhurna dan (يتطهّرن) yatathahharna dapat digabungkan dari segi kandungannya, maka kita wajib menggabungkannya. Yakni (يطهرن) yathhurna, sampai berhenti darah yang keluar, dan kemudian (يتطهّرن) yatathahharna, yakni bersuci dengan cara mandi.
  2. Firman Allah (فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ) menunjukkan, bahwa seorang suami boleh menggauli istrinya apabila telah memenuhi syarat (التَطَهُرُ)yakni bersuci, dengan cara mandi.

Al-Qasimi dalam hal ini menyatakan, bahwa qiraat yath-thaharna menunjukkan secara jelas keharamn seorang suami menggauli istrinya yang sedang haid, sampai istrinya mandi karena haid-nya . Sementara qiraat yathhurn meski menunjukkan makna bahwa batasannya hanya sampai “berhentinya darah haid” namun, jika dikaitkan dengan ayat selanjutnya (فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ) maka maknanya “sampai mereka bersuci dengan cara mandi.” M. Quraish Shihab, dalam tafsirnya menyatakan, bahwa qiraat yatathahharna lebih baik dan memang lebih suci (Shihab, 2005: 479).

Sedangkan, Imam Abu Hanifah dalam memandang ayat (وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ) menyatakan, bahwa larangan bercampur antara suami dengan istrinya (yakni dalam hal menggauli istrinya) hanya sampai istrinya telah suci dari haid, yakni berhentinya darah haid.

Dari uraian di atas, dapat kita perhatikan, bahwa perbedaan qiraat dalam hal ini dapat berpengaruh baik terhadap cara istinbath  maupun pada hukum yang dikeluarkan. Sebagaimana dapat kita cermati perbedaan cara serta hasil istinbath dari Imam Syafi’i dan Imam Hanafi. Menyikapi persoalan ini, Hasanuddin AF berpendapat bahwa batas haram seorang suami mendekati istrinya yang haid adalah sampai sang istri selesai masa haidnya dan telah suci badannya dari hadas besar, karena mengingat lafadz setelahnya. Wallahu a’lam

Muhammad Fathun Niam
Muhammad Fathun Niam
Mahasiswa Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU