BerandaTafsir TematikTafsir Tarbawi: Belajar Menjaga Amanah

Tafsir Tarbawi: Belajar Menjaga Amanah

Amanah merupakan salah satu sifat kenabian. Sungguh mulia tatkala manusia mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini, kita tengah mengalami krisis amanah yang cukup akut. Betapa banyak disuguhkan pemberitaan jual beli jabatan, korupsi yang menggurita, guru atau siswa yang bertindak asusila, dan masih banyak lainnya.

Karenanya dalam Islam kita diajarkan bersikap amanah dan menjaga amanah itu dengan sangat baik. Tujuannya tak lain adalah demi kemaslahatan manusia itu sendiri sebagaimana yang disiratkan dalam firman-Nya di bawah ini,

فَانْطَلَقَا ۗحَتّٰىٓ اِذَآ اَتَيَآ اَهْلَ قَرْيَةِ ِۨاسْتَطْعَمَآ اَهْلَهَا فَاَبَوْا اَنْ يُّضَيِّفُوْهُمَا فَوَجَدَا فِيْهَا جِدَارًا يُّرِيْدُ اَنْ يَّنْقَضَّ فَاَقَامَهٗ ۗقَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ اَجْرًا

Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya, tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, “Jika engkau mau, niscaya engkau dapat meminta imbalan untuk itu. (Q.S. al-Kahfi [18]: 77)

Tafsir Surat al-Kahfi Ayat 77

Ayat ini menjelaskan kisah Nabi Musa dan Khidir a.s tatkala menyusuri perjalanan hingga tibalah pada satu daerah. Ibnu Katsir menceritakan bahwa Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Ibnu Sirin bahwa daerah tersebut adalah al-Ailah. Dalam sebuah hadits disebutkan,

حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ لِئَامًا

hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri yang kikir.

Di mana penduduk negeri itu kikir-kikir dan pelit. Disebut kikir karena tidak mau menjamu mereka (Nabi Musa dan Khidir) sehingga beliau berdua mendapat sebuah rumah yang hampir roboh. Makna iradah atau kehendak yang disandarkan kepada jidar (dinding) dalam ayat ini merupakan ungkapan isti’arah (kata pinjaman), sebab sejatinya pengertian iradah hanya dinisbahkan kepada makhluk yang bernyawa yakni al-mailu (kecenderungan). Inqidhadh bermakna al-suquth (runtuh/roboh).

Lalu Nabi Khidir menegakkan (memperbaiki) rumah yang hampir roboh itu. Dalam sebuah hadits terdahulu telah disebutkan bahwa Khidir menegakkan dinding itu dengan kedua tangannya, yakni dengan mendorongnya sehingga tidak miring lagi. Hal ini merupakan sebuah kejadian yang menakjubkan. Saat itu juga Musa bertanya yang termaktub dalam ayat di atas, “Mengapa kau tak mengambil upah untuk itu?”. Dalam artian, sebab penduduk negeri itu tidak mau menjamu beliau berdua, maka selayaknya Nabi Khidir tidak mengerjakan hal itu secara cuma-cuma tanpa imbalan.

Perlu diketahui, menurut tradisi saat itu, tatkala seorang hartawan tidak mau berderma atau menjamu tamu, maka hal itu sangat dicela serta menunjukkan kerendahan akhlaknya. Dalam hal ini orang-orang Arab menyampaikan celaannya dengan perkataan yang sangat keras “Si fulan menolak tamu (mengusir) dari rumahnya.” Qatadah berkata, “seburuk-buruk negeri ia adalah yang penduduknya tidak suka menerima tamu dan tidak mau mengakui hak ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan kehabisan bekal).

Muhammad ‘Ali as-Shabuny dalam Shafwah at-Tafasir menyampaikan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Keduanya (Musa dan Khidir) mencari makan atau jamuan, adapun penduduk negeri Ailah tidak memberikan makanan kepada keduanya yang dalam keadaan lapar, tidak menerima keduanya sebagai tamu, mereka menolak atas penamuan dan penjamuan keduanya.” Sehingga keduanya mendapati dinding rumah yang miring (haithan mailan) yang hampir roboh, lalu keduanya menegakkannya. Baca juga: Al-Quran Menghapus Praktik Perdagangan Perempuan

Berbeda dengan Ibnu Katsir dan al-Shabuny, al-Razy menjelaskan dalam tafsirnya at-Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib, Aku melihat dalam kitab-kitab hikayat, bahwa penduduk daerah yang didatangi Musa dan Khidir ketika mendengar turunnya ayat ini mereka merasa malu. Lantas, mendatangi Rasul saw dengan membawa emas dan berkata, Wahai Rasulullah, kami beli dengan emas ini agar engkau mengubah huruf “ba” menjadi “ta” sehingga bacaannya menjadi,

فَأَتَوْا أَنْ يُضَيِّفُوْهُمَا

Maksudnya “Para penduduk daerah itu datang untuk menjamu mereka”. Artinya kami (penduduk itu) menjamu mereka. Orang-orang itu berkata, “tujuan kami agar kesan sifat bakhil, pelit dan hina itu terlenyapkan dari kami.”

Mendengar itu, maka Rasul saw enggan melakukannya dan bersabda, “Sungguh mengubah satu titik ini menetapkan kebohongan pada kalam Allah.” Dan hal itu menetapkan kehinaan dalam sifat ketuhanan. Karenanya kita mengetahui bahwa mengubah satu titik dari alQuran dapat membatalkan sifat ketuhanan Allah dan kehambaan makhluk.”

Belajar Menjaga Amanah

Penafsiran di atas secara gamblang menegaskan, bahwa menjaga Al-Quran meskipun hanya satu titik sangat penting. Sebab mengubah sedikit saja redaksi kata dan tulisannya, akan mengubah makna dan penafsirannya sebagaimana mengubah huruf “ba” menjadi “ta” yang di mana makna awalnya “penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka” berubah “para penduduk itu datang untuk menjamu mereka”, sungguh sangat bertolak belakang.

Karenanya kita mengetahui, bahwa mengubah satu titik dari al-Quran menetapkan batalnya sifat ketuhanan Allah dan sifat kehambaan makhluk. Dari sini dapat difahami bahwa menjaga amanah itu sangat penting, terlebih jika berkaitan dengan khazanah ilmu pengetahuan. Berkaitan dengan pentingnya menjaga amanah, dalam hadits riwayat Imam Bukhari dijelaskan,

إِذَا ضُيِعَتِ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ

Ketika amanah disia-siakan maka tunggulah kehancurannya

Tidak hanya seorang guru yang semestinya menjaga amanah, kita sebagai manusia biasa terlebih diamanahi jabatan sudah semestinya bersifat amanah dan dapat dipercaya, serta selalu menjaga sifat ini ajeg dan kontinyu. Wallahu A’lam.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...