Pergumulan Islam dan Jawa melalui pendekatan budaya telah menyisakan beragam resepsi terhadap Al-Quran termasuk dalam bentuk rajah. Ahmad Rafiq mengkategorikan rajah termasuk bagian daripada living quran. Secara historis penggunaan ayat-ayat tertentu dalam Islam sejatinya bukanlah hal baru. Rasulullah saw sendiri pernah membaca ayat-ayat tertentu guna bermacam hal hal, mulai pengobatan, perlindungan dan lain sebagainya.
Aisyah menjelaskan bahwa Rasulullah saw setiap malam tatkala hendak tidur, beliau membaca surat al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas lalu ditiupkan dengan kedua tangan dan kemudian disapukan ke seluruh tubuh dan kepala. Praktik ini terekam dalam At-Tibyan fi Adabi Hamalah Al-Quran karangan Imam An-Nawawi. Mengarifi hal ini, William Graham dalam Beyond the Written Word: Oral Aspects of Scripture in History of Religion menjelaskan bahwa kitab suci Al-Quran tidak sekadar teks yang dibaca, melainkan berkelindan dalam suatu kelompok tertentu yang mengkultuskannya.
Dari genealogi ini, beragam bentuk rajah dengan keutamaannya telah berurat akar nadi di masyarakat Indonesia. Karena itu, dalam konteks ini rajah memainkan peran penting bagi resepsi Al-Quran di Indonesia.
Pengertian Rajah
Rajah, azimat, wafaq, jimat, dan sejenisnya adalah terminologi populer di masyarakat Indonesia. Di Jawa sendiri entah tak terhitung berapa banyak masyarakat yang mempraktikkan hal-hal tersebut. Rajah, jika merujuk pada KBBI, didefinisikan sebagai suratan (gambar, tanda dan lain-lain) yang digunakan sebagai azimat (untuk bala’ (musibah), wabah (seperti halnya Covid-19 saat ini, atau pagebluk), penyakit, dan sebagainya.
Baca Juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya
Ali Nurdin sebagaimana dikutip oleh Senata Adi dan Nurul Himatil Ula dalam Performative Analysis Of Rajah Syekh Subakir In Tawing Village, Trenggalek Perspective Of Living Qur’an menjelaskan bahwa rajah merupakan tulisan terpisag huruf Arab yang dipadukan dengan serpihan ayat Al-Quran tertentu, adakalanya penggunaannya bersifat insidental maupun berkesinambungan.
Lebih lanjut, Nurul Himati Ula juga mengklasifikasikan kajian rajah dalam konteks Nusantara dalam tiga hal, yakni rajah dimaknai sebagai keyakinan atau kepercayaan (faith), rajah dimaknai sebagai estetis-magis dan rajah dimaknai sebagai aspek performatif atau praksis.
Ahmad Rafiq, pakar Living Quran asal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjelaskan dalam rentang waktu tertentu Al-Quran tidak hanya sekadar informatif, melainkan juga performatif atau dipraksiskan dalam kehidupan sehari-hari, misal: sebagai wirid, azimat, rajah, suluk, dan sebagainya).
Beragam Pendapat
Farid Esack dalam The Quran: A Short Introduction memberikan pandangannya bahwa fenomena rajah, dan sejenisnya muncul karena masyarakat sangking cintanya kepada Al-Quran sehingga menghilangkan nalar kritisnya (the uncritical lover). Pokoknya yang penting Al-Quran selalu hidup dalam kehidupan sehari-hari mereka, kurang lebih begitu.
Biasanya tipologi masyarakat ini menggunakan ayat-ayat tertentu baik dipraktikkan dalam bentuk rajah maupun wirid, azimat atau amalan tertentu digunakan sebagai pengobatan (syifa), semangat hidup, pelaris dagangan, tolak bala’, musibah, wabah, dan gangguan jahat lainnya.
Martin van Bruinessen bahkan menyebut Banten sebagai sentra pusat praktik magis (the centre of magical practices) yang diijazahkan langsung oleh kiai atau tetua masyarakat. Lebih dari itu, Didi Junaedi dalam Living Quran: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian Al-Quran menuturkan bahwa praktik semacam ini pada mulanya berawal dari fenomena Qur’an in Everyday Life, artinya teks, makna dan fungsi Al-Quran diresepsi, dipraktikkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Sederhananya, Al-Quran telah menghiasai kehidupan masyarakat Muslim.
Fungsi Rajah
Sebagaimana penjelasan di muka, rajah mempunyai fungsi baik secara teologis maupun sosio-kultural. Fungsi teologis misalnya, masyarakat meyakini rajah mampu melindungi mereka dari mara bahaya, bala’, musibah, wabah Covid-19. Selain itu, rajah juga difungsikan sebagai penyembuhan atau pengobatan, di samping juga penglaris daganan dan sebagainya.
Adapun fungsi sosio-kultural, rajah mampu menyatukan masyarakat. Di Tawing, Trenggalek misalnya, penggunaan rajah selalu disertakan dengan perayaan hari-hari besar baik hari besar lokal maupun nasional, mulai hajatan kecil hingga besar ritual rajah mesti digunakan. Meminjam istilah Emile Durkheim, rajah berperan sebagai kohesi sosial.
Aspek Performatif Rajah
Salah satu bentuk Rajah dengan penulisan ayat-ayat atau anotasi huruf-huruf Al-Quran tertentu dalam suatu benda, misalnya kertas, batu, kayu, dan lain-lain ternyata dapat ditelusuri aspek performatifnya berdasarkan Al-Quran.
Imam An-Nawawi dalam al-Tibyan fi Adabi Hamalah Al-Quran, persisnya pada bab al-Ayat wa al-Suwar al-Mustahabbah fi Auqatin Makhshushatin dijelaskan bahwa disunnahkan membaca ayat kursi, surat al-Ikhas, surat Mu’awwidzatain dan akhir surat al-Baqarah tatkala hendak tidur.
Kesunnahan ini berasal dari apa yang disabdakan Nabi Muhammad saw, “Barang siapa membaca dua ayat terakhir dari surat al-Baqarah, maka kedua ayat itu melindunginya”. Sebagian ulama menafsirkannya dengan mampu melindungi dari gangguan malam tersebut.
Baca Juga: Melihat Tradisi Khataman Al-Quran Sebagai Objek Penelitian
Tidak jauh berbeda, As-Suyuthi dalam al-Dur al-Mantsur, ia menukil sabda Nabi saw, “innaha a’dzamu ayatin fil qur’an kitabillah”, sesungguhnya ayat kursi merupakan ayat teragung dalam Al-Quran”. Dalam riwayat lain mengemukakan, “Bacalah ayat kursi sebab ia mampu menjaga dirimu, anak-anakmu, keluargamu, dan lingkungan sekitarmu. Jika dibaca pada pagi dan petang hari maka terhindar dari gangguan jin. Jika dibaca hendak tidur maka Allah swt akan menjaga sepanjang malammu dan setan tak akan mampu mengusikmu hingga pagi hari.
Dari penjelasan di atas, kiranya dapat kita tarik benang merahnya bahwa penggunaan beberapa bentuk rajah tidak menjadi masalah yang berarti apabila kita senantiasa menyandarkannya kepada Allah swt. Maksudnya, rajah, azimat, bahkan barang apapun tidak akan bernilai atau berpengaruh apa-apa, tanpa disandarkan kepada Allah swt. Tiada daya dan kekuatan melainkan Allah swt (la haula wala quwwata illa billah). Semoga kita semua mampu memurnikan niat hanya karena Allah swt. Aamiin. Wallahu A’lam.