BerandaTafsir Al QuranBenarkah Nabi Isa Disalib dan Wafat di Tiang Salib? (2)

Benarkah Nabi Isa Disalib dan Wafat di Tiang Salib? (2)

Pada sekuel tulisan sebelumnya, telah dibeberkan dua dari empat pandangan tafsir pra modern yang dengan tegas menolak penyaliban Nabi Isa. Selanjutnya, pada tulisan seri kedua ini,  dibahas dua tafsir dari era pra modern lainnya, yakni Ar-Razi dan As-Syaukani. Disusul dengan penafsiran era modern. Dan berakhir dengan pengambilan kesimpulan.

Pandangan-Pandangan Tafsir Pra Modern

Sebagaimana jamak diketahui dalam kalangan mufasir, Ar-Razi terkenal dengan penafsirannya yang rasionalis. Ia mencoba membuka penafsiran mengenai penyaliban Isa dalam surah Annisa ayat 157 dengan mengajukan dua pertanyaan (Mafatih al-Ghaib 11/260). Pertanyaan pertama berkaitan dengan konteks kebahasaan, “apa sebenarnya subjek dari kata syubbiha (diserupakan)?”, sama persis dengan yang diajukan oleh Zamakhsyari di tulisan sebelumnya.

Baca juga: Benarkah Nabi Isa Disalib dan Wafat di Tiang Salib? (1)

Sedangkan pertanyaan kedua -dan ini yang menurut saya menarik- adalah suatu rangkaian keraguan panjang yang menyangsikan kasus penyaliban Nabi Isa. Berikut pernyataannya:

“(jika mungkin dikatakan) bahwa Allah telah melakukan penyerupaan seseorang dengan yang lain, maka hal ini bisa membuka pintu safsathah (kesesatan cara berpikir). Ini karena jika kita bertemu dengan Zaid, bisa jadi dia bukanlah Zaid. Melainkan seseorang yang diberi penampakan mirip Zaid. Jika kejadiannya seperti itu, maka pernikahan, pentalakan, serta hak kepemilikan semuanya akan binasa.

Keadaan demikian juga akan merendahkan (standar epistimologi) tawatur (isnad yang diriwayatkan oleh banyak orang hingga mustahil adanya kebohongan). Karena sebuah riwayat tawatur hanya bisa dipastikan validitasnya setelah diketahui bahwa pembawa informasi saling bertemu secara fisik (mahsusat). Jadi, jika kita menerima pemikiran mengenai penyerupaan untuk hal-hal kasat mata, ia akan membatalkan tawatur. Dan pada akhirnya, bisa merendahkan semua hukum-hukum syariat (yang sumbernya juga melalui tawatur).”

Pernyataan Ar-Razi sebenarnya masih cukup panjang, namun sebagian kecil ini menurut saya sudah mewakilinya. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana dia mencoba menjawab pertanyaan itu. Ar-Razi, menawarkan jawaban-jawaban yang dia sandarkan kepada para teolog dialektis (al-mutakallimun).

Pertama, menurut kebanyakan mutakallimin, saat orang-orang Yahudi hendak membunuh Nabi Isa Allah mengangkatNya ke langit. Melihat hal demikian, para pemimpin mereka pun takut akan terjadinya fitnah (konflik) di kalangan masyarakat. Sehingga mereka insiatif mengambil orang lain untuk dibunuh dan disalib kemudian berbohong kepada orang-orang dengan menyebutnya sebagai Isa. Hal ini berhasil, karena masyarakat awam Yahudi mengenal Isa hanya lewat wajahnya, sebab Isa jarang bersosialisasi dengan mereka.

Cerita ini sama sekali berbeda dengan cerita yang dibawakan oleh Thabari dan Zamakhsyari. Dan kisah ini tampaknya mendukung Ar-Razi untuk menjawab pertanyaan yang dia ajukan sendiri, karena ‘tidak ada masalah’ terkait bagaimana mukjizat penyerupaan atas Isa terjadi. Inilah, yang menurut saya, menjadi ciri khas Ar-Razi dalam penafsiran.

Baca juga: Hermeneutika Filosofis-Dekonstruktif dalam Menalar Tafsir Gender

Kedua, tampaknya pandangan akan mukjizat penyerupaan fisik seseorang masih terlalu dominan di kalangan mutakallimin masa itu dengan banyak variasi kisahnya. Ar-Razi setidaknya menyebutkan empat cerita yang kurang lebih mirip dengan riwayat-riwayat yang disajikan Thabari dalam Jami’ Al-Bayan.

  1. Bahwa seorang Yahudi yang dikirimkan untuk membawa Isa keluar dari rumahnya telah diserupakan denganNya, sehingga dia dibunuh para koleganya.
  2. Bahwa seorang Yahudi yang diutus untuk memata-matai Isa saat naik gunung dan diangkat ke langit telah diserupakan dengan Isa, dan dibunuh kawanannya sendiri.
  3. Bahwa pada saat rumah Isa dikepung, dia meminta seorang muridnya untuk menggantikannya dengan imbalan surga.
  4. Bahwa seorang murid Isa berusaha mengkhianatiNya dengan menjual informasi keberadaan Isa dan kemudian dia dibuat serupa dengan Isa hingga akhirnya terbunuh.

Usai mengakhiri keempat versi ini, Razi tidak memilih salah satu untuk diunggulkan. Mungkin dia kurang berminat dengan kisah-kisah tersebut. Dia justru memungkasi cara pandang kedua dengan menyatakan “dan semua kemungkinan ini saling bertentangan dan bertolak belakang (muta’aridhah mutadafi’ah), dan Allah lebih mengetahui segala kebenaran.

Yang terakhir dari tafsir pra modern adalah Syaukani. Dia merupakan seorang ulama yang muncul beberapa saat sebelum Gerakan modernis. Dalam bukunya, “Fath al-Qadir, 1/615”, Syaukani dengan tegas menolak adanya penyaliban Isa dengan menyatakan bahwa kisah-kisah soal kematian Isa hanyalah penyelewengan-penyelewangan (tahrif) umat Nasrani.

Syaukani juga menambahkan sedikit keterangan soal syubbiha lahum, yang sebelumnya sudah disinggung. Bahwa penyerupaan telah terjadi dalam diri orang lain. Lebih jauh, dia juga mengutip riwayat yang dia sebut dengan istilah (qila), bahwa orang-orang Yahudi tidak mengenal wajah Isa sehingga mereka terperdaya saat membunuh seseorang.

Dengan ini usai sudah pembahasan kita mengenai perspektif penafsiran pra modern soal penyaliban Isa. Semua cenderung menolaknya dengan berbagai bukti periwayatan hadis, meski riwayatnya Cuma berhenti di tabi’in. Namun ada yang menarik dari dua penafsir belakang ini, Razi dan Syaukani. Mereka mencoba memaparkan fakta opini publik kaum Nasrani soal kebenaran kematian Isa.

Menurutnya, meski kaum Nasrani sama-sama meyakini bahwa Isa disalib namun mereka terpecah menjadi tiga bagian. Ya’qubiyyah, Malkaniyyah, dan Nestorian. Dua yang pertama menjadi mainstream pemahaman Nasrani bahwa pembunuhan serta penyaliban benar-benar dialami oleh Isa. Sedangkan Nestorian punya pandangan berbeda, bahwa memang kenyataannya Isa disalib, namun aspek manusiawinya (nasut) saja, tidak aspek ilahiahnya {lahut). Karena, ruh Isa telah diangkat ke alam Tuhan, tempat ruh menikmati segala kebahagiaan.

Pandangan-Pandangan Tafsir Modern

Abdullah Saeed (Al-Quran  Abad 21, 234) selanjutnya beralih ke pandangan-pandangan tafsir modern. Dia menyebut beberapa nama mufasir Alquran sepanjang zaman modern ini. Namun karena tampaknya mereka tetap melanjutkan tradisi penolakan atas penyaliban Isa maka saya hanya mengulas sekilas saja.

Abul A’la Maududi menolak penyaliban Isa yang sejalan dengan kisah-kisah Injil. Dia dengan lugas berkomentar bahwa surah Annisa ayat 157 jelas memberikan poin bahwa Nabi Isa diselamatkan dari penyaliban dan bahwa umat Yahudi dan Kristen salah dalam meyakini Isa mati di tiang salib. Kajian komparatif Alquran dan Bibel menunjukkan bahwa yang hadir dalam pengadilan adalah Isa sendiri. Namun hasil akhirnya, mereka gagal menyalib Isa karena diselamatkan oleh Allah melalui mukjizat penggantian.

Sementara itu, Sayid Qutb menolak penyaliban dengan mengutip cerita Injil Barnabas yang juga menceritakan bahwa bukan Isa yang disalib, melainkan muridnya yang berkhianat. Dia juga menolak untuk menggunakan keempat Injil sebagai patokan, karena menurutnya rentang waktunya terpaut cukup jauh dengan kematian Isa.

Beberapa mufasir kontemporer lain juga menolak penyaliban Isa dengan metode-metode tersendiri. Rasyid Rida, misalnya dalam Al-Manar, juga ikut menolak mengamini adanya penyaliban Isa dengan menjawab beberapa kesangsian dari umat Nasrani jika Isa tidak disalib.

Kesimpulan

Walhasil kita sampai pada kesimpulan bahwa sepanjang penafsiran yang dilakukan umat muslim seluruhnya sepakat menolak penyaliban Isa. Meski sumber-sumber dari kisah yang digunakan untuk menopang penolakan tersebut bisa dibilang cukup terlambat, karena periwayat utama kisah ini merupakan seorang generasi tabiin, yakni Wahb bin Munabbih. Namun hemat saya, riwayat-riwayat tersebut cukup untuk mengafirmasi firman Allah soal kejadian pengangkatan Isa ke langit dan gagal disalib oleh orang-orang Yahudi.

Ahmad Miftahul Janah
Ahmad Miftahul Janah
Mahasiswa Fakultas Syariah Al-Azhar, Mesir; alumni pondok pesantren Annur 2 Al-Murtadlo dan Al-Munawwir Krapyak. Penulis kini memiliki minat pada kajian Fiqih dan Ushul Fiqih.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...