BerandaKisah Al QuranBelajar Kedermawanan Dari Keluarga Nabi

Belajar Kedermawanan Dari Keluarga Nabi

Kedermawanan menjadi kebaikan yang langka di tengah kehidupan yang penuh persaingan kepentingan. Masihkah kita percaya kemurahan hati di hari ini? Adakah derma tanpa pamrih? Boleh jadi ada, namun hanya sejumlah hitungan jari, sementara yang tidak, mungkin banyak sekali. Sebagaimana kita belajar dari kasus baru-baru ini yang menyasar lembaga, yang menyebut dirinya “lembaga kemanusiaan”.

Kira-kira kepada siapa kita harus belajar kedermawanan di hari ini? Tentu, sebagai mukmin kita harus merujuk pada Alquran. Dan perihal kemanusiaan dan kedermawanan, Surah Alinsan ayat 7-10 menarik untuk diambil pelajaran.

Berikut ayat dan terjemahan ayat tersebut:

وفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا

“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.”

وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا

“Dan mereka memberikan makanan atas kesukaannya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.”

Berkaitan dengan ayat ini, al-Suyuthi menerangkan hadis  yang diriwayatkan dari Ibn Mardawaih dari Ibn Abbas, bahwa ayat وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِ diturunkan kepada Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah Saw. (al-Dūr al-Manthūr fī Tafsīr bi al-Ma’thūr, hal. 371) Sementara Fakhruddin al-Razi mengutip riwayat yang lebih panjang dari Ibn Abbas sebagai berikut:

Pada waktu kecil, Hasan dan Husain R.A. menderita sakit, Rasulullah akhirnya datang ke rumah Ali dan Fatimah untuk menjenguk dua cucunya yang sakit tersebut. Saat melihat mereka, Rasul bersabda kepada Ali R.A.: “wahai Abal Hasan nazarlah, supaya Allah menghilangkan penyakit mereka!”

Setelah mendengar itu, Sahabat Ali. langsung berkata: “Ya Allah jika kedua anakku ini sembuh maka aku akan berpuasa selama tiga hari.” Fatimah juga bernazar demikian. Bahkan, Hasan dan Husain –kendati usia mereka masih kecil- melakukan hal yang sama yaitu mengikuti orang tua mereka berpuasa selama tiga hari. Fidhah, pembantu rumah mulia itu kemungkinan besar bernazar hal yang sama.

Baca juga: Kisah Kecintaan Sahabat Nabi Muhammad Saw Terhadap Surah Al-Ikhlas

Tak lama kemudian, penyakit dua buah hati Rasul tersebut hilang, dan tiba saatnya bagi mereka untuk melaksanakan nazar. Pada hari pertama, Ali R.A. telah menyiapkan tepung jo (sejenis gandum; kualitasnya lebih rendah dari gandum) untuk buka puasa selama tiga hari tersebut. Tepung tersebut dibagi menjadi tiga bagian. Satu bagian darinya diperuntukkan untuk membuat roti sebagai santapan buka puasa pada hari pertama. Saat hendak berbuka, terdengar suara ketukan pintu, penghuni rumah menuju pintu untuk mengetahui siapa gerangan yang berada di balik pintu. Ternyata, di situ sudah berdiri seseorang yang berkata: “Salam atasmu wahai Ahlulbait Muhammad.”

Kemudian dia berkata, “aku adalah orang miskin dan butuh bantuan, maka bantulah diriku!”

Ali memberikan rotinya kepada si miskin. Fatimah juga melakukan hal yang sama. Bahkan semua anggota keluarga yang lain juga menyedekahkan jatah buka puasanya yang tak lain sepotong roti kepada orang miskin yang datang. Dan pada hari itu mereka berbuka dengan air putih saja.

Hari berikutnya, mereka juga berpuasa dan dengan sepertiga tepung tadi mereka siap berbuka. Akan tetapi, terdengar suara dari luar rumah yang berkata: “Salam atasmu wahai Ahlulbait Muhammad.”

Merekapun keluar dan bertanya: “siapakah anda dan apa keperluanmu?”

Dia menjawab, “saya salah seorang anak yatim di kota ini, aku lapar tolong berikan aku makanan untuk mengisi perutku yang kosong ini.”

 Kembali Ali memberikan jatah buka puasanya kepada yatim itu. Anggota keluarga yang lain juga mengikuti beliau dengan penuh keikhlasan. Dengan demikian, malam kedua sama seperti malam pertama, buka puasa mereka dengan air putih saja.

Pada hari ketiga, sesuai nazar, mereka menyempurnakan puasa mereka. Sebagaimana hari pertama dan kedua, kisah itu terulang lagi. Kali ini, yang datang ialah seorang tawanan. Dia meminta bantuan kepada keluarga suci ini. Lagi-lagi seluruh keluarga ini memberikan jatah buka puasa mereka kepadanya dan untuk ketiga kalinya mereka berbuka dengan air saja. Pada akhirnya, nazar itu terbayar juga.

Baca juga: Kisah Kedermawanan Dua Sahabat Nabi Saw yang Diabadikan Al-Qur’an

Pada hari berikutnya, Rasulullah Saw sangat sedih melihat Hasan dan Husain dalam keadaan lemas yang akibatnya badan mereka bergetar. Di sisi lain, mata Fatimah cekung.

Beliau bertanya kepada Ali: “wahai Ali, kenapa anak-anak begitu lemah seperti ini dan kenapa raut muka putriku memudar?”

Ali menuturkan kisah yang telah mereka alami. Pada saat itu, malaikat Jibril datang dengan membawa ayat-ayat surah Alinsan ini. (Tafsīr Al-Kabīr, Jil. 15, hal. 747)

Quraish Shihab mencermati frasa ‘ala (atas) yang dirangkaikan dengan hubbihi (kesukaannya) dengan isyarat kemurahan hati serta kesediaan mereka untuk mendahulukan orang lain atas diri mereka sendiri. Bisa juga dimaknai dalam arti atas kecintaannya pada Allah, yakni atas keikhlasan yang penuh karena Allah. (Tafsir Al-Misbah, jilid 14, hal. 659) Di sini tampak kedermawanan keluarga Nabi melalui kebiasaan memberi tanpa pamrih, mendahulukan orang lain atas diri mereka, serta tidak pilih kasih dalam memberi.

Keikhlasan mereka disambung oleh ayat selanjutnya:

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

“Sesungguhnya, kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”

إِنَّا نَخَافُ مِنْ رَبِّنَا يَوْمًا عَبُوسًا قَمْطَرِيرًا

“Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.”

Quraish Shihab melanjutkan bahwa untuk menepis rasa risih dan malu orang-orang yang diberi, keluarga Nabi berkata bahwa pemberian ini hanyalah demi mengharap rida Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak pula ucapan dan tindakan yang menjadi simbol rasa syukur. Kami hanya takut akan siksa Tuhan kami di hari orang-orang bermuka kerut dan kesulitan.

Melalui ayat ini, kita dapat mengambil beragam hikmah kemanusiaan kisah keluarga Nabi. Mereka adalah panutan dalam kedermawanan, keikhlasan, serta mendahulukan orang lain. Bahkan, di saat memberi, yang mereka takutkan adalah kejadian kelak di hari akhir. Artinya, segala pemberiannya hanya untuk Allah dan untuk bekal hari kemudian.

Baca juga: Menampakkan Amal Sedekah Menurut Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 271

Kisah tersebut menjadi perenungan kita bersama untuk belajar menapaki sifat-sifat mulia mereka. Memberi tanpa pamrih, segalanya dikhususkan untuk meraih rida Allah, bukan kepentingan pribadi mereka. Semoga kisah ini menginspirasi kita untuk menadaburi Surah Alinsan yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan, khususnya kedermawanan. Wallahu a’lam[]

Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Ahmed Zaranggi Ar Ridho
Mahasiswa pascasarjana IAT UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bisa disapa di @azzaranggi atau twitter @ar_zaranggi
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...