BerandaTafsir Al QuranIbn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir

Ibn Jarir At-Thabari: Sang Bapak Tafsir

Para pengkaji al-Qur’an dan Tafsir wajib mengenal Ibn Jarir At-Thabari Sang Bapak Tafsir. Dijuluki sebagai bapak tafsir sebab ia memiliki sebuah karya tafsir fenomenal yang sampai saat ini masih menjadi rujukan yang wajib dipelajari oleh para pengkaji al-Qur’an dan Tafsir.

Penasaran bukan siapa sebenarnya Ibn Jarir At-Thabari dan apa karya fenomenal yang menyebabkannya dijuluki bapak Tafsir? Tulisan ini akan mengulas biografi serta karya fenomenalnya. Meskipun tidak komprehensif, namun tulisan ini penulis dedikasikan kepada para pengkaji al-Qur’an dan Tafsir untuk lebih mengenal Ibn Jarir.

Mengenal Ibn Jarir At-Thabari

Nama lengkapnya Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib At-Thabari. Ia juga dipanggil dengan sebutan (kunyah) Abu Ja’far. Perlu dicatat bahwa mengetahui kunyah Ibn Jarir sangat penting untuk tidak terkecoh dalam membaca tafsirnya. Ibn Jarir ialah seorang ulama yang berasal dari Amol, Thabaristan (sebelah selatan laut Kaspia) dan lahir di sana pada tahun 224 Hijriyah.

Abu Ja’far mulai mengembara mencari ilmu saat usinya baru menginjak 12 tahun. Ia melintasi berbagai daerah demi memenuhi rasa hausnya akan ilmu. Mulai dari Mesir, Syam serta Irak telah ia jelajahi. Pada akhirnya ia menetap di Baghdad hingga akhirnya wafat di tahun 310 Hijriyah.

Selama hidupnya, Ibn Jarir dikenal sebagai salah seorang cendekiawan yang pendapatnya atau fatwanya selalu dirujuk. Ia merupakan seorang ulama yang dikatakan menguasai seluruh keilmuan yang tidak tertandingi di masanya. Seorang penghafal al-Qur’an dan Hadis yang lengkap dengan pengetahuan akan makna dan kandungan fiqhnya serta cabang-cabang keilmuan yang ada di dalamnya.

Sebagai bukti atas keluasan ilmunya, Ibn Jarir memiliki banyak sekali karya-karya ilmiah yang sampai saat ini menjadi rujukan para pengkaji Islamic Studies. Dua dari karya-karyanya yang fenomenal antara lain Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an (Tafsir), Tarikh al-Umam wa al-Mulk (Sejarah). Adapun ia juga menulis dalam bidang-bidang lainnya yang tidak diketahui judulnya yaitu dalam bidang Qira’at, Asbabun Nuzul, Perbandingan Madzhab, Rijalul Hadis, Hukum Syari’at/ Fiqh.

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Hanya dua karya fenomenalnya yang sampai pada kita dan lainnya tidak ditemukan rekam jejaknya. Itulah yang menyebabkan banyak dari karya Ibn Jarir tidak diketahui judulnya. Meskipun begitu dua karya fenomenalnya yang sampai pada kita sudah cukup untuk membuatnya dijuluki sebagai bapak Tafsir serta bapak Sejarah. Sebab dua kitab itu dinilai sebagai karya yang memiliki muatan ilmiah yang tinggi sehingga sangat pantas dijadikan sebagai rujukan utama.

Ibn Khulkan mengakui bahwa Ibn Jarir adalah seorang Imam Mujtahid (Mujtahid Mutlak) yang tidak bertaqlid pada siapapun, maka Ibn Ishaq asy-Syairazi pun menempatkannya pada kategori faqih-mujtahid. Dengan kedudukannya yang tinggi, banyak yang mengatakan bahwa Ibn Jarir telah merintis madzhabnya sendiri dan pengikutnya disebut “Jaririyah”.

Sebelum merintis jalan ijtihadnya sendiri, Ibn Jarir diketahui bermadzhab Syafi’i. Dalam kitab Al-Thabaqat al-Kubra yang dikarang oleh Imam al-Subki dikatakan bahwa Ibn Jarir adalah seorang yang bermadzhab Syafi’i dan ia juga berfatwa di bawah naungan madzhab Syafi’i selama 10 tahun di Baghdad. Hal tersebut juga senada dengan komentar as-Suyuthi dalam Thabaqat al-Mufassirin.

Dari sisi penilaian akan kualitas riwayatnya serta pribadinya, Ibn Hajar dalam kitabnya Lisan al-Mizan memberikan penilaian bahwa Ibn Jarir adalah seorang yang tsiqah (kredible). Ia juga membantah pendapat yang mengatakan bahwa Ibn Jarir adalah ulama yang memiliki keterkaitan dengan Syi’ah dan menegaskan bahwa dalam menilai seorang ulama dibutuhkan kehati-hatian.

Metode Ibn Jarir dalam Tafsirnya

Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an merupakan kitab tafsir 30 Juz yang terdiri dari beberapa volume atau jilid. Dahulu kitab ini nyaris tidak bisa kita dapati hari ini, sebelum akhirnya ditemukan versi lengkapnya di era Amir Hamud ibn Amir Abdur Rasyid dan kemudian segera disalin dan dicetak.

Seluruh pengkaji al-Qur’an baik dari Timur maupun Barat bersepakat akan tingginya level kitab ini. al-Suyuthi berpendapat bahwa karya Ibn Jarir ini merupakan karya tafsir yang paling agung dan memuat berbagai penjelasan keilmuan yang begitu luas. Al-Nawawi berpendapat bahwa tidak ada yang mampu menyaingi karya Ibn Jarir ini.

Cendekiawan Barat seperti Noldeke mengatakan bahwa jika seorang pengkaji tafsir telah membaca karya Ibn Jarir maka ia tidak membutuhkan karya-karya tafsir muta’akhir. Beberapa pendapat para cendekiawan itu membuktikan level dari karya Ibn Jarir ini sehingga tidak heran jika ia dijuluki sebagai bapak Tafsir.

Adapun dalam penulisan tafsirnya, Ibn Jarir memiliki beberapa metode yang penting untuk diketahui. Namun sebelumnya ada beberapa ciri khas dari tafsir Ibn Jarir ini yang akan disebutkan. Pertama, memiliki kalimat pembuka sebelum masuk ke penafsiran. Kalimat pembuka tersebut berbunyi seperti ini, “al-qaul fi ta’wil qauluhu ta’ala”. Kedua, mengutip seluruh riwayat penafsiran yang ada dari Sahabat maupun Tabi’in. Ketiga, tidak meringkas riwayat yang didapat dan melakukan tarjih atasnya. Keempat, menyajikan penjelasan I’rab namun tidak pada semua penafsiran. Kelima, memberikan hasil istinbat hukum dan pilihan yang dipilihnya.

Adapun secara lebih luas ada beberapa pokok metode penulisan tafsir Ibn Jarir At-Thabari yaitu: 1) mengingkari penafsiran yang hanya bersandarkan praduga tanpa adanya telaah ilmiah yang memadai (al-tafsir bi mujarrad al-ra’y); 2) memperhatikan kelengkapan dan keshahihan sanad dalam kutipannya terhadap perkataan Sahabat maupun Tabi’in; 3) menggunakan hasil ijmak umat Islam pada masalah fiqhiyah; 4) menjelaskan sisi qira’at baik asal dan kualitasnya serta melakukan analisa makna; 5) mengambil riwayat Israiliyyat dan menyertakan rantai riwayatnya dengan lengkap; 6) tidak menafsirkan redaksi yang tidak begitu penting untuk ditafsirkan secara mendalam; 7) menggunakan istilah-istilah yang lazim diketahui dalam percakapan bahasa Arab untuk mencari variasi makna; 8) menunjukan perbedaan madzhab bahasa (al-madzahib al-nahwiyah) dalam menjelaskan suatu redaksi; 9) merujuk pada sya’ir jahiliyah; 10) menampilkan diskusi di antara madzhab fiqh; 11) memasukkan diskusi madzhab kalam.

Jika ingin mendapatkan ulasan yang lebih detail mengenai Ibn Jarir At-Thabari Sang Bapak Tafsir, para pembaca bisa merujuk langsung pada kitab Al-Tafsir wa Al-Mufassirun yang dikarang oleh Adz-Dzahabi. Di sana pembaca akan mendapati contoh dari masing-masing metode yang tidak bisa dituliskan dalam tulisan ini sebab keterbatasan teknis. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...