Salah satu cabang dalam ilmu Alquran adalah nasikh Mansukh. Kata nasikh merupakan bentuk isim fa’il dan mansukh merupakan bentuk dari isim maf’ul, keduanya berasal dari masdar naskh. Secara etimologi, dalam kitab “al-Tibyan fi Ulum Alquran” naskh memiliki beberapa makna yakni penghilangan/penghapusan (izalah), penggantian (tabdil), pengubahan (tahwil), dan pemindahan (naql). Sementara naskh secara termonologi adalah menghilangkan/membatalkan hukum syarak dengan dalil yang datang kemudian. (Ali al-Shabuni, 2016: 65).
Dalam diskursus ilmu Alquran, nasikh dan mansukh mengalami perdebatan di antara para ulama yakni dalam hal menetapkan ada atau tidak adanya ayat-ayat mansukh (dihapus) dalam Alquran. Salah satu penyebabnya karena terdapat ayat-ayat yang tampak kontradiksi jika dilihat dari segi lahirnya. Sehingga, sebagian ulama berpendapat bahwa diantara ayat-ayat Alquran ada yang tidak bisa dikompromikan. Oleh karena itu, mereka menerima teori nasikh dan mansukh. Sebaliknya, para ulama yang berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut secara keseluruhan bisa dikompromikan, mereka tidak mengakui teori penghapusan tersebut.
Baca juga: Mengenal Ibnu Ajibah: Waliyullah Penulis Tafsir al-Baḥr al-Madīd
Terlepas dari perdebatan para ulama tentang nasikh mansukh, dalam hal ini penulis menemukan makna yang lebih dalam dan luas dibalik ayat yang menjelaskan tentang penghapusan ayat tersebut yakni dengan cara memahami dan menginterpretasikannya melalui kaca mata sufistik. Lantas seperti apa dimensi sufistik dibalik ayat tentang nasikh manuskh ini?
Secara spesifik, di antara beberapa ayat yang menjelaskan tentang naskh (penghapusan ayat) ialah surah Albaqarah ayat 106 yang berbunyi:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (Q.S. Albaqarah [2]: 106)
Ibnu Ajibah dalam Bahr al-Madid mengutip perkataan Ibnu Abbas al-Mursy ra., beliau menyatakan, ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah Swt. tidak mencabut nyawa seorang wali kecuali Allah akan mendatangkan seorang wali yang lebih baik dari sebelumnya atau setidaknya sama.
Dalam hal ini, Ibnu Ajibah memberikan komentar atas pernyataan Syaikh Mursy tersebut bahwa pernyataan itu ialah sebagai konter bagi orang-orang yang menyatakan tarbiyah seorang guru – maksud guru dalam hal ini ialah guru mursyid – terputus tatkala sudah wafat.
Baca juga: Konsep Nasikh Mansukh Menurut Syah Waliyullah al-Dahlawi
Beliau juga mengutip kisah dalam Lataif al-Minan bahwa, sebagian ulama ahli makrifat ditanya tentang para wali yang bisa menolong orang-orang dalam menggapai rida Allah (al-Madad), “Apakah dalam setiap zaman mereka (para wali) berkurang?” Ulama ahli ma’rifat menjawab, “Seandainya mereka berkurang walaupun itu satu saja, maka, langit tidak akan diperintah untuk menurunkan hujan dan Bumi tidak akan menumbuhkan tanaman-tanaman. Rusaknya suatu zaman bukanlah karena berkurangnya jumlah dan pertolongan para wali akan tetapi, itu karena kehendak Allah swt dengan menyamarkan para kekasihnya namun wujud dan pertolongannya masih tetap utuh…”
Jika dianalisis, uraian-uraian di atas sebenarnya memiliki kaitan dengan hadis Rasulullah saw. yang berbunyi, “ulama adalah pewaris para Nabi.” Dalam kitab “Muntakhabat fi Rabithah al-Qalbiyah wa Shilah al-Ruhiyah” karya Romo Kyai Achmad Asrori al-Ishaqy ra. disebutkan bahwa hakikat mewarisi di sini ialah perpindahan sesuatu yang diwariskan kepada si pewaris yang sesuai dengan sifat yang ada pada orang yang diwarisi. Sehingga, setiap orang yang memiliki ilmu namun tidak memiliki rasa takut kepada Allah, maka ia bukan ahli waris.
Dari ungkapan Kyai Achmad Asrori ra. yang perlu digarisbawahi di sini bahwa pada esensinya, silsilah (rantai pertalian dan jalinan) bimbingan, penyaksian, kewalian, kesungguhan dan kewalian Quthub senantiasa terbentang dari Rasulullah saw., sebagai sosok pangkal yang luhur dan yang mencakup segalanya hingga saat ini. Hal tersebut akan terus berlangsung hingga hari kiamat.
Oleh karenanya, dalam konteks ber-thariqah untuk menuju makrifat kepada Allah, seorang salik yang tidak mempunyai guru pembimbing yang terhubung silsilahnya sampai kepada Rasulullah saw. dan hanya mengandalkan hati terbuka dengan sifat menerima apa adanya maka, dalam konteks ini ia adalah anak yang terlantar dan tidak memiliki bapak. (Al-Ishaqy, 2016: 89)
Baca juga: Nilai-Nilai Sufistik dalam Penyembelihan Hewan Kurban
Dimensi sufistik lain dari ayat ini juga disebutkan oleh Imam Qusyairi dalam “Lataif al-Isyarat”-nya yakni ayat di atas mengisyaratkan bahwa maqam ibadah seorang hamba memiliki tiga tingkatan; pertama, maqam atsar al-ibadah. Kedua, maqam anwar al-‘ubudiyah dan ketiga maqam aqmar al-‘ubudah. Jadi, al-Qusyairi memaknai “naskh” pada ayat di atas dengan pemindahan, dalam hal ini pemindahan dari maqam ibadah yang rendah ke maqam yang lebih tinggi. (Al-Qusyairi: 111)
Bagian pertama “atsar al-ibadah” (bekas daripada ibadah) ialah maqam ibadahnya orang awam karena mereka beribadah karena Allah namun juga disertai agar tidak disiksa dan agar dimasukkan ke dalam surga. Maqam kedua “anwar al-ubudiyah” (cahaya ibadah) diperuntukkan bagi al-Khawas (orang-orang khusus) yakni mereka yang melakukan amal ibadah karena keagungan, kemuliaan dan kecintaannya kepada Allah swt tanpa ada niat riya’ dan embel-embel dimasukkan ke dalam surga dan jauh dari siksa. Adapun tingkatan yang paling tinggi adalah tingkatan “aqmar al-‘ubudah” yang dimiliki khawas al-khawas atau orang-orang yang sudah bermakrifat kepada Allah Swt.
Demikian nilai-nilai sufistik yang tersimpan/terkandung dalam ayat 106 surah Albaqarah, yang pada intinya untuk wushul ilallah (sampai kepada Allah) maka, seorang hamba harus ber-thariqah, serta memiliki seorang guru yang secara silsilah keilmuannya sampai kepada Rasulullah saw. Tarbiyah (bimbingan) seorang guru mursyid yang sudah wafat akan terus berlanjut walaupun tidak tampak secara lahir namun, secara transendental. Dengan demikian, melalui jalan thariqah dengan bimbingan seorang guru mursyid maka, seorang hamba juga akan mudah sampai pada maqam “aqmar al-‘ubudah” seperti yang dijelaskan al-Qusyairi di atas.