Ketika hari raya tiba, baik Idul Fitri maupun Idul Adha, masyarakat Muslim Indonesia biasanya melakukan berbagai tradisi lokal seperti Mudik, bermaaf-maafan, dan bersalam-salaman. Tradisi tersebut lumrah di temui, terutama bagi mereka yang tinggal di desa. Selain itu, mereka biasanya juga menyediakan berbagai hidangan khas hari raya ala muslim Nusantara.
Hari raya, terutama Idul Fitri, menjadi momentum kebersamaan masyarakat Indonesia. Anak-anak yang merantau jauh orang tua akan kembali ke pangkuan kampung halaman, begitu pula sebaliknya. Orang-orang yang hubungannya renggang akibat suatu masalah akan bermaaf-maafan di hari raya, terlepas apakah itu sebuah ketulusan ataupun hanya formalitas belaka.
Kebersamaan di hari raya begitu amat terasa, terutama bagi mereka yang sudah lama jauh dari keluarga. Maka tak heran, masyarakat muslim rela merogoh kantung dalam-dalam demi menikmati hari raya bersama keluarga tercinta. Suasana kebersamaan ini – sebagaimana disebutkan Baidun dalam Tradisi Mudik Lebaran, secara sosiologis membuat orang-orang mudah bermaaf-maafan meskipun sebelumnya sulit.
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Makna Shalat Ied Pada Hari Raya Idul Fitri
Berkenaan dengan tradisi bermaaf-maafan dan bersalam-salaman, sebagian orang bertanya-tanya, apakah tradisi tersebut dibolehkan dalam Islam atau dilarang? Pertanyaan ini muncul karena sebagian orang beranggapan bahwa dalam Al-Qur’an dan hadis nabi Muhammad saw tidak ada anjuran bermaaf-maafan dan bersalam-salaman secara khusus di hari raya.
Jika kita mencari dalil anjuran bermaaf-maafan di hari raya secara spesifik dalam Al-Qur’an dan hadis, mungkin itu tidak akan ditemukan. Namun bukan berarti tradisi tersebut menyalahi ajaran Islam. Sebab, dalam Al-Qur’an dan hadis banyak ditemukan ayat dan matan yang menunjukkan anjuran bermaaf-maafan di antara masyarakat, termasuk antara nabi Muhammad saw dan para sahabat.
Dalam Al-Qur’an misalnya, setidaknya ada lima ayat yang berisi tentang anjuran bermaaf-maafan, yakni surah al-Baqarah [2] ayat 109, surah Ali Imran [3] ayat 134 dan 159, surah al-Maidah [5] ayat 13 dan surah Yusuf [12] ayat 92. Secara umum, ayat-ayat ini berbicara mengenai anjuran bermaaf-maafan, memaafkan adalah sarana kesabaran, dan pemaaf adalah sifat orang bertakwa.
Firman Allah swt:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ ١٥٩
“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran [3] ayat 159).
Secara umum, surah Ali Imran [3] ayat 159 berisi tentang tuntunan Allah Swt kepada nabi Muhammad saw untuk 1) bersikap lemah lembut kepada kaum muslimin khususnya mereka yang pernah melakukan kesalahan dan pelanggaran; 2) memaafkan kesalahan mereka; 3) memintakan ampunan kepada mereka; 4) bermusyawarah ketika memutuskan suatu perkara; 5) dan senantiasa bertawakal kepada Allah.
Menurut Quarsih Shihab, ayat ini seakan berkata, “Sesungguhnya perangaimu wahai Muhammad, adalah perangai yang luhur, engkau tidak bersikap kasar dan tidak pula berhati kasar, engkau pemaaf, dan bersedia menerima saran dari orang lain. Itu semua disebabkan karena rahmat Allah kepadamu yang telah mendidikmu, bukan karena faktor-faktor lain seperti konstruksi sosial.”
Berdasarkan catatan al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi, surah Ali Imran [3] ayat 159 turun pasca perang Uhud di mana sebagian sahabat melanggar perintah nabi Muhammad saw. Akibat perbuatan mereka itu, kaum muslimin mengalami kekalahan dan kondisi nabi berdarah-darah. Bahkan dikisahkan bahwa beberapa gigi beliau patah dan wajahnya terluka.
Adapun objek yang dituju dalam surah Ali Imran [3] ayat 159 adalah sahabat-sahabat yang melakukan kesalahan dan pelanggaran dalam perang Uhud. Akibat perbuatan mereka tersebut, kaum muslimin mengalami kekalahan telak pasca mendapatkan serangan dadakan dari pihak Quraisy yang dipimpin Khalid bin Walid, ia waktu itu belum memeluk Islam (Tafsir al-Misbah [2]: 169).
Bisa dikatakan bahwa pasca kelahan umat Islam, mereka (para sahabat yang berbuat kesalahan) menjadi bulan-bulanan kemarahan sahabat lain karena telah meninggalkan pos yang telah diberikan. Untuk ini kemudian surah Ali Imran [3] ayat 159 mengingatkan nabi saw dan umat Islam untuk tidak memperpanjang masalah dan memaafkan kesalahan serta pelanggaran mereka demi masa depan.
Hal serupa disampaikan oleh al-Sa’adi dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan. Menurutnya pada ayat ini Allah swt memerintahkan nabi Muhammad – termasuk pengikutnya – untuk memaafkan kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan sebagian sahabat pada perang Uhud. Tak hanya memaafkan, nabi saw juga diminta untuk meminta ampunan bagi mereka.
Sedangkan Syekh Nawawi al-Bantani menuturkan dalam Tafsir Marah Labid, yang dimaksud dari memaafkan kesalahan adalah memaafkan kesalahan mereka yang berkaitan dengan hak-hak pribadi nabi Muhammad (dimensi horizontal). Sedangkan yang dimaksud dari memintakan ampun adalah memintakan ampunan bagi mereka terkait pelanggaran yang dilakukan berkenaan dengan perintah Allah Swt (dimensi vertikal).
Anjuran bermaaf-maafan juga dapat ditemukan dalam hadis. Misalnya, nabi Muhammad saw pernah bersabda, “Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan” (HR Ath- Thabrani). Hadis ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan pemeluknya untuk bermaaf-maafan jika terjadi kesalahan atau pelanggaran, bukan saling membalas mendendam.
Baca Juga: Kisah Perhatian Nabi Muhammad Terhadap Anak Yatim Terutama di Hari Raya
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa sifat pemaaf dan sikap saling memaafkan adalah ajaran Islam yang mesti dipraktikkan, terlepas dari kapan dan di mana itu terjadi. Bayangkan, kesalahan fatal para sahabat dalam perang Uhud saja Allah swt perintahkan untuk dimaafkan, lantas bagaimana mungkin kesalahan kecil di antara sesama manusia tidak dapat kita maafkan (renungkan).
Lebih jauh, tradisi bermaaf-maafan di hari raya tidaklah terlarang dan baik dilakukan. Meskipun pengkhususan waktu di hari raya tidak ada dalilnya, namun sikap memaafkan merupakan ajaran universal Islam. Di samping itu, tidak ada larangan spesifik dalam Al-Qur’an maupun hadis terkait pengkhususan waktu bermaaf-maafan. Bahkan, bermaaf-maafan di hari raya bisa menjadi alternatif perekat hubungan yang sulit dilakukan di hari biasa. Wallahu a’lam.