BerandaTafsir TematikDi Balik Yatimnya Seorang Nabi Muhammad Saw

Di Balik Yatimnya Seorang Nabi Muhammad Saw

Nabi Muhammad sebagaimana riwayat masyhur terlahir pada hari Senin sebelum fajar, tanggal 12 Rabi al-Awal. Beliau dilahirkan sebagai anak yatim, ayahnya Sayyid Abdullah bin Abdul Muthallib meninggal dunia saat Nabi berusia dua bulan dalam kandungan. Sementara ibunya, Siti Aminah binti Wahab wafat beberapa tahun kemudian.

Keadaan yatim yang dialami Nabi Muhammad saat kecil ini membuat malaikat merasa iba dan mengadu kepada Allah. Sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas, mereka mengadu, “Ya Allah, Nabi-Mu tinggal dalam keadaan yatim.” Allah kemudian menjawab, “Aku yang akan menjaga dan membelanya.”

Baca Juga: Kisah Perhatian Nabi Muhammad Terhadap Anak Yatim Terutama di Hari Raya

Imam Nawawi mengatakan, ratapan malaikat ini berangkat dari keprihatinan atas nasib anak-anak yatim yang pada umumnya tidak memiliki tempat perlindungan, tanpa pengayoman dan sentuhan kasih sayang dari orang tuanya. Tetapi Allah menjamin langsung pemeliharaan Nabi Muhammad kecil di tengah situasi yatimnya dan hal ini disebutkan pula dalam QS. Ad-Dhuha ayat 6:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu).”

Ad-Dhuha Ayat 6: Pengalaman Nabi saw Kecil Menjadi Seorang Yatim

Ayat ini sebagai penetapan (istifham taqriri), ‘Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim yang membutuhkan perlindungan sebab kehilangan orangtua sebelum engkau dilahirkan atau setelahnya, dengan menyerahkan engkau kepada kakek dan pamanmu.’ (Tafsir Jalalain h. 912) Allah yang melunakkan hati mereka agar merasa iba kepada Nabi Muhammad kecil, bahkan Abu Thalib yang tidak seagama dengannya.

M. Quraish Shihab (15/334-335) menerangkan kata yatim dalam Alquran memiliki makna kepapaan. Yatim digambarkannya sebagai seseorang yang nelangsa dan sebagai seorang yang tidak memperoleh pelayanan yang layak. Kemudian, Allah menjamin perlindungan yang melahirkan rasa aman dan ketentraman, baik langsung dari-Nya maupun dari makhluk seperti manusia atau lainnya.

Ibn Asyur memahami perlindungan yang dimaksud di sini adalah menjadikan beliau mencapai kesempurnaan dan istiqamah serta pendidikan dan pemeliharaan yang sempurna— padahal biasanya anak-anak yatim tidak memperoleh pendidikan, sehingga dianggap sebagai kelompok yang lemah (mustadh’afin).

Baca Juga: Pembelaan Al-Quran terhadap Dhu’afa dan Mustadh’afin

Sementara dalam Tafsir al-Munir (30/285) diterangkan bahwa Allah memberikan tempat berlindung, yakni rumah kakek dan pamannya.  Nabi saw kehilangan ayahnya saat masih dalam kandungan ibunya atau setelah dilahirkan. Kemudian saat beliau baru berusia enam tahun, ibunya meninggal dunia.

Ketika itu pengasuhan Nabi saw kecil diambil alih oleh kakeknya, Sayyidina Abdul Muthalib sampai beliau wafat. Saat itu Nabi saw berusia delapan tahun, kemudian diasuh oleh pamannnya, Abu Thalib. Ia selalu menjaga dan menolong Nabi saw setelah Allah mengangkatnya menjadi nabi dan rasul pada awal usia 40 tahun.

Hikmah Dibalik Yatimnya Nabi Saw

Hikmah Nabi saw dijadikan seorang yatim menurut Al-Qurthubi (20/96) dengan mengutip keterangan Ja’far as-Shadiq, ialah supaya tidak ada makhluk yang berhak menguasai​nya. Sementara Imam Nawawi menukil pendapat Ibnul Imad, Nabi Muhammad dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi orang besar di kemudian hari. Oleh karena itu, beliau ditempatkan dalam situasi yatim agar kelak di kemudian hari Nabi saw menyadari bahwa kemuliaan dirinya berasal dari Allah, bukan karena orang tua ataupun hartanya. (Syarh Nur adz-Dzalam 26-27)

Baca Juga: Mengurusi Harta Anak Yatim, Perhatikan Pesan Surat An-Nisa Ayat 6

Pendapat serupa disampaikan Al-Maraghi, yang menerangkan, bahwa sejak kecil Nabi saw memang sudah dikader menjadi seorang nabi lewat penjagaan Allah. Jika orang-orang merenungkan tentang perlindungan dan bagusnya penjagaan-Nya kepada Nabi saw.

Biasanya keyatiman seorang anak dapat menjadi sebab kehancuran akhlaknya, karena tidak ada pembimbing yang bertanggung jawab. Terlebih lagi, suasana dan sikap penduduk Mekah saat itu lebih dari cukup untuk menyesatkan beliau. Akan tetapi, perlindungan Allah dapat mencegah Nabi dari hal tersebut.

Dengan demikian, jadilah beliau seorang pemuda yang sangat jujur, terpercaya, tidak pernah berdusta, dan tidak pernah bergelut dengan dosa sebagaimana orang-orang  Jahiliah. (Tafsir al-Maraghi, 30/148)

Satu lagi keterangan dari al-Zuhaili, hikmah di balik situasi yatim yang dialami Rasulullah saw ini agar beliau mengetahui kondisi anak yatim sehingga kemudian dapat berempati terhadap anak yatim dan orang-orang fakir sebagai kelompok lemah, menurut adat kebanyakan manusia.

Allah juga memerintahkan beliau agar tidak berbuat zalim kepada anak yatim dan memberikan haknya, serta mengingatkan bahwa beliau dahulu adalah seorang anak yatim seperti mereka. Ayat ini sejatinya juga mengajarkan kepada umat Nabi Muhammad agar mengasihi dan bersikap lemah lembut kepada anak yatim sebagaimana Rasul berbuat baik kepadanya.

Rasulullah bersabda, “Kasihanilah anak-anak yatim dan muliakanlah orang-orang asing karena aku saat kecil dahulu juga mengalami situasi yatim dan saat dewasa menjadi orang asing. Allah memandang belas kasih kepada orang asing setiap hari seribu kali pandangan.”

Keutamaan mengasihi anak yatim sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, “Aku dan orang yang menyantuni anak yatim baginya atau orang lain, seperti dua benda ini.” Beliau mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah. (HR. Bukhari)

Demikian, hikmah keyatiman Nabi dapat menjadi pelajaran penting bagi umatnya untuk meneladani Nabi saw perihal sikapnya terhadap kelompok mustadhafin, termasuk di dalamnya anak yatim, fakir, miskin, dan mereka yang dilemahkan dalam struktur sosial.

Wallah a‘lam.[]

Rasyida Rifaati Husna
Rasyida Rifaati Husna
Khadimul ilmi di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU