BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranDigitalisasi Mushaf Nusantara dan Masa Depan Kajiannya

Digitalisasi Mushaf Nusantara dan Masa Depan Kajiannya

Catatan ini berupa refleksi atas perkembangan kajian mushaf Nusantara baik berupa manuskrip, cetak, hingga digital. 2018 lalu, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran telah meluncurkan database mushaf Al-Quran Nusantara yang bisa diakses online melalui https://seamushaf.kemenag.go.id/. Ini tentu kebijakan yang luar biasa dan akan memengaruhi atmosfer kajian Al-Quran di masa depan.

Sebagian orang mungkin akan abai dan mengira bahwa mushaf-mushaf seperti ini tak lagi relevan untuk diperbincangkan. Padahal, mushaf-mushaf yang sudah susah payah didokumentasikan dan dirawat oleh berbagai museum dan perpustakaan itu memiliki banyak mutiara terpendam. Mutiara terpendam itu yang akan menjadi bukti kekayaan peradaban Islam di Nusantara. Tentu, untuk menemukan mutiara itu kita perlu menenggelamkan diri di kedalaman samudera kajian mushaf.

Kita ambil contoh pada teori yang masih kokoh terkait mushaf tertua dari Nusantara. Sampai saat ini banyak sarjana menyebut bahwa mushaf tertua Nusantara yang berhasil ditemukan berasal dari abad ke-17 awal, tepatnya tahun 1606. Mushaf ini merupakan koleksi perpustakaan Rotterdam Belanda yang dulu ditulis di Jawa namun kemudian diperoleh dari Johor Malaysia.

Di sisi lain, kita tahu bahwa ada banyak teori tentang masuknya Islam, ada yang menyebut abad ke-7, ke-13 dan lainnya. Kemudian pada tahun 1345, Ibnu Batutah seorang pelancong ternama di dunia pernah singgah di Samudera Pasai dan mencatat bahwa Sultan Pasai acap kali menghadiri pembacaan Al-Quran dan diskusi dengan rakyatnya. Ini mengindikasikan bahwa tradisi penyalinan mushaf sudah ada di Nusantara pada abad ke-14.

Tapi sayangnya, hingga detik ini belum ada lagi temuan mushaf yang lebih tua dari dari mushaf koleksi Perpustakaan Rotterdam. Sangat disayangkan bukan, jika kita hanya mendapati mushaf tertua dari abad ke-17, sementara tradisi penyalinan mushaf sudah ada pada abad ke-13 atau 14. Lantas di mana jejak-jejak penyalinan itu?

Baca juga: Manuskrip Al-Qur’an Bone: Mushaf Kuno dengan Fitur Terbanyak yang Kini Disimpan di Kanada

Mari kita berangan saja, misalkan kita berhasil menemukan mushaf lebih tua dari abad ke-17 bukankah itu menjadi temuan yang dahsyat? Kita akan mengetahui bagaimana interaksi masyarakat muslim saat itu dengan kitab sucinya. Bagaimana karakteristik fisiknya, qiraat apa yang digunakan, hingga iluminasi apa yang khas pada abad tersebut. Ini bisa jadi salah satu alasan mengapa kajian mushaf tetap harus disemarakkan.

Perihal Database of Southeast Asian Mushaf

Database of Southeast Asian Mushaf adalah pusat data digitalisasi mushaf Nusantara yang diinisiasi Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran (LPMQ). Pusat data ini menghimpun banyak informasi, baik potret mushaf kuno, mushaf cetak, mushaf braille, hingga hasil riset para sarjanan dunia. Sebagai pusat data resmi, informasi yang disajikan sangat membantu para pengkaji mushaf. Meski demikian, karena baru berumur dua tahun kontennya pun harus kita semarakkan.

Pelbagai tokoh terkait kajian manuskrip maupun Al-Quran juga memberikan testimoni menarik. Misalnya Prof. Oman Fathurahman, guru besar filologi Islam ini menyebut bahwa database ini menunjukkan bahwa tingkat literasi bangsa Indonesia pada masa lalu sudah sangat tinggi, tidak hanya dalam hal tulisan, namun juga seni iluminasi yang beragam dari berbagai daerah. Database ini menjadi kontribusi yang penting, bukan hanya untuk Kementerian Agama, namun juga bangsa Indonesia dan dunia akademik internasional.

Dalam pusat data ini, manuskrip yang ditampilkan pun memiliki keterangan yang cukup lengkap sebagai data inventarisasi. Misalnya manuskrip mushaf Tidore, mushaf ini dijelaskan berasal dari Maluku Utara, tersimpan di Museum Kesultanan Tidore, berbahan kertas Eropa, ditulis dengan rasm imla’i dan merujuk qiraat Asim riwayat hafs.

Dalam potret digital mushaf kuno ini, gambar yang ditampilkan beresolusi tinggi sehingga sangat jelas karakter tulisan dan iluminasinya. Untuk potret lembaran yang ditampilkan hanya lima gambar yakni awal surat Al-Fatihah Al Baqarah (biasanya beriluminasi), halaman ketiga, awal surat Al-kahfi, akhir surat dan sampul mushaf.

Baca juga: Mushaf Sultan Ternate; Pernah Dianggap Tertua di Nusantara dengan Dua Kolofon Berbeda

Untuk lebih mengetahui contoh informasinya, berikut keterangan lengkap dan menjadi contoh yang serupa untuk keterangan di mushaf lainnya:

“Mushaf ini berada di musium kesultanan Tidore. Penulis atau penyalin mushaf tidak diketahui, namun tahun penyalinannya bisa diketahui, yakni tahun 1323 H. Mushaf ini sudah tidak utuh lagi, meskipun sampulnya masih ada. Ukuran mushaf ini adalah 28 x 19 x 6 cm dengan ukuran bidang teks 18 x 11 cm. Jumlah baris mushaf ini untuk setiap halamannya adalah 15, sehingga masing-masing juz terdiri sekitar 10 lembar atau 20 halaman lebih. Rasm yang digunakan adalah imlai, namun tidak seluruhnya. Qiraat yang digunakan adalah qiraat Hafs ‘an ‘Asim”.

“Tinta yang digunakan adalah hitam, merah, dan kuning; hitam untuk tulisan utama mushaf, merah untuk tanda waqaf, tanda tajwid seperti idgam, mad wajib dan jaiz, serta untuk sisi lingkaran bulatan ayat. Bagian dalam ayat sendiri diwarnai kuning. Warna kuning keemasan juga bisa dijumpai pada iluminasi bagian depan mushaf dan bagian tengah pada surah Al-Isra. Kertas yang digunakan adalah kertas Eropa dengan merek Pro Patria. Tanda maqra, sumun, rubu, tanda ‘ain dan tanda pergantian juz. Kecuali itu, mushaf ini juga dilengkapi dengan doa khatmil Qur’an. Yang menarik adalah, mushaf ini menggunakan penandaan ayat pojok sebagaimana lazim digunakan untuk menghafal di pesantren-pesantren tahfidz”.

Hadirnya pusat data digitalisasi mushaf Nusantara ini menjadi langkah besar untuk terus mengembangkan kajian mushaf di masa depan. Upaya koleksi dan dokumentasi ini harus terus didukung dengan riset dan publikasi. Apa artinya koleksi dan dokumentasi jika riset dan publikasi terhenti. Oleh karena itu angin segar kajian mushaf Nusantara ini patut kita semarakkan terus menerus. Wallahu A’lam []

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...