Jauh sebelum penurunan Alquran, pertanyaan teologis mengenai “Apakah Nabi Isa atau Yesus benar-benar disalib dan wafat di tiang salib atau tidak?” telah diperdebatkan sejak lama. Di satu sisi, kaum Yahudi meyakini bahwa mereka telah membunuh Nabi Isa dan memperoloknya dengan mengatakan “kami telah membunuh utusan Allah.” Sedangkan di sisi lain, kaum Nasrani mengimani bahwa Yesus telah wafat di tiang salib dan dikuburkan. Namun dia dibangkitkan kembali tiga hari setelahnya guna menyebarkan ajarannya lagi. (Sayyid Qutb, Tafsir fi Dhilal al-Quran hal-801).
Isu mengenai klaim kebenaran penyaliban Isa, lanjut Sayyid Qutb dalam tafsir Fi Dhilal al-Quran, terus berlanjut sampai kemunculan agama Islam. Namun klaim keduanya masih dibalut dengan keraguan-keraguan. Hingga akhirnya, Alquran turut memberi sumbangan tanggapan soal isu tersebut secara singkat dalam surah Annisa ayat 157:
وَقَوْلِهِمْ إِنَّا قَتَلْنَا ٱلْمَسِيحَ عِيسَى ٱبْنَ مَرْيَمَ رَسُولَ ٱللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَٰكِن شُبِّهَ لَهُمْ ۚ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ ٱخْتَلَفُوا فِيهِ لَفِى شَكٍّ مِّنْهُ ۚ مَا لَهُم بِهِۦ مِنْ عِلْمٍ إِلَّا ٱتِّبَاعَ ٱلظَّنِّ ۚ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينًا
“Dan karena ucapan mereka: “Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.”
Dalam tulisan kali ini, saya hendak menyuguhkan penafsiran sosok Abdullah Saeed, yang memiliki cara tafsir berbeda atas ayat ini. Beliau adalah salah satu mufasir beraliran kontekstualis. Satu aliran tafsir kontemporer yang menekankan pentingnya memperhatikan konteks sosio-historis dalam proses memahami dan menafsiri teks Alquran.
Baca juga: Kisah Masa Kecil Nabi Isa as dan Awal Mula Wahyu Turun Kepadanya
Menurut Saeed, suatu proses penafsiran harus dimulai dengan menangkap keseluruhan kondisi sosial, politik, kultural, dan intelektual yang ada saat ayat pertama kali diturunkan. Selanjutnya sang mufasir diharuskan mengidentifikasi tradisi penafsiran-penafsiran generasi sesudahnya (usai abad pertama Hijriah) atas ayat tersebut dan kemudian barulah dia mengaitkan penafsiran itu ke dalam konteks modern. (Al-Quran Abad 21, hal 159)
Kembali ke pembahasan tafsir pembunuhan dan penyaliban Nabi Isa. Sesuai dengan metode yang dia tawarkan, Abdullah Saeed mencoba untuk mengungkap konteks makro masyarakat pra modern. Pada masa itu, masyarakat pra modern mendukung gagasan yang bernuansa mukjizat dalam kasus penyelamatan Nabi Isa dari penyaliban dengan adanya penggantian oleh orang lain dan diangkatnya dia ke langit. Apalagi dengan pertimbangan bahwa Isa adalah salah satu Nabi dengan banyak mukjizat, rasanya tidak mungkin jika kehidupannya berakhir di tiang salib sebagaimana tertulis dalam banyak riwayat Injil.
Pandangan-pandangan tafsir pra modern
Selanjutnya, oleh Abdullah Saeed kita diajak untuk menelaah satu persatu penafsiran ulama klasik mengenai penyaliban Isa. Mulai dari al-Thabari, Jami’ al-Bayan (abad 3), Zamakhsyari (w.538 H/1144 M), al-Razi (w.605/1209M), hingga Syaukani (w.1250H/1834). Namun karena keterbatasan ruang tulis yang ada, mungkin hanya akan saya cuplikkan beberapa penafsiran yang saya rasa sudah mewakili.
al-Thabari dalam tafsir Jami’ al-Bayan (juz 9 hal 367-374) menyebutkan berbagai periwayatan cerita yang berkesimpulan bahwa bukanlah Nabi Isa sosok yang disalib. Dari berbagai versi cerita yang diriwayatkan ada dua periwayatan yang ia pilih sebagai cerita yang valid. Kedua versi tersebut sama-sama dari Wahb Ibnu Munabbih (w.110 H/728M), seorang tokoh Tabiin dari Yaman yang dikenal dalam bidang hadist karena banyak meriwayatkan kisah-kisah israiliyat.
Dalam versi pertama, diceritakan bahwa Ketika Isa dikepung oleh gerombolan orang Yahudi Bersama tujuh belas muridnya, Tuhan menyerupakan seluruh wajah muridnya dengan Isa. Ketika itu, orang Yahudi kebingungan sampai hendak membunuh mereka semua bila Isa tidak menampakkan dirinya. Nabi Isa pun berkata pada muridnya “siapa di antara kalian yang rela mengorbankan dirinya hari ini dengan imbalan surga?” Salah satu murid Isa pun keluar, karena wajahnya telah diserupakan dengan Isa, dia dibawa dan disalib. Sedangkan Nabi Isa diangkat oleh Allah ke langit.
Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 3-4: Bagaimana Cara Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah?
Sedangkan versi kedua, ceritanya lebih panjang, dan menurut Saeed dalam beberapa hal, versi ini pararel dengan kisah-kisah Injil (Al-Quran Abad 21, hal 221). Ceritanya, saat Nabi Isa diberitahu oleh Allah tentang ajalnya yang semakin dekat, dia menjadi cemas dan takut. Dia pun mengundang para muridnya di malam itu untuk makan malam.
Seusai makan, Isa melayani mereka, membersihkan tangan mereka, membasuh, dan mengusap tangannya dengan bajunya. Saat mereka menolak, dia berkata “barangsiapa menolak perlakuanku malam ini maka bukan termasuk pengikutku.” Kemudian selesai dengan semua urusan pelayanan, Nabi Isa meminta kepada mereka untuk mendoakannya agar Allah menunda kematiannya.
Kisah ini kemudian berlanjut bahwa tiba-tiba para muridnya tidak mampu melantunkan doa. Nabi Isa pun meratap “sang gembala akan diambil, dan domba-domba akan tercerai berai.” “demi Haq, salah satu dari kalian akan berkhianat padaku dengan menjual informasi tentangku sebelum ayam berkokok” -lanjut Isa. Dan sebagaimana masyhurnya cerita yang kita dengar terjadilah satu pengkhianatan dari salah satu murid Isa. Namun dengan intervensi mukjizat dari Tuhan, Nabi Isa selamat dengan diangkat ke langit.
Sementara al-Thabari memverifikasi kisah penyelamatan Isa melalui riwayat-riwayat cerita. al-Zamakhsyari (al-Kasyaf 1/587) juga melakukan hal yang sama. Dia membeberkan dua cerita, versi keduanya mirip dengan cerita kedua yang dibawakan al-Thabari. Sedangkan Riwayat pertamanya, dimulai dengan “sekelompok Yahudi” yang mengutuk Isa dan Maryam. Nabi Isa pun berdoa pada Allah agar melaknat orang-orang Yahudi itu, hingga mereka kemudian terkutuk menjadi kera dan babi.
Baca juga: Belajar Memperbaiki Kesalahan dari Kisah Nabi Adam
Merasa tidak terima, orang-orang Yahudi pun berniat membunuh Isa. Allah kemudian memberi wahyu kepadaNya bahwa dia akan diangkat ke langit dan diselamatkan dari gerombolan Yahudi. Namun sebelum diangkat Isa terlebih dahulu berkata pada para muridnya, “siapa yang rela diserupakan denganku hingga dia dibunuh dan disalib, maka baginya surga”. Selanjutnya kisah berakhir seperti versi pertama milik al-Thabari.
Menurut saya, yang dilakukan al-Zamakhsyari hanyalah suatu pengulangan riwayat dari al-Thabari. Namun uniknya, dia menambahkan satu pertanyaan yang berkaitan dengan sisi kebahasaan yang digunakan dalam ayat sesuai dengan keahliannya. “apa sebenarnya subjek dari kata syubbiha (diserupakan)?”
Jika subjeknya adalah Isa, maka pemahamannya akan keliru. Sebab Isa adalah orang yang diserupakan dengannya (musyabah bih) bukan orang yang diserupakan (musyabah). Sedangkan jika subjeknya adalah al-maqtul (orang yang dibunuh yang diserupakan dengan Isa) maka dia tidak pernah disebutkan sebelumnya dalam ayat. Lalu apa subjeknya? Menurutnya, subjek yang tepat adalah jar majrur (lahum) yang merujuk pada orang-orang Yahudi. Sehingga artinya menjadi “telah terjadi penyerupaan Isa bagi orang-orang Yahudi.”