BerandaTafsir TematikBenarkah Islam Melarang Kepemimpinan Perempuan? Mari Telisik Lagi Dalilnya

Benarkah Islam Melarang Kepemimpinan Perempuan? Mari Telisik Lagi Dalilnya

Islam datang membawa pesan moral kemanusiaan yang pada masa itu sedang mengalami krisis. Islam tidak hanya berusaha agar manusia lepas dari belenggu tirani kekuasaan yang tidak manusiawi, tetapi Islam juga hendak menyetarakan hak masing-masing kaum laki-laki dan perempuan yang ketika itu tidak berimbang.

Pada masa Rasulullah saw telah dibuktikan sejarah di mana perempuan tidak hanya dipandang sebagai seorang istri (pendamping atau bawahan laki-laki), tetapi perempuan juga dipandang sebagai manusia yang mempunyai kedudukan yang sama dalam menjalankan kewajiban di hadapan Allah Swt.

Hanya saja pada saat itu hak perempuan masih dibatasi pada hal-hal tertentu seperti dalam kepemimpinan di ruang publik yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Lalu bagaimana sebenarnya al-Qur’an dan hadis menjawab persoalan ini? Benarkah Islam melarang perempuan menjadi pemimpin?

Sebenarnya akar dari permasalahan ini adalah penafsiran Al-Qur’an surah An-Nisa’ (4): 34 yang berbunyi sebagai berikut;

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ…

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan…”

Pembahasan ayat kepemimpinan perempuan

Latar belakang turunnya An-Nisa’ (4): 34 ini bercerita tentang seorang perempuan yang datang kepada Nabi saw. Ia mengadukan suaminya telah menamparnya, lalu Nabi saw bersabda; “balaslah ia sebagai qishasnya.” Kemudian Allah menurunkan ayat ini. Perempuan itu pun kembali ke rumahnya tanpa melakukan qishas atau balasan setimpal kepada suaminya (Asbabun Nuzul, hal. 162-163).

Menurut Syaikh Jawad Mughniyah dalam Tafsir al-Kasyif (2/134) bahwa maksud dari ayat ini adalah bukan untuk menciptakan perbedaan yang menganggap perempuan itu lebih rendah dari laki-laki, tetapi keduanya adalah sama. Ayat ini menunjukkan suatu relasi suami istri dalam menjalankan peran rumah tangga yang tidak bisa hidup satu sama lain dan saling melengkapi.

Jadi, kepemimpinan dalam ayat ini tidak mencakup lingkup publik. Bercermin dari pandangan tersebut, ayat ini sebenarnya tidak bisa dijadikan sebagai larangan perempuan untuk menjadi pemimpin.  QS. At-Taubah [9]: 71 bisa menjadi penjelas dalam hal ini:

وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain.”

Kata auliya’ yang bermakna pemimpin dalam ayat ini tidak hanya ditujukan kepada kaum laki-laki saja, tapi juga ditujukan kepada kaum perempuan secara bersamaan dengan syarat mampu memenuhi kriteria sebagai seorang pemimpin (Kepemimpinan Perempuan Perspektif Hukum Islam, hal. 5).

Makna auliya’ menurut Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar (11/626) bermakna penolong, memiliki rasa solidaritas, dan kasih sayang. Sifat-sifat ini tentu dapat dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan, tidak dimonopoli oleh laki-laki saja.

Dalam ayat ini pun terdapat indikasi bahwa Al-Qur’an tidak melarang perempuan menjalankan berbagai macam profesi sesuai keahliannya, seperti menjadi seorang guru, pejabat, dokter, menteri, hakim, bahkan kepala negara. Tentu dalam tugasnya harus tetap mengikuti rambu-rambu agama, sebagaimana yang juga dituntut kepada pihak laki-laki.

Al-Qur’an di ayat lain (QS. Saba’ [34]: 15) juga telah mencontohkan kisah kesuksesan Ratu Balqis sebagai seorang perempuan yang sukses memimpin negeri Saba’.

Baca juga: Kisah Al-Quran: Ratu Balqis, Pemimpin Perempuan nan Demokratis dan Diplomatis

Pembahasan hadis kepemimpinan perempuan

Sedangkan hadis tentang kepemimpinan perempuan yang sering dirujuk antara lain hadis riwayat Abu Bakrah sebagai berikut;

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِى اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَيَّامَ الْجَمَلِ ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »

“Dari Abu Bakrah, ia berkata: ‘Allah memberikan manfaat kepadaku dengan sebuah kalimat yang kudengar langsung dari Rasulullah saw pada hari menjelang Perang Jamal, setelah aku hampir membenarkan mereka (Ashabul Jamal) dan berperang bersama mereka. Ketika sampai kabar kepada Rasulullah saw bahwa bangsa Persia mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, beliau bersabda ‘Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR. al-Bukhari, al-Tirmidzi, al-Nasa’I, dan al-Hakim).

Dilihat dari segi riwayah, hadis ini jelas keshahihannya, namun dari segi dirayah (pemahaman teks) perlu dikaji kembali, karena memahami hadis tidak hanya cukup secara tekstual tetapi juga harus didukung dengan pemahaman kontekstual. Secara tekstual, hadis ini dapat menunjukkan larangan perempuan penjadi pemimpin, akan tetapi secara kontekstual, hadis tersebut dapat dipahami sebaliknya dengan memperhatikan konteks asbabul wurud dan menggunakan pendekatan historis (Kepemimpinan Wanita dalam Perspektif Hadis, hal. 174).

Ternyata hadis tersebut diucapkan oleh Nabi saw saat mendengar laporan mengenai suksesi kepemimpinan di negeri Persia pada tahun 9 H. Menurut tradisi yang berlaku di Persia sebelum itu, yang diangkat sebagai kepala negara adalah seorang laki-laki. Namun pada saat itu yang diangkat adalah seorang perempuan yang masih kecil bernama Buwaran binti Syairawaihi binti Kisra bin Barwaiz. Dia diangkat menjadi ratu Persia karena saudara laki-lakinya terbunuh saat melakukan perebutan kekuasaa (Fath al-Bari, 8/558).

Maka kondisi kerajaan saat itu sangat tidak memungkinkan untuk menjalankan roda pemerintahan karena dipimpin oleh pemimpin yang masih belia dan belum mampu memimpin bangsanya. Dengan demikian, ketidaksuksesan hanya berlaku pada kasus tersebut.

Baca juga: Bolehkah Perempuan Menjadi Pemimpin Publik? Qiraah Maqashidiyah atas Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis

Penutup

Dari uraian di atas sesungguhnya dalil-dalil tersebut memberi peluang, baik laki-laki maupun perempuan untuk dapat bersaing mempertanggungjawabkan segala sesuatu yang diembannya. Ini sebagai upaya kritis bagaimana memahami dalil-dalil agama agar tidak dipandang sempit dan mampu dikorelasikan dengan perkembangan zaman.

Dahulu perempuan dianggap kurang intelektual, egois, emosional, lemah lembut, namun pada masa modern-kontemporer ini banyak perempuan yang cerdas, berprestasi, kreatif dan pemberani. Perlunya perempuan memimpin hal-hal tertentu yang tidak semua hal dikuasai laki-laki, sehingga perempuan yang memiliki keahlian dan kemampuan memimpin boleh menjadi pemimpin (organisasi, perusahaan bahkan kepala negara) dalam konteks masyarakat modern.

Larangan perempuan menjadi pemimpin memang banyak digaungkan para ulama klasik, karena melihat konteks kepemimpinan saat itu adalah sistem monarki klasik, di mana kepala negara harus mengendalikan semua urusan negaranya sendiri secara mutlak.

Berbeda dengan ulama kontemporer yang sebagian besar berpendapat bolehnya perempuan menjadi seorang pemimpin, karena konteks yang dipahami adalah sistem demokrasi modern di mana tugas kepemimpinan kepala negara dibantu oleh para menteri (tidak mutlak memutuskan perkara sendiri). Perempuan, sebagaimana laki-laki, bisa berada pada posisi tersebut asalkan mampu dan memenuhi kriteria sebagai pemimpin. Wallahu a’alam

Baca juga: Haul Gus Dur: Penafsiran Kontekstual Terhadap Surat Al-Nisa Ayat 34

M. Amirur Rahman
M. Amirur Rahman
Mahasiswa Ilmu Hadis Institut Ilmu Al-Qur’an An-Nur Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...