BerandaTafsir TematikBoneka Arwah, Kecintaan Berlebih, dan Problem Keimanan Kita

Boneka Arwah, Kecintaan Berlebih, dan Problem Keimanan Kita

Apa yang terbesit di pikiran ketika kamu mendengar kata “boneka arwah?; abai? syirik, karena boneka dipercaya memiliki arwah? atau spontan teringat beberapa selebriti yang mengadopsi boneka layaknya bayi manusia?

Boneka arwah tidak asing bagi kawula muda yang aktif mengikuti berita trending di media sosial. Isu ini mungkin tidak tersampaikan kepada kalangan yang awam dengan dunia digital.

Usut punya usut, belakangan ini media sempat ramai oleh beberapa publik figur yang rela membeli boneka bayi dengan harga jutaan rupiah. Boneka bayi dengan julukan boneka arwah diyakini memiliki ruh yang dapat mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan. Sebagian juga menganggap boneka ini dapat bergerak, menangis, bahkan kesakitan. Tak ayal jika pemilik boneka arwah memperlakukan bonekanya layaknya bayi hidup, bukan karena gangguan psikologi pemiliknya, tapi gangguan keyakinan. Ngeri betul, tapi begitulah adanya.

KBBI menyebut makna boneka sebagai tiruan anak untuk permainan. Lantas apa jadinya jika boneka dibeli untuk diadopsi sebagai anak?

Dalam praktiknya, sah saja. Bukankah manusia punya kebebasan dalam hal ini. Bahkan dari sisi psikologis, bermain boneka dapat meningkatkan motivasi, kreativitas, dan melatih jiwa tanggung jawab manusia. Menjadikan boneka sebagai barang kesayangan tentu tidak salah, merawat boneka seperti merawat anak juga tidak dilarang. Iya, selama dalam batasan kesadaran bahwa boneka hanyalah boneka, ciptaan manusia, tidak hidup apalagi bernyawa.

Namun dalam konteks ini, terlalu berlebihan memperlakukan boneka malah menjadi perilaku yang terkesan aneh. Beberapa redaksi Alquran menganjurkan manusia untuk tidak bersikap berlebihan dalam berbagai hal, sebagaimana kutipan dari Q.S. Ala’raf: 31 dan Alan`am: 141 yang berbunyi:

وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

Janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.

Hadis yang diriwayatkan al-Thabrani juga menyebutkan, “Cintailah apa saja atau siapa saja, tapi sadarilah bahwa kamu akan berpisah dengan semuanya. Hiduplah sesukamu, tapi yakinlah bahwa kamu pasti mati. Berbuatlah sesukamu, tapi ingat bahwa kamu akan mendapat balasan atas perbuatan tersebut.”

Syahdan, memperlakukan sesuatu secara tidak proporsional dan berlebihan tidak diperbolehkan dalam Alquran dan hadis. Tidak ayal, dalam kanal Twitter Ketua MUI Pusat, Kiai Cholil Nafis, turut menanggapi hal ini. Tanggapannya, “Jangan berlebihan menyayangi boneka. Kalau (memiliki) lebih uang atau rasa sayang, maka sayangilah anak yatim dhuafa”.

Baca juga: Menimbang Urgensitas Antara Adopsi Anak Yatim dan Spirit Doll

Memiliki boneka dalam wujud anak, selama tidak berlebihan, dipersilahkan. Namun memperlakukan boneka sebagaimana manusia, itu tidak wajar dan meresahkan, apalagi  hingga menganggapnya sebagai produk bernyawa. Boneka yang diyakini memiliki ruh atau arwah terkesan mistis dan tidak bisa dinalar akal. Bagaimana mungkin? Bagaimana prosesnya?  Aneh, bukan!

Dalam ajaran Islam, dipercaya bahwa hanya Allah pemegang kunci-kunci gaib dan yang mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan secara rinci; tentang ruh, penolak petaka, hingga pemberi bahagia. Dalam Q.S. Alan’am: 59 ditegaskan demikian;

 وَعِنْدَهٗ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ اِلَّا هُوَۗ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَّرَقَةٍ اِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِيْ ظُلُمٰتِ الْاَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَّلَا يَابِسٍ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

Kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

Menurut pandangan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ayat ini berbicara tentang cakupan ilmu Allah yang berkaitan dengan semua yang gaib, baik di daratan, pun di lautan. Bahwa puncak dari segala kegaiban mutlak adalah Allah, bukan manusia, apalagi boneka yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.

Perkara gaib tidak mungkin dapat diketahui manusia, karena mereka hanya dapat mengetahui sesuatu yang terbatas dan terukur, sedangkan Allah mengetahui segala sesuatu yang rinci. Maka, dalam Islam dianjurkan mengimani segala sesuatu yang belum terjadi kepada kita dan memasrahkannya hanya kepada Allah. Islam mengajarkan kita harus percaya bahwa Allah satu-satunya tempat berserah diri dan berlindung. Wallahu a’lam

Baca juga: Idul Yatama dan Tuntunan Al-Quran dalam Memperlakukan Anak Yatim

Mufidatul Bariyah
Mufidatul Bariyah
Mahasiswa Ilmu Alquran dan Tafsir Institut Kiai Haji Abdul Chalim (IKHAC) Mojokerto, aktif di CRIS (Center for Research and Islamic Studies) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...