Dilansir detiknews.com, kemaren seharian saja (1 Juli 2021) angka kasus baru Covid-19 terhitung 24.836 dan ini merupakan catatan tertinggi sepanjang sejarah COVID-19 di Indonesia. Angka ini lebih tinggi dari sehari sebelumnya, 30 Juni 2021 yang sempat dianggap rekor tertinggi kasus baru COVID-19 dengan angka 21.807 kasus.
Tentu ini kondisi yang sangat genting, toa-toa masjid sibuk dengan pengumuman ‘inna lillahi’. Di beberapa tempat tenaga kesehatan juga sudah menyerah, pasrah kelelahan. Namun anehnya masih ada beberapa pihak yang masih mengentengkan dan meremehkan fakta ini, alih-alih menjalankan protokol kesehatan (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, mengurangi mobilitas), mengakui adanya COVID-19 pun tidak.
Bahkan, ada yang masih saja mendebat, ‘lebih takut kepada Allah ataukah lebih takut pada COVID-19?’ Juga ada yang mengatakan bahwa prokes itu hanya dibuat ‘alasan’ saja agar orang-orang Islam menjauhi masjid, tidak berjabat tangan, tidak bersilaturahim dan seterusnya.
Lagi-lagi simbol-simbol agama dan tradisi keberagamaan orang Islam dibawa-bawa dalam masalah ketida percayaan dan kemarahannya pada situasi dan pandemi seperti saat ini. Apakah karena semangat keberagamaannya terlalu tinggi, atau sebaliknya, mengentengkan tapi diatas namakan agama?
Baca Juga: Covid-19 dan Kisah Ketakutan Kepada Selain Allah dalam Al Quran
Umatan wasatan: beriktiar secara lahir dan batin
Bukan hal yang baru, bahwa Islam melalui Al-Qurannya mengajarkan agar bersikap seimbang, antara yang meremehkan dan yang telalu ketat, termasuk juga dalam beragama. Nilai-nilai tersebut penting untuk dipahami bersama dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih ditengah wabah seperti saat ini.
Surah Al-Baqarah [2]: 143, Allah Swt berfirman
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia”. (QS. Albaqarah [2]; 143)
Aplikasi dari makna wasatan atau tawassut pada masa pandemi ini bisa dengan tetap usaha/ikhtiar melindungi diri seperti menjaga jarak, mencuci tangan, menggunakan masker, mengurangi mobilitas, tetapi juga dengan usaha spiritual, yakni berdoa dan memohon perlindungan kepada Yang Maha Kuasa.
Menurut M. Quraish Shibab, ayat tersebut merupakan penjelasan tentang gambaran umatan wasatan, yaitu posisi tidak memihak ke kiri maupun ke kanan. Di Wasathiyyah, Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama ia juga menambahkan bahwa posisi umatan wasatan yaitu tempat yang di tengah dan dapat dilihat dari penjuru yang berbeda, dan ketika itu ia menjadi tanda atau teladan bagi semua pihak.
Baca Juga: Membaca Ummatan Wasatan Sebagai Pesan Moderasi dalam Al-Quran
Buya Hamka, penulis Tafsir Al-Azhar juga menjelaskan tafsir umatan wasatan dalam ayat di atas. Dalam muqaddimah Tafsir Al-Azhar juz ke-2, Hamka menuturkan bahwa tujuan peralihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Makkah adalah hendak menjadikan umat Nabi Muhammad Saw ini sebagai ummatan wasatan, yakni umat yang di tengah, untuk menjadi saksi bagi seluruh manusia, penyambung zaman lampau dengan zaman yang akan datang, terletak di antara Timur dan Barat. Pada ayat ini dijelaskan juga bahwa setiap umat mempunyai karakteristiknya tersendiri. Dengan karakteristik yang khas itulah kemudian dibentuk pribadinya.
Makna lain atas tafsir umatan wasatan yang juga diberikan oleh kedua mufasir Indonesia ini antara lain mengutip Ibnu Jarir Ath-Thabari yang memaknainya dengan ‘umat yang terbaik’. Sedang Hamka menjelaskan bahwa ada dua umat yang datang sebelum umat Nabi Muhammad Saw, yakni umat yang terkenal dengan kecenderungannya kepada kehidupan dunia dan kepada harta benda, satu lagi umat yang lebih mementingkan kehidupan akhirat saja, maka Islam ada di antara keduanya, di tengah.
Dalam konteks pandemi, sikap ‘umat tengah’ ini harusnya imbang, antara berikhtiar secara lahir dengan menjalankan prokes juga berikhtiar secara batin dengan mendekatkan diri lebih giat lagi kepada Allah, meski dengan tidak berkumpul di masjid, bersalaman dan seterusnya.
Baca Juga: Inilah 3 Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab
Umatan Wasatan: mematuhi anjuran para ahli
Pesan penting lain bagi yang awam (masyarakat umum yang bukan ahli) adalah bertanya kepada ahlinya. Dalam QS Al-Anbiya [21] 7, Allah SWT Berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Anbiya [21]: 7)
Pesan ini mengajarkan dalam kehidupan hendaknya menghargai kompetensi. Dalam kondisi pandemi, biarlah yang berkompeten memberikan masukan dan informasi dan kita yang awam sudah semestinya mengikuti. Dalam hal ini adalah anjuran dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Maka dari itu, hati-hati dan telitilah dalam menerima informasi, jika menerimanya dari bukan yang ahli bisa segera dikonfirmasi.
Tafsir umatan wasatan yang antara lain mengatakan bahwa umat Nabi Muhammad ini adalah ‘umat yang terbaik’ harusnya bisa mendudukkan para ahli tersebut di tempat yang tepat. Jika masalah tentang kesehatan, maka patuhlah pada ahli kesehatan, sedang jika tentang urusan agama, maka datangilah ahli agama, tidak dibalik-balik.
Ketika ikhtiar diatas baik material dan juga spiritual telah dilakukan dan diaktualisasikan dalam aksi nyata seperti mengikuti protokol kesehatan dan mengikuti anjuran pemerintah telah dilaksanakan dan ikhtiar secara spiritual dengan memohon perlindungan dan berdoa telah diupayakan, namun masih tetap terkena virus, maka jangan serta merta menyalahkan takdir atau ketetapan Tuhan. Sejatinya, hal tersebut membuktikan kebesaran-Nya dan membuktikan kita hanya hamba yang lemah dan sangat bergantung kepada-Nya. Wallahu a’lam.