BerandaUlumul QuranCiri Khas Tafsir Era Sahabat Menurut Husein Adz-Dzahabi

Ciri Khas Tafsir Era Sahabat Menurut Husein Adz-Dzahabi

Tafsir era Sahabat hingga artikel terakhir sudah dijelaskan mulai dari Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan Ali bin Abi Thalib. Di awal akan dijelaskan tafsir era sahabat hingga 10 nama. Namun, Husein Adz-Dzahabi ternyata tidak mengulas sampai 10 nama dari kalangan Sahabat.

Setelah menguraikan beberapa nama tersebut, Adz-Dzahabi mendeskripsikan setidaknya ada tujuh poin yang menjadi ciri khas dari tafsir era Sahabat. Apa saja kiranya poin-poin tersebut dan bagaimana penjelasannya? Mari kita urai penjelasan Adz-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun pada edisi tulisan kali ini.

Baca Juga: Melihat Respon Adz-Dzahabi atas Perdebatan Tafsir Nabi

Pertama, tidak menafsirkan keseluruhan al-Qur’an. Alasan mendasar tentang ketiadaannya produk penafsiran yang utuh di era sahabat ialah level pemahaman. Mengapa? Sebab di era ini, sebagian besar sahabat sudah dapat mengetahui makna dari redaksi ayat-ayat al-Qur’an secara langsung—sebab mereka pada umumnya adalah orang Arab asli.

Adapun jika terdapat redaksi-redaksi yang dianggap sulit maka mereka akan merujuknya langsung pada penjelasan Nabi maupun para sahabat yang memiliki otoritas dalam menafsirkan al-Qur’an. Oleh karena itu, riwayat-riwayat penafsiran yang didapati di era ini merupakan riwayat-riwayat yang memuat penjelasan mengenai redaksi-redaksi ayat yang dianggap susah untuk dipahami saja.

Kedua, sedikitnya perselisahan pandangan terkait penafsiran. Senada dengan alasan kedua ini, disambung oleh alasan ketiga dan keempat yakni kemampuan mereka untuk mengambil maksud dari redaksi secara global melalui pemahaman lughah atau bahasa.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Abbas bahwa makna al-Qur’an terbagi ke dalam empat levelitas makna dan oleh sebab itu umunya sahabat yang merupakan orang Arab asli dapat memahami makna ijmali dari ayat-ayat al-Qur’an serta mereka juga tidak dituntut untuk mendapati tafshil­-nya yang tentunya hanya dilakukan oleh sahabat yang memiliki kapabilitas dalam melakukan itu. Itulah yang meminimalisir adanya perselisihan penafsiran di era ini.

Kelima, jarangnya terdapat aktivitas istinbath hukum fiqh serta belum adanya dominasi pandangan dari madzhab tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa di era sahabat belum terbentuk madzhabmadzhab fiqh tertentu yang berupaya melakukan istinbath hukum demi mendapatkan solusi atas suatu masalah yang di alami.

Hal ini juga disebabkan, sebagaimana ciri yang keenam, karena belum adanya pembukuan atas penafsiran-penafsiran yang dilakukan. Ketiadaan pembukuan (tadwin) di era ini menunjukkan belum adanya upaya untuk melakukan pembakuan atas pandangan atau ijtihad tertentu.

Ciri terakhir atau ketujuh ialah penggunaan potongan hadis sebagai tafsir. Akan tetapi penggunaanya belum sistematis sehingga potongan-potongan hadis itu bertebaran di mana-mana. Maka jika tidak mengetahui bahwa itu adalah hadis, seseorang yang membacanya bisa salah sangka dan mengira bahwa itu merupakan bagian dari ayat-ayat al-Qur’an. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...